Tuesday 22 April 2014

Witness for the Prosecution

Witness for the Prosecution ★★★★★

Sempurna: Cerita, arahan, script, dialog, karakter, dan akting.


Tahun Keluar: 1957
Negara Asal: USA
Sutradara: Billy Wilder
Cast: Tyrone Power, Marlene Dietrich, Charles Laughton, Elsa Lanchester

Film ini adalah film Billy Wilder yang menyejajarkan dirinya dengan Alfred Hitchcock -- tepat pada dekade dimana Hitchcock juga berada pada puncak prestasinya: Strangers on a Train (1951), Rear Window (1954), Vertigo (1958), North by Northwest (1959). Cerita karya Ratu Misteri Pembunuhan, Agatha Christie, ini adalah medium yang ideal untuk menampilkan semua elemen Hithcockian: a fish out of the water -- karakter utama yang bingung dan panik gara-2 terperosok ke dalam situasi yang dia tidak mengerti, karakter-2 pendukung yang menarik dan penuh intrik, misteri, witticism/humor, twist/unforeseen development -- faktor yang luput dari pengamatan kita, dan tentu saja suspense.

Seorang veteran prajurit PD2, Leonard Vole (Tyrone Power), ditangkap polisi dengan tuduhan membunuh Mrs. Emily French (Norma Varden), seorang janda kaya berusia setengah baya yang menyimpan afeksi terhadap Vole sedemikian dalamnya sampai-2 memasukkan dia sebagai pewaris utama harta kekayaannya. Walapun tidak ada bukti yang konkret, semua circumstantial evidence mengarah ke dirinya sebagai pembunuh. Baru saja sembuh dari sakit parahnya, Sir Wilfrid Robarts (Charles Laughton),  seorang Q.C./pengacara terkemuka di London, mula-2 menolak menangani kasus Vole ini, tetapi kemudian berubah pikiran (baca, merasa tertantang) -- melawan semua nasehat dan larangan dari perawat pribadinya, Miss Plimsoll (Elsa Lanchester), setelah bertemu dengan istri Vole, Christine (Marlene Dietrich), seorang wanita Jerman yang bernasib malang, tetapi “kaku”/“kerasdan tidak mau dikasihani. Maka disusunlah pembelaan untuk Vole melawan semua circumstantial evidence yang mengarah ke dirinya. Mengetahui aturan hukum bahwa istri tidak boleh menjadi saksi untuk suaminya, Robarts terkejut ketika jaksa penuntut memanggil Christine sebagai saksi dan membongkar masa lalu Christine yang ternyata sudah kawin dengan pria Jerman ketika dia dulu tinggal di Jerman; membuat perkawinannya dengan Vole tidak sah, membuat mereka bukanlah suami-istri, dengan demikian Christine harus menjawab semua pertanyaan jaksa tentang Vole. Robarts semakin terkejut ketika Christine justru memberi kesaksian yang memberatkan Vole! Biasanya seperti ikan hiu yang memangsa buruannya, Robarts kali ini merasa sebaliknya: seperti buruan, dan betul-2 pusing (baca, tertantang) berhadapan dengan wanita Jerman yang dia tidak mengerti “manuver”-nya ini :-)


