Friday 25 July 2014

Pygmalion

Pygmalion ★★★★★

Social Mobility: From rags to riches ...

Menuju masyarakat yang égalitaire: Yang lemah bisa menjadi kuat, yang miskin bisa menjadi kaya, yang bawah bisa menjadi atas ...

Walk? Not bloody likely. I'm going in a taxi!

Tahun Keluar: 1938
Negara Asal: Inggris
Sutradara: Anthony Asquith, Leslie Howard
Cast: Leslie Howard, Wendy Hiller, Wilfrid Lawson, Marie Lohr, Scott Sunderland

Cerita drama pemenang Nobel Kesusastraan tahun 1925, karya penulis dan kritikus sosial asal Irlandia, George Bernard Shaw, ini tidak pernah lapuk ditelan pergantian jaman. Selama manusia masih terus berjuang (bertengkar, berselisih paham, atau 'eker-2an') mencapai masyarakat yang adil dan makmur, cerita Pygmalion ini akan terus terasa relevan. Sedemikian baiknya tulisan Shaw ini sehingga ceritanya dapat dengan versatile tertransformasi secara mulus dari medium aslinya, teater, ke medium-2 yang lain, a.l.: film -- Pygmalion (1938), teater musik -- My Fair Lady (1956), atau mungkin yang paling terkenal, film musik -- My Fair Lady (1964).

Sebagai orang Irlandia -- yang republik (rakyat jelata), yang tinggal di Inggris -- yang  monarki/kerajaan (didominasi oleh kelompok aristokrat), tidaklah sulit bagi Shaw untuk melihat bahwa di negeri adopsinya ini superioritas adalah garis keturunan atau hasil warisan, bukan hasil usaha sendiri. Superiority was inherited, not earned. Namun demikian, pengamatan sosial yang tajam ini tidak terjadi unik di Inggris saja, tetapi juga di negara-2 yang lain, misalnya: seorang anak menikmati status atau privilege orangtuanya, melulu karena garis keturunan atau hasil warisan, bukan karena usahanya sendiri. Sebagai seorang socialist-republican, Shaw mengidolakan masyarakat dengan Social Mobility yang tinggi, artinya masyarakat dimana rakyatnya mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan taraf kehidupannya, tidak peduli dari mana asal-usul atau latar belakangnya, atau bahkan apa jenis kelaminnya. Dengan kata lain, masyarakat yang égalitaire -- masyarakat yang tidak berkelas; tidak ada dikotomi kelas kuat - kelas lemah, kelas kaya - kelas miskin, kelas atas - kelas bawah, atau kelas pria - kelas wanita. Dengan tema yang universal ini tidak mengherankan karya Shaw ini masih terus relevan sampai saat ini.

Suatu saat di suatu malam yang hujan deras, di daerah gedung-2 opera di Covent Garden, London, seorang wanita penjual bunga, Eliza Doolittle (Wendy Hiller), menjadi subyek polemik antara seorang guru besar Phonetics, Professor Higgins (Leslie Howard), dan seorang ahli Phonetics yang lain, Colonel Pickering (Scott Sunderland). Tanpa menghiraukan kehadiran dan perasaan Eliza, Professor Higgins berdalil bahwa gaya berbicara seseorang sangat menentukan prospek orang tersebut dalam masyarakat: gaya berbicara selokan akan menempatkan pembicaranya di selokan juga, atau sebaliknya. Pandai tetapi tinggi hati, Professor Higgins tidak dapat menahan keinginannya untuk memamerkan kehebatannya sebagai ahli Phonetics: dia bertaruh kepada Colonel Pickering bahwa dia mampu mengajar Eliza berbicara seperti wanita dari kelas atas, sedemikian rupa sehingga dia bisa bekerja di toko bunga atau bahkan disangka sebagai wanita berdarah biru di pesta dansa di Buckingham Palace.


