Sunday 6 May 2012

The Graduate

Resensi Film: The Graduate (9.5/10)

Tahun Keluar: 1967
Negara Asal: USA
Sutradara: Mike Nichols
Cast: Anne Bancroft, Dustin Hoffman, Katharine Ross

Plot: Baru saja menyelesaikan studi tingkat sarjana, Benjamin Braddock pulang ke rumah orangtuanya, depressed dan kehilangan arah terhadap masa depannya. Mrs. Robinson, istri yang kesepian dari partner bisnis ayahnya, menggoda Ben dan menjebaknya masuk ke dalam affair. Komplikasi timbul ketika Ben bertemu dengan anak perempuan Mrs. Robinson, Elaine, dan jatuh cinta dengannya (IMDb).

Sayang sekali American Film Institute menurunkan ranking film ini dari urutan #7 dalam daftar AFI's 100 Movies pada tahun 1998 ke urutan #17 dalam daftar AFI's 100 Movies pada tahun 2007. Mungkinkah ranking film ini akan turun terus dengan berjalannya waktu? Semoga tidak. Penulis mempunyai analisis, penurunan ranking tersebut terjadi karena para film critic saat ini (dari negara-2 Barat) sedikit banyak "take for granted" pesan penting dalam film ini. Sebagai orang yang berasal dari negara berkembang, penulis merasakan sendiri betapa sulitnya suatu perubahan sosial dapat terjadi -- setiap perubahan sosial, sekecil apapun, memerlukan keberanian dan pengorbanan yang kadang-2 (sering-2) membuat pelakunya bertanya-2 apakah hasilnya akan setimpal dengan pengorbanan tersebut. Karena itu, penulis tidak pernah "take for granted" segala perubahan sosial yang telah dilakukan oleh generasi pendahulu yang sekarang penulis nikmati dalam kehidupan sehari-2.

Kalau anda membaca review-2 dari The Graduate, film milestone yang menyuarakan isyu-2 sosial penting yang terjadi di Amerika Serikat pada dekade 1960-an ketika generation gap sangat kentara, anda akan tertegun menemukan bahwa ada banyak interpretasi tentang film ini.

Benjamin Braddock (Dustin Hoffman) baru saja menyelesaikan studi tingkat sarjana, tetapi dia somehow tidak happy dan merasa kehilangan arah terhadap masa depannya. Dari scene pembuka, nampak jelas bahwa Ben merasa tertekan gara-2 harapan muluk orangtuanya terhadap dirinya. Mrs. Robinson (Anne Bancroft), istri dari partner bisnis ayahnya, memasuki scene dan meminta Ben secara memaksa untuk mengantarnya pulang -- ketika dia melempar kunci mobil ke dalam fish tank, kita mengetahui dia mempunyai maksud terselebung. Sesampai di rumahnya, ketika suaminya sedang tidak ada di rumah, Mrs. Robinson mulai "memojokkan" dan menggoda Ben. Tidak menyangka dan panik dengan tingkah laku tidak senonoh ini, Ben melarikan diri darinya. Tetapi beberapa hari kemudian Ben menelpon Mrs. Robinson dan mulailah hubungan affair mereka. Tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, Mr. Robinson meminta Ben untuk berkenalan dengan anak perempuannya, Elaine (Katharine Ross). Pada waktu yang sama, orangtua Ben juga meminta dia untuk mendekati Elaine. Mendengar rencana ini, Mrs. Robinson langsung marah dan mengancam Ben untuk tidak pernah mendekati anak perempuannya (karena Ben dinilai bukan pria yang "baik" untuk anak perempuannya). Moralitas ganda ini membuat Ben sakit hati, tetapi dia setuju untuk menjaga jarak dari Elaine. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya adalah kebalikan dari apa yang semestinya tidak terjadi; Ben jatuh cinta dengan Elaine. Konsekuensinya, hubungan affairnya terbongkar dan masa depannya hancur berantakan. Sejak itu, cintanya terhadap Elaine menjadi satu-2nya cara untuk menyelamatkan hidupnya dan juga melawan moralitas ganda yang berlaku saat itu.

Apa interpretasi penulis tentang film ini? Dengan setiap scene-nya merupakan masterpiece, ceritanya menampilkan dinamika interaksi antara generasi pendahulu dan generasi penerus, yaitu: bagaimana generasi pendahulu "mewariskan" nilai-2 mereka (termasuk segala kekurangan dan kesalahan mereka) ke generasi penerus, dan bagaimana generasi penerus "belajar" (termasuk menyontoh atau mengulang kekurangan dan kesalahan tersebut) dari generasi pendahulu dan "membawanya ke tingkat yang lebih atas". Dalam cerita ini, subyek yang perlu dibawa ke tingkat yang lebih atas adalah moralitas ganda. Apa yang dilakukan oleh Mrs. Robinson adalah sesuatu yang tidak terpuji. Apa yang dilakukan oleh Ben adalah sesuatu yang tidak terpuji. Keduanya sama-2 tidak terpuji; tetapi Mrs. Robinson tidak mau mengakuinya, sedang Ben mengakuinya. Dengan demikian, walaupun Ben juga bersalah, dia adalah hero dari generasi penerus yang berhasil melawan moralitas ganda.

