Monday 21 October 2013

His Girl Friday, Adam's Rib, Dirty Rotten Scoundrels, The War of the Roses

Quadruple The Battle of the Sexes!


Elemen paling penting dalam sebuah film adalah konflik. Dan tidak ada konflik yang lebih natural daripada konflik antara pria dan wanita -- sebelum Dr. John Gray menulis buku larisnya yang berjudul “Men Are from Mars, Women Are from Venus,” penulis lagu George Gershwin dan Ira Gershwin sudah menuangkan konflik tersebut dalam lirik lagunya yang kira-2 seperti ini:

You say either, I say eyether,
 you say neither, I say nyther;
 You like potayto, I like potahto,
 you like tomayto, I like tomahto;

membuat The Battle of the Sexes tema yang sering diangkat menjadi film. Campuran antara satire dan komedi, ditandai dengan script yang ketat dan dialog yang tajam, empat film berikut ini dijamin membangkitkan tawa, sekaligus self-criticism, kepada penonton.

1) His Girl Friday (1940)

Mengetahui bekas istrinya, Hildy Johnson (Rosalind Russell), akan menikah lagi dan meninggalkan kariernya sebagai reporter jagoan, Walter Burns (Cary Grant) -- yang masih mencintainya -- dengan segala cara berusaha menyabotase rencana tersebut dengan mengiming-2i dia untuk melakukan reportase terakhir tentang berita besar eksekusi Earl Williams (John Qualen).

Dengan dialog yang tajam, tetapi lucu, dan super cepat (subtitle sebaiknya di-“on”-kan!), His Girl Friday adalah screwball comedy dengan kecepatan tinggi. Karakter-2nya nampak karikaturis, namun demikian memang itulah yang diinginkan penulis cerita film ini. Di bawah arahan Howard Hawk, seluruh cast menyadari hal tersebut dan menampilkan akting yang hard, brittle, strained to the breaking point, bahkan lebih dari titik zenith tersebut -- mereka seakan-2 menunggu kamera berhenti merekam sehingga mereka bisa jatuh pingsan ke lantai karena kecapekan.

Film klasik yang tetap “menggigit” walaupun sudah lebih dari 70 tahun sejak release perdananya.

2) Adam's Rib (1949)

Seorang istri membuntuti suaminya dan menemukan dia menyeleweng dengan wanita lain. Dalam keadaan emosional sang istri menembakkan pistolnya ke arah mereka -- salah satu dari pelurunya mengenai bahu suaminya. Sang istri ditangkap dan dijatuhi tuduhan usaha pembunuhan. Adam Bonner (Spencer Tracy), asisten jaksa wilayah, memperoleh tugas menjadi jaksa penuntut dalam kasus tersebut. Mendengar suaminya menjadi jaksa penuntut, Amanda Bonner (Katharine Hepburn), seorang advokat, yang bersimpati pada sang istri, mendatangi sang istri dan menawarkan jasanya sebagai pembela. Dimulai dari ruang pengadilan, perseteruan antara Adam dan “rusuknya” ini  merembet masuk ke dalam rumah tangga mereka. Di jaman dimana keseteraan hak dan tanggung-jawab antara pria dan wanita masih belum lazim, sementara Adam bersikap prosedural dan “textbookish”, Amanda menggunakan metode unconventional untuk membangkitkan simpati juri (semuanya pria) dengan mengajak mereka membayangkan seandainya situasinya terbalik.

Dengan judul yang catchy dan bermakna ganda ini, sebagian penonton mungkin menemukan plot ini rada irritating, terutama karena berhubungan dengan tema women's lib -- ketika film keluar pada tahun 1949, tema ini terasa berlebihan; sekarang, terasa ketinggalan jaman. Tetapi faktanya, peristiwa seperti dalam plot ini memang terjadi pada jamannya, dan untuk sebagian tempat di dunia masih terjadi sampai sekarang.

Dikenang sebagai salah satu dari  film-2 Tracy-Hepburn yang paling memorable, script film ini menerima nominasi Oscar untuk Script Terbaik.