Adaptasi dari teater dengan judul yang sama, Witness for the Prosecution adalah film yang tidak pernah membosankan ditonton berulang-2, atau direview berulang-2. Walaupun Tyrone Power menempati first-billing, star performance film ini terletak pada Marlene Dietrich, Charles Laughton, dan dinamika antara Laughton dan Elsa Lanchester, yang dalam kehidupan nyata adalah istrinya. Dietrich, satu dari sedikit aktres dari era film bisu yang sukses bertahan melalui transformasi ke era baru film bersuara -- satu angkatan dengan Greta Garbo dan Gloria Swanson, yang tampil dalam film klasik Wilder yang lain, Sunset Boulevard (1950), berhasil dengan sangat baik memanfaatkan gaya theatrical-nya yang khas, yang untuk ukuran film bersuara memang terasa over the top”, tetapi di sini justru menguatkan karakter Jermannya yang “asing”, “kaku”, dan “keras” untuk ukuran Anglo-Saxon, yang sengaja ditonjolkan Wilder untuk membawa penonton melalui “roller-coaster” perasaan: mula-2 membangkitkan antipati penonton terhadapnya, kemudian pertanyaan/misteri, dan akhirnya simpati. Peran dan penampilan Dietrich betul-2 central dan pivotal -- hanya akting yang luar biasa yang mampu mengubah opini penonton dari antipati ke simpati. Christine Vole/Christine Helm dalam film ini adalah reprise dari Norma Desmond dalam Sunset Boulevard. Laughton, pemain watak dengan penampilan-2 iconic seperti Henry VIII dalam The Private Life of Henry VIII (1933), Inspector Javert dalam Les Misérables (1935), dan Quasimodo dalam The Hunchback of Notre Dame (1939), kebagian semua dialog terbaik dalam scriptnya dan membawakannya dengan mudah dan meyakinkan. Peran dan penampilan Laughton, sambil dia mondar-mandir kesana-kemari di seluruh film pusing memikirkan kasusnya, betul-2 mengasyikkan untuk ditonton. Lanchester, pemain watak juga yang mungkin diingat penonton sebagai Mary Shelley dalam The Bride of Frankenstein (1935), menyediakan momen-2 lucu dan menyegarkan. Last, but not least, cast pendukung yang lain: John Williams, reguler dalam film-2 Hitchcock, sebagai asisten Robarts; Henry Daniell, pemain watak juga, sebagai penasehat hukum Vole; dan Norma Varden, reguler dalam film-2 period drama, sebagai janda kaya yang naif, semuanya tampil mengesankan.

Diadaptasi dari drama teater, scriptnya mempunyai dialog-2 yang tajam  dan berhasil dengan sangat baik menyimpan twist dengan rapi. Jika ada kelemahannya, kelemahannya adalah scriptnya tidak dapat secara penuh lepas dari asal-usulnya, dan dari waktu ke waktu memang terasa talky (terlalu banyak pembicaraannya). Tetapi karena para pemainnya sangat ahli dalam berbicara, penonton justru terhibur mendengarkannya.

Mengkombinasikan semua ini adalah arahan Wilder yang kreatif. Kemampuannya mengkombinasikan antara drama dan komedi tanpa mengurangi bobot masing-2 adalah kekuatan utama film ini. Seandainya dimainkan melulu sebagai drama, filmnya akan menjadi kering dan membosankan. Seandainya dimainkan melulu sebagai komedi, filmnya akan menjadi parodi dan tidak berbobot. Tetapi dimainkan sebagai kombinasi antara drama dan komedi, filmnya menjadi betul-2 mengesankan.

Klasik.



Witness for the Prosecution dapat anda temukan di eBay.com

Wednesday 9 April 2014

Noah

Noah ★★★☆☆

Gagal membangkitkan inspirasi ...

Tahun Keluar: 2014
Negara Asal: USA
Sutradara: Darren Aronofsky
Cast: Russell Crowe, Jennifer Connelly, Ray Winstone, Emma Watson, Anthony Hopkins

Darren Aronofsky (Requiem for a Dream, The Wrestler, Black Swan)  mengawali film ini dengan latar belakang dystopia/post-apocalypse: langit yang kelabu, tanah yang tandus, manusia yang hidup dengan cara nomaden -- tidak memiliki tempat tinggal, tetapi berpindah-2 dari satu tempat ke tempat yang lain, dan kalau berkelompok, mereka lebih berfungsi sebagai “gerombolan” daripada masyarakat -- menyerang gerombolan yang lain: membunuh, menjarah, dan bahkan melakukan kanibalisme. Demikianlah gambaran Aronofsky dari kehidupan gelap keturunan Adam Adam dan Hawa sejak diusir dari Taman Firdaus. Dalam mimpi-2nya yang menakutkan, Noah (Russell Crowe) melihat permukaan bumi berubah menjadi lautan yang memusnahkan segala kehidupan di atasnya. Dengan bijih pohon pemberian kakeknya, Methuselah (Anthony Hopkins), Noah menanam bijih pohon tersebut dan dalam waktu sekejap tumbuh menjadi hutan yang lebat. Dibantu oleh The Watchers -- para malaikat yang dihukum tinggal di bumi sebagai raksasa berbatu gara-2 melanggar perintah Sang Pencipta, Noah dan keluarganya mulai membangun sebuah bahtera besar. Delapan tahun kemudian, ketika pembangunan tersebut hampir selesai, binatang-2 mulai berdatangan dari segala penjuru dan memasuki bahtera tersebut. Mengikuti binatang-2 tersebut, gerombolan yang dipimpin Tubal-Cain (Ray Winstone) juga ingin memasuki bahtera tersebut tetapi dilarang oleh Noah yang percaya bahwa Sang Pencipta ingin menamatkan riwayat hidup manusia, termasuk garis keturunannya sendiri, dari atas muka bumi ini. Masalah timbul ketika dua anak Noah yang menginjak dewasa, Shem dan Ham, ingin berkeluarga. Shem mengetahui calon istrinya, Ila (Emma Watson), anak terlantar yang dipungut Noah dan istrinya Naameh (Jennifer Connelly), mandul sehingga tidak mungkin memberinya keturunan. Ham, melawan perintah ayahnya, pergi mencari istri dari antara gerombolan Tubal-Cain. Masalah lebih pelik lagi timbul ketika Ila yang kemudian menjadi istri Shem ternyata melahirkan anak, bukan satu tetapi bahkan kembar. Benarkah keyakinan Noah bahwa Sang Pencipta ingin memusnahkan manusia dari atas muka bumi ini?