Dari awal sampai akhir, Dustin Hoffman dan Anne Bancroft memberikan performance yang meyakinkan, sutradara Mike Nichols mengarahkan scene-2 yang memorable, dan penulis script Calder Willingham dan Buck Henry menyediakan dialog-2 yang setajam pisau cukur! The Graduate menerima 7 nominasi Oscar, termasuk: Aktor Terbaik untuk Hoffman, Aktres Terbaik untuk Bancroft, Aktres Pendukung Terbaik untuk Ross, Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Script Terbaik, dan Cinematography Terbaik (Mike Nichols memenangkan Sutradara Terbaik). Sayang sekali, karena pada tahun tersebut ada dua film yang lain yang juga menyuarakan isyu-2 sosial yang penting, yaitu In the Heat of the Night (1967) dan Guess Who's Coming to Dinner (1967), trophy-2 Oscar terpaksa dibagi rata di antara tiga film ini. Personally, penulis memilih The Graduate sebagai Film Terbaik untuk tahun 1968. In the Heat of the Night dan Guess Who's Coming to Dinner juga bagus, tetapi The Graduate adalah film yang betul-2 berani! The Graduate juga meningkatkan profile penyanyi folk-rock duo Simon & Garfunkel yang mengisi soundtrack film ini, termasuk hit mereka “Mrs. Robinson”. Sekedar info, Robert Redford pernah dipertimbangkan untuk memainkan peran Benjamin Braddock, tetapi rencana ini diurungkan karena dia dianggap terlalu comfortable dengan seksualitasnya, padahal peran Ben memerlukan orang yang justru sebaliknya. Doris Day, si “the girl next door” juga pernah dipertimbangkan untuk memainkan peran Mrs. Robinson, tetapi dia menolak tawaran ini (oh, Doris! ... what a big mistake!!! dia menolak mungkin karena dia tidak ingin merusak citranya sebagai “professional virgin” :-)).

Hampir setiap scene dalam film ini adalah masterpiece, tetapi tiga yang menjadi favorit penulis adalah:

3) Di dalam bis, duduk di bangku paling belakang, Ben dengan jaketnya yang robek dan Elaine dengan gaun pengantinnya terengah-2 setelah melarikan diri dari gereja.

2) Di hotel, Ben memulai affairnya dengan Mrs. Robinson.
Mrs. Robinson: Benjamin.
Benjamin: Yes?
Mrs. Robinson: Isn't there something you want to tell me?
Benjamin: Tell you?
Mrs. Robinson: Yes.
Benjamin: Well, I want you to know how much I appreciate this. Really.
Mrs. Robinson: The number.
Benjamin: What?
Mrs. Robinson: The room number, Benjamin. I think you ought to tell me that.
Benjamin: Oh, you're absolutely right. It's 568.
Mrs. Robinson: Thank you.
Benjamin: You're welcome. Well ... I'll see you later, Mrs. Robinson.

1) Di rumah Mrs. Robinson, Mrs. Robinson "memojokkan" dan menggoda Ben.
Benjamin: Mrs. Robinson, you're trying to seduce me.
Mrs. Robinson: [tertawa]
Benjamin: Aren't you?
Mrs. Robinson: Benjamin, I am NOT trying to seduce you.
Benjamin: I know that, but PLEASE, Mrs. Robinson, this is difficult ...
Mrs. Robinson: Would you like me to seduce you?
Benjamin: What?
Mrs. Robinson: Is that what you're trying to tell me?

* 9.5/10

The Graduate dapat anda temukan di eBay.com

Thursday 3 May 2012

A Tale of Two Cities

Resensi Film: A Tale of Two Cities (8.5/10)

Tahun Keluar: 1935
Negara Asal: USA
Sutradara: Jack Conway
Cast: Ronald Colman, Elizabeth Allan, Edna May Oliver, Reginald Owen, Basil Rathbone

Plot: Kisah cinta dua pria terhadap seorang wanita sementara revolusi menyapu bersih seluruh Perancis (IMDb).

Novel klasik karya Charles Dickens ini adalah salah satu dari novel-2 favorit penulis ketika kecil. Bagaimana tidak, kalimat pertama dalam paragraf pertama sedemikian mengesankannya:

"It was the best of times, it was the worst of times, it was the age of wisdom, it was the age of foolishness, it was the epoch of belief, it was the epoch of incredulity, it was the season of Light, it was the season of Darkness, it was the spring of hope, it was the winter of despair, we had everything before us, we had nothing before us, we were all going direct to Heaven, we were all going direct the other way -- in short, the period was so far like the present period ..."