3) Dirty Rotten Scoundrels (1988)

Empat dasawarsa kemudian jaman berubah, emansipasi menjadi norma standard dalam masyarakat modern. Namun demikian, sebagian prejudice -- terutama reverse-prejudice -- terhadap masing-2 gender masih bertahan. Didukung pemilihan casting yang tepat, pada titik lemah inilah penulis cerita film ini berhasil dengan cerdik memperdaya penonton.

Penipu kelas kakap, Lawrence Jamieson (Michael Caine), melakukan operasinya di pantai wisata “Beaumont-sur-Mer” di French Riviera. Namun demikian, Lawrence mempunyai etika yang tinggi: dia tidak pernah menipu wanita baik-2; mangsanya hanya wanita yang kaya-raya, manja, dan korup -- misalnya, IMHO, wanita seperti Paris Hilton :-) Karena dia adalah pria yang berbudaya, metode penipuannya halus dan sopan. Caine memainkan perannya dengan smooth dan meyakinkan -- membuat penonton langsung bersimpati dengannya :-) Suatu hari, datang penipu kelas teri/kampungan, Freddy Benson (Steve Martin), ke tempat yang sama untuk mencari mangsa. Walaupun kelasnya berbeda, Lawrence merasa terancam dengan kehadiran Freddy. Tidak berhasil mengusir Freddy, mereka akhirnya mengadakan kontes untuk menentukan siapa yang boleh tinggal di tempat tersebut. Kontesnya adalah mengeruk $50,000 dari Janet Colgate (Glenne Headly), yang konon menurut bellboy hotel adalah pewaris perusahaan multi-nasional sabun dan pasta gigi Colgate di AS. Siapa yang duluan mengeruk $50,000, dia yang menang -- yang kalah harus pergi dari tempat tersebut. And the contest begins.

Dipenuhi dengan situation comedy dengan timing yang pas dan slapstick comedy, Caine dan Martin menampilkan chemistry yang luar biasa dinamisnya sebagai duet -- membuat penonton terpusat perhatiannya kepada mereka, sampai-2 tidak terpikir yang lainnya :-) Kocak dari awal sampai akhir, Michael Caine menerima nominasi Golden Globe untuk Aktor Terbaik - Comedy/Musical (dikalahkan oleh Tom Hanks dalam Big (1988) -- tahun yang bagus untuk film-2 drama komedi).

4) The War of the Roses (1989)

Termasuk salah satu dari screen couples yang paling memorable, Danny DeVito mengemban tanggung-jawab yang besar sebagai sutradara film ini, mempertemukan kembali untuk ketiga dan terakhir kalinya Michael Douglas dan Kathleen Turner, setelah sukses besar mereka dalam Romancing the Stone (1984) dan The Jewel of the Nile (1985). Chemistry positif/cinta antara mereka berdua dalam dua film tersebut tertransformasi dengan sangat baik menjadi chemistry negatif/benci dalam black comedy tentang perceraian ini -- membuat penonton langsung percaya dengan situasi mereka.

Oliver Rose (Douglas) dan Barbara Rose (Turner) adalah pasangan suami-istri dengan dua anak. Awalnya perkawinan mereka nampak perfect, dengan Oliver bekerja sebagai pengacara dan Barbara tinggal di rumah mengurus rumah tangga. Dengan berjalannya waktu, Oliver semakin menanjak kariernya, sedang Barbara semakin restless (tidak puas) dan mulai menyimpan resentment, bitterness (tidak suka) terhadap Oliver. Suatu hari ketika Oliver terkena serangan jantung, Barbara mula-2 terkejut dan concern, tetapi kemudian merasa relief (lega) terhadap kemungkinan Oliver jatuh mati! :-) Tetapi karena Oliver tidak jadi mati, Barbara akhirnya minta cerai, dan Oliver setuju. Perseteruan merebak ketika Barbara menuntut pembagian harta yang Oliver tidak bersedia memberikannya. Dan perseteruan meningkat terus, terus, dan terus, dan tetap tidak ada yang mau mengalah ... sampai titik darah penghabisan. Akhir yang memorable dari duet Douglas-Turner.