Mendengar pembicaraan mereka tentang dirinya, Eliza diam-2 tertarik mencoba dalil tersebut. Keesokan harinya, Eliza datang tanpa diundang ke rumah Professor Higgins dan memintanya mengajarinya berbicara seperti wanita dari kelas atas. Tidak menyangka dalilnya ditanggapi secara serius, Professor Higgins mentah-2 menolak permintaan tersebut dan mengolok-2 keinginan Eliza tersebut. Tetapi Eliza bersikeras dan mendesak terus. Tidak setuju dengan sikap Professor Higgins terhadap Eliza, Colonel Pickering akhirnya turun tangan, mengingatkan Professor Higgins bahwa dia memang bertaruh seperti itu, dan dia bersedia menerima taruhan tersebut -- taruhannya: dia akan mengganti seluruh biaya belajar Eliza kalau Professor Higgins berhasil membuktikan dalilnya. Tidak bisa mundur dari tantangan tersebut,  Professor Higgins setuju.

Maka dimulailah proses belajar-mengajar 24 jam sehari, 7 hari seminggu, antara Professor Higgins dan Eliza. Kalau Professor Higgins akan mengajari Eliza berbicara dengan baik, Eliza akan berusaha mengajari dia empati dan kerendahan hati.


Cerita berpusat pada pertemuan dua ego raksasa: yang satu milik guru besar Phonetics, Professor Higgins, yang lainnya milik wanita penjual bunga, Eliza Doolittle. Tidak perlu disangsikan lagi “kebesaran” ego Professor Higgins: snobbish, chauvinist, misogynist, sexist ... yang semuanya artinya sama :-) : merasa dirinya paling wahid. Namun demikian, “ketegaran” ego Eliza-lah yang berhasil menahan serangan sarkasme dan prejudice dari Professor Higgins yang berusaha menjatuhkan harga dirinya.

Professor Higgins: “You know, it's almost irresistible. She's so deliciously low. So horribly dirty.

Demikian juga dengan pemicu plot dalam cerita ini: Eliza-lah yang menggerakkan plot dalam cerita ini -- Eliza-lah yang berinisiatif datang ke rumah Professor Higgins dan memintanya mengajarinya. Shaw dengan cermat menulis dialog-2 tajam yang menampilkan betapa kelirunya prejudice Professor Higgins terhadap Eliza, bahwa orang dari kelas bawah itu tidak punya harga diri, tidak punya ambisi, tidak mengerti ekonomi, terlebih lagi wanita ... tidak punya otak. Well, Eliza tanpa tedeng aling-2 melawan semua prejudice tersebut, misalnya:

Eliza Doolittle: “I know what lessons cost as well as you do, and I'm ready to pay.

Namun demikian, Shaw tidak melupakan sisi humor dalam dialog-2 yang serius tersebut, misalnya:

Professor Higgins: “How much do you propose to pay me for the lessons?
Eliza Doolittle: “Oh, I know what's right. A lady friend of mine gets French lessons for eighteen pence an hour from a real French gentleman. Well, you wouldn't have the face to ask me the same for teaching me my own language as you would for French; so I won't give more than a shilling. Take it or leave it.

1 - 0 untuk Eliza! :-)

Dan masih ada banyak dialog-2 tajam yang lain -- serius sekaligus lucu dan menggelitik, yang akhirnya melampaui batas-2 taruhan awalnya:

Benarkah gaya berbicara adalah satu-2nya tanda yang mencerminkan status seseorang? Bagaimana kalau  topik atau subyek pembicaraannya nyaris nihil?

Eliza Doolittle: “The rain in Spain stays mainly in the plain. In Hertford, Hereford and Hampshire, hurricanes hardly ever happen.

atau tetap sama seperti semula:

Eliza Doolittle: “My aunt died of influenza. So they said. But it's my belief they done the old woman in.
Mrs. Higgins: “Done her in?
Eliza Doolittle: “Yes, Lord love you! Why should she die of influenza? She come through diphtheria right enough the year before. I saw her with my own eyes. Fairly blue with it, she was. They all thought she was dead; but my father he kept ladling gin down her throat til she came to so sudden that she bit the bowl off the spoon.