Penulis tidak ingin membahas “keakuratan” cerita Noah di atas, karena keakuratan bukanlah pendekatan yang tepat untuk storytelling yang selalu pasti dan semestinya (baca, sepatutnya) mengandung interpretasi pribadi dari storyteller/penyampai cerita (dhi, filmmaker). Tetapi justru di sinilah letak kelemahan film ini.


Aronofsky, yang ikut menggarap scriptnya, gagal membangkitkan inspirasi penonton terhadap pesan penting dari musibah air bah ini: manusia sudah terlanjur mewarisi bumi dan isinya, dan sekarang terserah kita bagaimana kita memelihara warisan tersebut. Script dan dialog-2nya ternyata hanya menyentuh bagian-2 luarnya saja, seakan-2 dia sendiri kurang yakin apa pesan dari cerita ini. Ditunjukkan Noah adalah keturunan Seth, menjadikan dirinya keturunan baik -- pengembara, pemakan tumbuhan; sedang Tubal-Cain keturunan Cain, menjadikan dirinya keturunan jahat -- industrialis, pemakan daging. Tetapi justru Noah-lah yang percaya Sang Pencipta ingin memusnahkan manusia dari atas muka bumi; sedang Tubal-Cain, dengan segala keburukannya, justru menampilkan kemanusiaannya dengan memohon kepada Noah bahwa manusia patut diselamatkan. Dengan script yang lemah (baca, tidak berarah), Aronofsky memusatkan perhatiannya pada visual effects, special effects, dan aksi pertempuran antara gerombolan Tubal-Cain dan raksasa berbatu The Watchers, membuat hasil akhir cerita biblical ini kurang meyakinkan, pada saat-2 tertentu membosankan, dan terasa seperti campuran antara Mad Max (latar belakang dystopia/post-apocalypse), The Lord of the Rings (gerombolan Tubal-Cain), Transformers (raksasa berbatu The Watchers), dan Waterworld (musibah air bah).

Kombinasi yang aneh dengan pesan akhir yang lemah.



Noah dapat anda temukan di eBay.com

Friday 4 April 2014

Double Indemnity

Double Indemnity ★★★★☆

Femme fatale: Bahaya yang terlalu manis untuk dilewatkan begitu saja ...

Tahun Keluar: 1944
Negara Asal: USA
Sutradara: Billy Wilder
Cast: Fred MacMurray, Barbara Stanwyck, Edward G. Robinson

Mirip seperti Alfred Hitchcock, Billy Wilder menyukai suspense: menunggu, mengantisipasi sesuatu yang kita mengetahui bakal terjadi. Untuk sutradara: Patience is a virtue. Untuk penonton: Good things come to those who wait.