Filmya menerima nominasi Golden Globe untuk Film Terbaik - Comedy/Musical; Michael Douglas dan Kathleen Turner masing-2 menerima nominasi Golden Globe untuk Aktor dan Aktres Terbaik - Comedy/Musical.

His Girl Friday, Adam's Rib, Dirty Rotten Scoundrels, The War of the Roses dapat anda temukan di eBay.com

Friday 11 October 2013

The Best Man, Primary Colors, Election

Triple Presidential Elections!


Pemilihan presiden sering diangkat menjadi tema dalam film, terutama pemilihan presiden AS. By now, walaupun hampir semua orang mengetahui bahwa proses pemilihan tersebut berada jauh dari sempurna, dengan script yang baik dan akting yang meyakinkan filmnya masih akan mampu membuat penonton tersenyum getir menyaksikan segala ketidak-etisan yang terjadi. The Ides of March (2011) hampir penulis masukkan dalam trio film berikut ini, karena temanya mirip dengan dua film sebelumnya, tetapi penulis tiba-2 teringat dengan film kecil “cabe rawit” tentang pemilihan “presiden” yang lain -- sama sekali tidak kalah pentingnya dan tidak kalah intensitasnya, yaitu pemilihan ketua OSIS di SMA! :-)

1) The Best Man (1964)

Adaptasi dari teater dengan judul yang sama karya Gore Vidal, dibintangi oleh Henry Fonda dan Cliff Robertson, The Best Man adalah satire politik tentang pemilihan primary -- pemilihan kandidat sebuah partai politik, sebelum pemilihan umum. Fonda memerankan William Russell, konon mewakili figur intelektual Adlai Stevenson; dan Robertson memerankan Joe Cantwell, konon mewakili figur populis John F. Kennedy. Masing-2 saling berseberangan dan berambisi mewakili partainya menuju pemilihan umum. Masing-2 saling berebut dukungan dari senior partai, Lee Tracy, yang memerankan bekas presiden AS, Art Hockstader, konon mewakili figur pragmatis bekas presiden AS, Harry Truman. Hockstader menyukai Russell, tetapi khawatir dengan prinsip idealismenya; sebaliknya tidak menyukai Cantwell, tetapi kagum dengan ketegaran dan kesediaannya melakukan apa saja untuk mencapai tujuan. Sementara persaingan sengit semakin memuncak, serangan “ad hominem” (“to the person”) di antara mereka mulai merebak -- skandal pribadi dari masa lalu digali, ditemukan, bahkan kalau perlu dilebih-2kan, dan digunakan untuk menghancurkan kredibilitas kandidat. Dengan situasi hancur-2an tersebut, bagaimana pemilih, dhi. pemilih dalam partai tersebut, mesti memilih siapa yang bakal menjadi kandidat dari partai?

Didukung pengarahan dari Franklin J. Schaffner yang no non-sense, karya-2 selanjutnya termasuk Planet of the Apes (1968), Patton (1970), dan Papillon (1973), Henry Fonda, Cliff Robertson, dan Lee Tracy masing-2 memberikan akting yang luar biasa -- yang menonton saja merasakan betapa capeknya kampanye seperti itu, apalagi yang nglakoni :-) Lee Tracy menerima nominasi Oscar untuk Aktor Pendukung Terbaik.