Bagaimana dengan sikap atau tingkah-laku? Bukankah hal ini juga tanda yang mencerminkan status seseorang?

Bagaimana dengan uang? Bagaimana dengan orang yang berbicara, bersikap/bertingkah-laku seperti orang dari kelas atas, tetapi tidak punya uang? (dalam cerita ini: keluarga Eynsford-Hill yang dijuluki sebagai “social climber” :-) ) Atau sebaliknya, orang yang berbicara, bersikap seperti orang dari kelas bawah, tetapi ternyata punya uang? (dalam cerita ini: ayah Eliza yang tiba-2 menjadi kaya gara-2 mewarisi kekayaan seorang jutawan Amerika yang tidak percaya dengan sistem di Inggris). Sejak itu, walaupun gaya bicara dan sikapnya sama seperti semula, ayah Eliza langsung naik kelas menjadi “gentleman” :-)

Untuk Eliza sendiri (wanita pada jamannya), setelah dia berhasil menjadi “lady”, so what ... ??! Ke-“lady”-annya tersebut bisa digunakan untuk apa? Ternyata hanya bisa digunakan untuk kawin. Yang menurut kelas atas hal ini adalah hal yang membanggakan, tetapi untuk Eliza hal ini justru tragis dan memalukan.

Eliza Doolittle: “I sold flowers! I didn't sell myself! Now you've made a lady of me, I'm not fit to sell anything else.

Yes, 2 - 0 untuk Eliza! :-)


Kritik sosial yang dilempar Shaw, solusi yang ditawarkan Professor Higgins, ternyata membuka “can or worms” -- membongkar masalah-2 yang lain yang lebih pelik. Dan inilah open-ending, akhir yang terbuka, yang meninggalkan penonton bertanya-2: Bagaimana nasib Eliza selanjutnya?

Sayangnya, di luar dunia teater dan sastra, karya George Bernard Shaw ini kurang mendapat penghargaan untuk pengaruhnya terhadap class-consciousness -- perjuangan menuju masyarakat yang lebih adil, masyarakat yang tidak berkelas, dan khususnya terhadap feminisme -- perjuangan menuju masyarakat dengan kesetaraan gender.

Klasik.



Pygmalion dapat anda temukan di eBay.com

Sunday 6 July 2014

The Stepford Wives

The Stepford Wives ★★★★☆

Ideal: Standard kesempurnaan ciptaan manusia yang tidak manusiawi ...

If I am wrong, I'm insane. But if I'm right, it's even worse than if I was wrong.

Tahun Keluar: 1975
Negara Asal: USA
Sutradara: Bryan Forbes
Cast: Katharine Ross, Paula Prentiss, Peter Masterson, Patrick O'Neal

Dialog di atas dengan sangat perseptif meringkas perasaan protagonis tentang situasi yang terjadi dalam drama horor, sekaligus kritik sosial, karya penulis Ira Levin ini.

Karya Levin yang lain yang mungkin anda kenal adalah Rosemary's Baby -- yang juga sudah difilmkan dengan Mia Farrow sebagai pemeran utama dan Roman Polanksi sebagai sutradara. Kalau anda dapat menerima (menikmati) Rosemary's Baby, yang notabene adalah cerita horor klenik, meskipun anda mungkin bukan orang yang percaya dengan klenik -- setan gundul, sundel bolong, atau yang lainnya :-), maka anda semestinya dapat juga menerima The Stepford Wives, yang notabene adalah cerita horor science fiction. Anda tidak perlu menjadi believer dalam hal apapun, cukup imajinasi saja, untuk dapat menikmati science fiction. Am I right?!