Walter Neff (Fred MacMurray), seorang salesman asuransi, mendatangi rumah client-nya, Mr. Dietrichson, untuk mengingatkan bahwa asuransi mobilnya hampir kadaluarsa dan perlu diperbarui. Sesampainya di sana, Mr. Dietrichson ternyata tidak ada di rumah; yang ada adalah Mrs. Dietrichson, Phyllis (Barbara Stanwyck) -- jauh lebih muda dari suaminya, alluring/menarik, dan tanpa tedeng aling-2 menunjukkan ketertarikan terhadap Walter. Bujangan dan adventurous, Walter menerima godaan Phyllis tersebut dengan senang hati. Di tengah pembicaraan yang flirtatious/menggoda, Phyllis tiba-2 bertanya apakah mungkin dia membeli asuransi jiwa untuk suaminya tanpa sepengetahuan suaminya -- agar uang tanggungannya tidak jatuh ke anak tirinya. Mencium maksud buruk di balik pertanyaan tersebut, Walter langsung mengundurkan diri dan permisi pulang. Namun demikian, Walter tidak dapat melupakan Phyllis, dan ketika Phyllis membuntutinya ke apartemennya dan memaksakan dirinya kepadanya, Walter tidak dapat lagi menahan nafsunya. Well, well, well ... :-) Maka langsung digodoklah rencana Phyllis tersebut;  pertama-2, mengelabui Mr. Dietrichson untuk menandatangani polis asuransi jiwa tanpa dia sendiri menyadarinya. Mengetahui seluk-beluk produk yang dia tawarkan, Walter memberitahu Phyllis bahwa polis asuransi jiwa tersebut mempunyai pasal “double indemnity” untuk kecelakaan-2 yang terjadi dalam perjalanan dengan kereta api, artinya jika suaminya meninggal dunia akibat kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dengan kereta api, uang tanggungan yang dibayarkan akan double/ganda. Pas ketika suaminya patah kaki dan tidak bisa mengendarai mobil, sehingga harus menggunakan kereta api, mereka menyusun konspirasi untuk memastikan Mr. Dietrichson ini mengalami kecelakaan selama perjalanan dengan kereta api. Konspirasi tersebut praktis berjalan dengan mulus. Barton Keyes (Edward G. Robinson), atasan Walter, mula-2 percaya bahwa kejadian tersebut adalah kecelakaan, tetapi CEO perusahaan menduga bunuh diri. Kesangsian tersebut membuat Barton memeriksa lagi polis asuransi jiwa Mr. Dietrichson dan menemukan kejanggalan: Mengapa Mr. Dietrichson tidak mengajukan claim untuk patah kakinya? Apakah mungkin dia tidak tahu kalau dia berhak mengajukan claim untuk patah kakinya? Atau bahkan, apakah  mungkin dia tidak tahu kalau dia mempunyai polis asuransi jiwa???

Plot selanjutnya tidak perlu diteruskan lagi, karena penonton mengetahui nasib Walter selanjutnya bakalan seperti kereta api yang remnya blong dan bakalan nabrak stop terakhir di stasiun terakhir :-)


Fred MacMurray (mengingatkan penulis betapa mirip wajah Pierce Brosnan dengan bintang layar perak jaman keemasan Hollywood ini) tampil meyakinkan sebagai pria yang walaupun sudah matang dan berpengalaman di dunianya, tetapi tetap saja foolish/bodoh ketika berhadapan dengan wanita yang jelas-2 bakal menghancurkan hidupnya. Seakan-2 ingin mencemooh gender-nya sendiri: pria memang seperti ini, “bodoh”! Tetapi Barbara Stanwyck-lah yang menjadi bintang dalam film ini -- femme fatale yang mengetahui persis kelemahan lawan jenisnya dan memanfaatkan situasi ini sebaik mungkin. Di saat-2 tertentu penampilannya bernuansa sehingga penontonpun terkecoh: mungkin dia betulan istri yang terabaikan sehingga patut dikasihani (?), mungkin dia betulan cinta terhadap Walter (?) Tetapi di saat-2 yang lain penampilannya begitu gamblang: Black Widow -- laba-2 hitam yang memangsa pasangannya setelah selesai bercinta (!) :-) Edward G. Robinson, yang saat itu sudah ter-typecast sebagai  “tough guy” gara-2 penampilannya yang meyakinkan dalam film-2 mafia/gangster, a.l. Little Caesar (1931), Smart Money (1931) -- bersama James Cagney, atau Kid Galahad (1937) -- bersama Bette Davis dan Humphrey Bogart, berhasil menampilkan wajah lain dari typecast tersebut sebagai figur ayah yang membimbing anak asuhnya, tetapi akhirnya harus menyaksikan kejatuhan anak asuhnya ini dengan perasaan campur-aduk antara tidak percaya dan kecewa. Dialog terakhir film ini menyimpulkan dengan tepat perasaannya:
Walter, you're all washed up.
Sama seperti dalam film-2 Wilder yang lain, sinematografi hitam-putih kontras tajam dari John F. Seitz berhasil dengan sangat baik menampilkan suasana “noir” yang menciptakan perasaan “doom” dari cerita yang hanya dapat berakhir dengan kehancuran ini.



Double Indemnity dapat anda temukan di eBay.com