Ya, betul sekali, Mr. Dickens ... it's like present time, it's like now (!), itulah perasaan penulis ketika membacanya untuk pertama kali dan setiap kali mengenangnya. Ceritanya tidak pernah lekang oleh panas, tidak pernah lapuk oleh hujan, selalu relevan, bahkan sampai saat ini. Di bawah pengawasan David O. Selznick -- satu-2nya produser (setelah Irving Thalberg) dalam sejarah Hollywood yang "care"  tidak hanya terhadap box-office saja tetapi juga terhadap kualitas atau mutu dari film-2nya, cerita klasik ini berhasil diadaptasi ke layar lebar sangat dekat dengan cerita aslinya. A Tale of Two Cities mempunyai cast yang unggul, khususnya Ronald Colman, sebagai pemeran utama Sydney Carton; juga aktor-2 yang lain yang memainkan peran-2 pendukung, termasuk Basil Rathbone sebagai Marquis St. Evrémonde -- aristokrat yang angkuh dan jahat, Henry B. Walthall sebagai Dr. Manette -- ayah Lucie, orang tidak bersalah yang menjadi korban kesewenang-2an aristokrat, Edna May Oliver sebagai Miss Pross -- pengasuh Lucie, pembantu yang setia, dan Blanche Yurka, yang hampir saja "mencuri" centre-stage, sebagai Madame Defarge -- juga korban kesewenang-2an aristokrat, heroine dan sekaligus arch villainess! Walaupun nampak sebagai kisah cinta, Dickens menciptakan karakter-2 yang menyampaikan pesan-2 yang jauh lebih dalam dari sekedar kisah cinta. Sydney Carton, pria yang mempunyai posisi dan profesi terhormat, tetapi somehow dia tidak menemukan kebahagiaan, tidak menemukan "arti" dalam hidupnya. Dia menghabiskan waktu dan pikirannya antara minum dan ruang pengadilan. Sampai akhirnya dia bertemu Lucie, wanita yang memberinya "arti", tetapi secepat itu pula dia mengetahui bahwa dia tidak dapat memilikinya. Dr. Manette, korban kesewenang-2an yang berhasil berdamai dengan masa lalunya. Madame Defarge, juga korban kesewenang-2an, sebaliknya, tidak pernah sirna nafsu balas dendamnya -- memimpin revolusi di kampung halamannya, menggalang persatuan dan membangkitkan amarah rakyat terhadap aristokrat; dengan sinar matanya yang tajam dan senyumnya yang sinis, dia tidak pernah absen menjatuhi hukuman mati sambil dia duduk merajut di pengadilan kangguru, the Reign of Terror. Kebenciannya terhadap seluruh keturunan Evrémonde, tidak peduli bersalah atau tidak, telah mengkonsumsi dirinya dan mengubah dirinya menjadi monster. Peran-2 pendukung yang lain, dan jumlahnya banyak, dimainkan dengan sangat baik dan mesti anda tonton sendiri untuk mengapresiasinya. Bahkan bagian-2 kecil ini juga unik, berkarakter, so colourful; betul-2 salut untuk casting yang tepat. Anda jarang menemukan perhatian sedetil ini jaman sekarang, unfortunately. Cinematography dan editing dilakukan dengan sangat baik dan menjadikan film ini enak ditonton. Arahan dari Jack Conway juga dilakukan dengan sangat baik, khususnya scene penyerbuan Bastille dan menuju akhir film, scene hukuman mati massal dengan Madame Guillotine -- menimbulkan perasaan eerie (strange and frightening). Scene paling berkesan untuk penulis adalah menuju akhir film ketika Sydney Carton berusaha menghibur seorang seamstress (penjahit wanita) yang ikut-2 dijatuhi hukuman mati hanya gara-2 dia berteman dengan seorang aristokrat. Sambil ketakutan, si seamstress bertanya ke Sydney: "Mengapa aku harus mati?" "Apa gunanya?"

Sydney Carton mengetahui alasan untuk dirinya ...

Scene terakhir, kamera bergerak mengarah ke langit, sementara Carton mengucapkan kalimat terakhirnya,  betul-2 a knock-out! Di akhir film, penulis hanya dapat bergumam, "Wow ..."

A Tale of Two Cities adalah film yang dapat ditonton untuk seluruh keluarga. Ceritanya simple bagi anak-2 untuk memahaminya, tetapi sekaligus compelling bagi orang dewasa untuk menemukan makna yang lebih dalam darinya. Sedikit ganjalan, film ini dikeluarkan pada musim liburan Natal pada tahun 1935 sehingga musical scores-nya disesuaikan dengan festivity yang ada saat itu, padahal tanpa bantuan festivity ini cerita klasik dari Dickens ini akan tetap mampu menjadi klasik.

* 8.5/10

A Tale of Two Cities dapat anda temukan di eBay.com