Keluarga muda Joanna (Katharine Ross) dan Walter Eberhart (Peter Masterson), dan dua anaknya, pindah dari hiruk-pikuk kota New York ke aman dan tenteram kota Stepford di negara bagian Connecticut. Alasan utamanya, kota kecil ini cocok untuk membesarkan keluarga -- rumahnya besar, halamannya luas, dan untuk Joanna sendiri dia bisa mempunyai kamar gelap untuk menyalurkan bakat fotografinya. Walaupun mula-2 keputusan pindah tersebut nampak seperti keputusan bersama, scriptnya dengan cepat menunjukkan bagaimana Walter meng-fait accompli istrinya terhadap keputusan tersebut -- dan, as a matter of fact, keputusan-2 yang lain. Kebosanan dengan cepat menghinggapi Joanna, bukan melulu karena kota Stepford yang sepi, tetapi karena penduduk wanita sebayanya tidak mempunyai inklinasi intelektual seperti dirinya. Dengan suaminya bersosialiasi sendiri dalam Men's Association (klub khusus pria), dan tetangga sebelahnya, Carol (Nanette Newman), bersikap submisif seperti wanita dari era Jane Austen :-), Joanna lebih senang menyendiri saja.

Situasi mulai berubah ketika pada suatu hari Bobbie (Paula Prentiss), pendatang baru juga seperti dirinya, mendatanginya dan mengajaknya berteman. Bagaikan kutub utara bertemu dengan kutub selatan, Joanna dan Bobbie langsung berteman akrab, dan mereka mulai mencari wanita-2 sebaya pendatang baru yang lain, tetapi cuma menemukan satu saja, Charmaine (Tina Louise). Ketiganya mempunyai pendapat dan perasaan yang sama terhadap kaum wanita di kota Stepford, mereka berusaha mengorganisir pertemuan yang disebut dengan consciousness/awareness raising: membicarakan segala macam topik mulai dari sosial sampai politik. Tetapi usaha mereka mengumpulkan kaum wanita di kota ini menemui jalan buntu, karena mereka sama sekali tidak tertarik: ada yang tertariknya nyetrika saja, ada yang tertariknya bersih-2 rumah dan masak saja, ada yang tertariknya berkebun saja :-) Bahkan setelah Joanna mem-“blackmail” para suami untuk “mengutus” istrinya datang ke pertemuan tersebut, hasilnya tetap nihil. Tetapi yang membuat Joanna dan Bobbie kecewa berat, sekaligus terheran-2, adalah ketika beberapa hari kemudian Charmaine berubah total menjadi submisif seperti wanita-2 yang lain di kota ini. Berusaha memahami perubahan drastis tersebut, Bobbie mempunyai teori bahwa mungkin ada semacam konspirasi, disengaja atau tidak disengaja, yang mencemari atau meracuni persediaan air minum di kota ini yang menyebabkan kaum wanitanya berubah menjadi submisif -- mempertimbangkan banyaknya industri high-tech di kota ini.

Bobbie: “I think there's something in the water that turns us into house fraus.” :-)

Beberapa hari kemudian, ketika Bobbie juga berubah total menjadi submisif, Joanna tidak dapat lagi menyembunyikan ketakutan dan rasa paniknya, menyadari bahwa target berikutnya adalah dirinya!

Apa yang terjadi pada  kaum wanita di kota Stepford?

Benarkah prasangka Joanna?

Joanna: “If I am wrong, I'm insane. But if I'm right, it's even worse than if I was wrong.

Sama seperti Rosemary's Baby (1968), script dan arahan film ini berhasil dengan sangat pas menangkap esensi dari cerita yang ada -- gosip yang ada menyebutkan sutradara Bryan Forbes terpaksa “melembutkan” script William Goldman (Butch Cassidy and the Sundance Kid, All the President's Men, Marathon Man, Misery) karena script tersebut dinilai terlalu horor, terutama bagian akhirnya. Goldman menggunakan pendekatan slow-burning: plot terkuak secara perlahan-2, seakan-2 sepele atau dapat kita abaikan, tetapi ketika kita menyadarinya, semuanya sudah terlambat. Arahan Forbes terhadap akting para cast-nya juga subtle (tidak kentara): kita merasa ada sesuatu yang ganjil, tetapi perasaan tersebut tidak sampai membangkitkan kecurigaan ... sampai ketika kita menyadarinya, dan saat itu kita sudah kecolongan :-)