2) Primary Colors (1998)

Tiga dasawarsa selanjutnya taktik kampanye ternyata tidak berubah sama sekali, bahkan lebih sengit! Adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya jurnalis Joe Klein, dibintangi oleh all-star cast John Travolta, Emma Thompson, Billy Bob Thornton, Kathy Bates, dan Larry Hagman, Primary Colors adalah satire politik tentang (konon) pemilihan primary partai Demokrat pada tahun 1992 -- saat itu Joe Klein mengikuti kampanye primary Bill Clinton untuk majalah Newsweek. Cerita disampaikan dari kacamata sang jurnalis, yang diwakili oleh karakter Henry Burton (Adrian Lester), seorang political idealist yang muda, pandai, dan berkulit hitam, yang direkrut menjadi manajer kampanye -- hmmm, siapa yang nyangka satu dasawarsa kemudian seorang political idealist yang muda, pandai, dan berkulit hitam berhasil menjadi presiden AS. Seluruh film menjadi eye-opening experience bagi Burton yang masuk “hijau” di awal film dan keluar “abu-2” di akhir film :-) Betapa mudahnya kita terkecoh dengan so called “kharisma” seorang politikus. Betapa naifnya kita menganggap bahwa apa yang terlihat di luar sama dengan apa yang betul-2 ada di dalam. Betapa lugunya kita sebagai masyarakat awam, tidak menyadari betapa mujarabnya strategi seorang “spin doctor” :-)

Didukung script yang rapi, tajam, dan menampilkan realitas dengan dosis yang pas, dan pengarahan dari Mike Nichols yang simpatik -- karya-2 sebelumnya termasuk Who's Afraid of Virginia Woolf? (1966), The Graduate (1967), Catch-22 (1970), Silkwood (1983), dan Working Girl (1988), seluruh cast berhasil tampil endearing, dicintai penonton -- Travolta yang konon mewakili Clinton: tidak peduli apapun kekurangannya, orang tetap cinta padanya; Thompson yang konon mewakili Hillary: keras, ambisius, nevertheless partner yang sepadan dengan suaminya; Thornton sebagai political strategist yang ganas tetapi diperlukan; dan Bates sebagai “bumper” yang nampak tegar tetapi akhirnya mengalami breakdown. Script film ini menerima nominasi Oscar untuk Script Adaptasi Terbaik dan Kathy Bates menerima nominasi Oscar untuk Aktres Pendukung Terbaik.

3) Election (1999)

Orang-2 ambisius di dunia politik tersebut banyak yang memulai perjalanan (atau petualangan)-nya dari sekolah atau univeritas. Dalam film ini, adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Tom Perrotta, dari sekolah. Jangan dikira karena settingnya di sekolah kemudian intensitasnya berkurang :-) Untuk anak sekolah, pemilihan ketua OSIS adalah ajang berpolitik yang prestisius. Film dengan setting SMA dan mayoritas cast remaja ini betul-2 kejutan -- dan kejutan yang positif! Tetapi setelah melihat siapa yang menulis dan mengarahkan film ini, kita menjadi tidak heran lagi: Alexander Payne -- karya-2 selanjutnya termasuk About Schmidt (2002), Sideways (2009), dan The Descendants (2011).

Dengan gaya komedi fatalistic-nya, Payne menampilkan seorang guru Civic yang idealist, Jim McAllister (Matthew Broderick), yang berusaha mendidik siswanya menjadi pelaku demokrasi yang bertanggung-jawab. Di antara semua siswa yang indifferent (EGP ... nggak care lah :-)), ada satu yang sangat care :-), bahkan ambisius menjadi pemimpin, namanya Tracy Flick (Reese Witherspoon). Sementara Flick sibuk mempersiapkan diri untuk pemilihan ketua OSIS, McAllister terlibat dalam urusan pribadi yang akhirnya mempengaruhi judgement-nya sebagai guru. Dengan script yang rapi dan tajam, dan dibumbui dengan komedi fatalistic, semua sub-plot yang ada terjalin koheren menuju akhir yang bittersweet.

Lulus dari film-2 remaja sebelumnya, Witherspoon -- saat itu berusia 23 tahun -- dengan meyakinkan menampilkan versatilitas aktingnya; tidak mengherankan enam tahum kemudian dia berhasil menggondol Oscar untuk Aktres Terbaik dalam Walk the Line (2006). Script film ini menerima nominasi Oscar untuk Script Adaptasi Terbaik.

The Best Man, Primary Colors, Election dapat anda temukan di eBay.com