Gagal membangkitkan inspirasi ...
Tahun Keluar: 2014
Negara Asal: USA
Sutradara: Darren Aronofsky
Cast: Russell Crowe, Jennifer Connelly, Ray Winstone, Emma Watson, Anthony Hopkins
Darren Aronofsky (Requiem for a Dream, The Wrestler, Black Swan) mengawali film ini dengan latar belakang dystopia/post-apocalypse: langit yang kelabu, tanah yang tandus, manusia yang hidup dengan cara nomaden -- tidak memiliki tempat tinggal, tetapi berpindah-2 dari satu tempat ke tempat yang lain, dan kalau berkelompok, mereka lebih berfungsi sebagai “gerombolan” daripada masyarakat -- menyerang gerombolan yang lain: membunuh, menjarah, dan bahkan melakukan kanibalisme. Demikianlah gambaran Aronofsky dari kehidupan gelap keturunan Adam Adam dan Hawa sejak diusir dari Taman Firdaus. Dalam mimpi-2nya yang menakutkan, Noah (Russell Crowe) melihat permukaan bumi berubah menjadi lautan yang memusnahkan segala kehidupan di atasnya. Dengan bijih pohon pemberian kakeknya, Methuselah (Anthony Hopkins), Noah menanam bijih pohon tersebut dan dalam waktu sekejap tumbuh menjadi hutan yang lebat. Dibantu oleh The Watchers -- para malaikat yang dihukum tinggal di bumi sebagai raksasa berbatu gara-2 melanggar perintah Sang Pencipta, Noah dan keluarganya mulai membangun sebuah bahtera besar. Delapan tahun kemudian, ketika pembangunan tersebut hampir selesai, binatang-2 mulai berdatangan dari segala penjuru dan memasuki bahtera tersebut. Mengikuti binatang-2 tersebut, gerombolan yang dipimpin Tubal-Cain (Ray Winstone) juga ingin memasuki bahtera tersebut tetapi dilarang oleh Noah yang percaya bahwa Sang Pencipta ingin menamatkan riwayat hidup manusia, termasuk garis keturunannya sendiri, dari atas muka bumi ini. Masalah timbul ketika dua anak Noah yang menginjak dewasa, Shem dan Ham, ingin berkeluarga. Shem mengetahui calon istrinya, Ila (Emma Watson), anak terlantar yang dipungut Noah dan istrinya Naameh (Jennifer Connelly), mandul sehingga tidak mungkin memberinya keturunan. Ham, melawan perintah ayahnya, pergi mencari istri dari antara gerombolan Tubal-Cain. Masalah lebih pelik lagi timbul ketika Ila yang kemudian menjadi istri Shem ternyata melahirkan anak, bukan satu tetapi bahkan kembar. Benarkah keyakinan Noah bahwa Sang Pencipta ingin memusnahkan manusia dari atas muka bumi ini?
Penulis tidak ingin membahas “keakuratan” cerita Noah di atas, karena keakuratan bukanlah pendekatan yang tepat untuk storytelling yang selalu pasti dan semestinya (baca, sepatutnya) mengandung interpretasi pribadi dari storyteller/penyampai cerita (dhi, filmmaker). Tetapi justru di sinilah letak kelemahan film ini.
Aronofsky, yang ikut menggarap scriptnya, gagal membangkitkan inspirasi penonton terhadap pesan penting dari musibah air bah ini: manusia sudah terlanjur mewarisi bumi dan isinya, dan sekarang terserah kita bagaimana kita memelihara warisan tersebut. Script dan dialog-2nya ternyata hanya menyentuh bagian-2 luarnya saja, seakan-2 dia sendiri kurang yakin apa pesan dari cerita ini. Ditunjukkan Noah adalah keturunan Seth, menjadikan dirinya keturunan baik -- pengembara, pemakan tumbuhan; sedang Tubal-Cain keturunan Cain, menjadikan dirinya keturunan jahat -- industrialis, pemakan daging. Tetapi justru Noah-lah yang percaya Sang Pencipta ingin memusnahkan manusia dari atas muka bumi; sedang Tubal-Cain, dengan segala keburukannya, justru menampilkan kemanusiaannya dengan memohon kepada Noah bahwa manusia patut diselamatkan. Dengan script yang lemah (baca, tidak berarah), Aronofsky memusatkan perhatiannya pada visual effects, special effects, dan aksi pertempuran antara gerombolan Tubal-Cain dan raksasa berbatu The Watchers, membuat hasil akhir cerita biblical ini kurang meyakinkan, pada saat-2 tertentu membosankan, dan terasa seperti campuran antara Mad Max (latar belakang dystopia/post-apocalypse), The Lord of the Rings (gerombolan Tubal-Cain), Transformers (raksasa berbatu The Watchers), dan Waterworld (musibah air bah).
Kombinasi yang aneh dengan pesan akhir yang lemah.
No comments:
Post a Comment