Penggunaan lensa soft-focus turut menciptakan nuansa surealis yang berhasil dengan sangat baik mencampur antara realitas dan mimpi (dhi, mimpi buruk). Penggunaan musik bernada mengancam di antara musik utama yang bernada romantis betul-2 “menangkap” penonton dalam keadaan tidak siap. Namun demikian, kalau anda teliti, script Goldman ini sesungguhnya menjatuhkan banyak clue/hint di sepanjang film, misalnya: di awal film, seorang pria menyeberang jalan sambil membawa mannequin, dialog Walter dengan tetangga sebelahnya, Ted, pada hari pertama kepindahan mereka di Stepford:

Walter: “She cooks as good as she looks, Ted,

insiden di supermarket, dialog antara Walter dan Joanna di tengah malam setelah Walter datang untuk pertama kalinya di Men's Association, atau juga efek-2 suara synthesizer yang tajam dan memekakkan telinga pada momen-2 tertentu.


Satu adegan yang memorable, mula-2 membosankan tetapi kemudian berubah menjadi creepy, menakutkan, yaitu ketika teman-2 Walter dari Men's Association datang berkunjung ke rumah mereka, ngobrol ngalor-ngidul ndak karuan juntrungnya, tetapi ada satu orang yang membuat sketsa wajah Joanna -- luar biasa persisnya sampai membuat bulu kuduk penulis berdiri.

Dale: [Joanna is brewing coffee] “I like to watch women doing little domestic chores.
Joanna: “You came to the right town.

Namun demikian, film ini bukannya tanpa humor. Ketika menonton pertama kalinya, penulis memang kelewatan menikmati humor gelap yang ada. Tetapi menonton kedua kalinya, penulis bisa tertawa terpingkal-2 menyaksikan adegan ketika Joanna dan Bobbie berusaha mengumpulkan kaum wanita di kota Stepford untuk datang ke pertemuan mereka dan gagal total.

Mary: “I'm sorry. I just can't waste my spare moments on something like that.
Joanna: “But you do go out sometimes don't you?
Mary: “Go out??? ... ... Of course I go out. I'm out now, aren't I?” :-)

Sebagian film critic ternama, a.l. Roger Ebert, tidak menyukai pendekatan Forbes dan Goldman yang mereka nilai “berlebihan”, maksudnya terlalu serius dan gelap. Anehnya, mereka menyarankan pendekatan satir komedi -- dan saran ini ternyata terwujud dalam remake film ini, dengan judul yang sama pada tahun 2004, dengan Nicole Kidman sebagai pemeran utama; dan hasilnya: mengerikan, rubbish! :-) Lucunya, di lain pihak, Women's Lib menuduh film ini sebagai anti wanita -- entah mengapa, mungkin karena di akhir film protaganisnya kalah.

Tetapi untuk penulis, akhir dari protagonis yang mengenaskan ini, dilanjutkan dengan scene penutup yang seakan-2 mengabaikan semua peristiwa yang terjadi sebelumnya, justru membuat bulu kuduk penulis berdiri; dan kritik sosial dari cerita ini justru bergema lebih keras sampai ke sudut-2 yang paling jauh: Ideal adalah standard kesempurnaan ciptaan manusia yang tidak manusiawi -- dan tidak perlu disangsikan lagi, melanggar hak asasi manusia.


Joanna: “Hello, Bobbie.
Bobbie: “Oh, hello, Joanna.
Joanna: “How are you?
Bobbie: “I'm fine. How are you?
Joanna: “I'm fine. How are the children?
Bobbie: “Fine ...

Film ini dibuat sebelum film-2 tentang humanoid, seperti Blade Runner (1982), menjadi tren populer. Dan sampai saat ini, film ini terus menciptakan pro dan kontra.

It's a cult classic.



The Stepford Wives dapat anda temukan di eBay.com