Thursday 29 March 2012

Mostly Martha

Resensi Film: Mostly Martha (Bella Martha) (8.0/10)

Tahun Keluar: 2001
Negara Asal: Germany, Italy, Austria, Switzerland
Sutradara: Sandra Nettelbeck
Cast: Martina Gedeck, Sergio Castellitto, Maxime Foerste

Plot: Kehidupan tenang dan serba teratur seorang koki Jerman yang introvert dan perfeksionis tiba-2 menjadi hingar-bingar gara-2 kedatangan keponakannya yang berusia 8 tahun yang tidak direncana -- kontan saja ketegangan muncul ... sampai seorang koki Itali yang extrovert dan rileks datang untuk menghangatkan hati dingin mereka (IMDb).

Film berbahasa Jerman ini adalah mutiara yang terpendam. Kalau anda terbiasa melihat film-2 Hollywood yang formulaic -- artinya, segala sesuatunya, mulai dari pengarahan, script, sampai akting, mengikuti formula atau "resep" yang sudah terbukti sukses di pasaran (seperti produk fast-food), film berbahasa Jerman ini menunjukkan kepada anda betapa miskin dan keringnya film-2 formulaic tersebut! Thank goodness for that!

Pertama-2, pujian mesti diberikan kepada sutradara Sandra Nettelbeck yang berhasil dengan sangat efektif menampilkan kepribadian tokoh utamanya yang introvert dan perfeksionis melalui pengambilan gambar-2 yang menghasilkan scene-2 yang clinical -- unemotional, cold, detached, impersonal. Arahan dari Nettelbeck ini betul-2 meletakkan fondasi yang kuat dan tepat untuk cerita yang sedang disampaikan. Kedua, aktres senior Jerman, Martina Gedeck, juga berhasil dengan sangat baik menangkap esensi dari karakter yang dia mainkan, Martha -- bagaimana dia mencuri pandangan terhadap Mario, terjadi beberapa kali, betul-2 brilliant! Ketiga, aktor Itali, Sergio Castellitto, dengan penuh inspirasi menjadi Mario, 180 derajat antithesis-nya Martha. Last, but not least, Maxime Foerste -- tidak seperti Abigail Breslin yang "too cute to be true" :-) -- dengan natural memainkan perannya sebagai Lina, anak berusia 8 tahun. Script-nya ketat, namun demikian tetap berhasil memberi cukup waktu bagi cerita untuk terkuak dengan tempo yang normal, bagi karakter-2 yang ada untuk menampilkan kepribadiannya, dan bagi relationship di antara mereka untuk terjalin secara natural. Sebagai contoh, ketika Lina menerima kabar bahwa ibunya meninggal dunia, dia tidak menangis -- script-nya tidak menyuruh dia untuk menangis, tetapi dia menampilkan reaksi yang jujur dan natural -- tidak theatrical seperti dalam script yang formulaic, dan dalam kasus ini Lina bereaksi dengan tidak mau makan. Juga jujur dan natural melihat bagaimana Martha dengan kedodoran berusaha merawat keponakannya tersebut. Juga jujur dan dapat dipercaya melihat bagaimana Mario dengan berbagai cara dan empati berusaha menghangatkan hati dingin Lina dan Martha -- membutuhkan beberapa jam untuk Lina, tetapi jauh lebih lama untuk Martha. Soundtrack film ini, menggunakan musik jazz yang mulus dan modern, sangat pas dengan esensi dari cerita ini.

Penulis sangat kagum dengan penggambaran kepribadian introvert dan perfeksionis dalam film ini ... betul-2 mengena. Mostly Martha adalah film yang pandai dan sekaligus memikat. It's one of my personal favourites. Hati-2 dengan barang tiruan: remake dari Hollywood yang berjudul No Reservations (2007) dengan Catherine Zeta-Jones, Aaron Eckhart, dan Abigail Breslin betul-2 kehilangan esensi dari cerita yang ada.

* 8.0/10

Mostly Martha dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday 27 March 2012

Metropolis

Resensi Film: Metropolis (bisu) (9.0/10)

Tahun Keluar: 1927
Negara Asal: Germany
Sutradara: Fritz Lang
Cast: Brigitte Helm, Alfred Abel, Gustav Fröhlich

Plot: Di masa yang akan datang, sebuah kota metropolis terancam hancur ketika penguasanya yang fascist menggunakan scientist yang gila untuk mematahkan perjuangan kaum buruh yang menuntut perbaikan nasib (IMDb).

Jika anda pernah melihat Metropolis keluaran pra tahun 2010, bahkan jika tertulis "restoration" sekalipun, anda belum melihat Metropolis secara lengkap. Pada tahun 2008, copy dari film original dari Fritz Lang ini ditemukan di sebuah museum di Argentina. Setelah melalui proses restorasi yang lama dan njlimet, hasil restorasinya ditampilkan di layar lebar di Berlin dan Frankfurt pada tanggal 12 Februari 2010. Inkarnasi yang baru ini, hasil kerja keras dari sebuah konsorsium di Jerman, mempunyai panjang dua jam penuh dan memanfaatkan setiap frame yang tersedia dari versi aslinya, dari sumber-2 yang terbaik. Direstorasi secara digital -- dibersihkan dari segala macam distorsi gambar dan suara, dan diberikan copy baru untuk soundtrack-nya, versi terbaru dari Metropolis ini tetap tidak seutuh versi aslinya yang mempunyai panjang 135 menit, tetapi adalah versi yang paling utuh, paling mendekati versi aslinya.

Melihat film ini adalah pengalaman yang surreal, time-bending (waktu seakan-2 berputar balik) -- mengunjungi masa lalu dan melihat bagaimana orang dari masa lalu berprediksi tentang masa depan. Dan yang paling mengejutkan, dan sekaligus mengerikan, adalah betapa cocoknya prediksi tersebut (!) Sebuah masterpiece dalam art-direction, film ini sejak tampil untuk pertama kalinya telah mempengaruhi visi orang tentang masa depan: gedung-2 pencakar langit yang megah dan berwibawa, dan sekaligus dingin dan berjarak. Di Metropolis, kelas atas menghuni permukaan kota; sedang kelas bawah, yang hidup bagaikan kaum budak, menghuni bawah tanah. Brigitte Helm memainkan perannya sebagai Maria yang memimpin kaum buruh, tetapi dia tidak berdaya di bawah penguasa yang fascist. Sebaliknya, replika robot Maria dikirim ke bawah tanah untuk men-diskredit-kan diriya, tanpa menyadari scientist yang menciptakan robot tersebut ternyata mempunyai agenda terselubung. Hasilnya, kekacauan total! Sejak tampil untuk pertama kalinya di Berlin 85 tahun yang lalu, visi dari film ini terbuka terhadap berbagai macam interpretasi: sebagian penonton melihat film ini sebagai peringatan terhadap tirani fascist, sebagian yang lain terhadap bahaya komunisme, sebagian yang lain lagi terhadap bahaya kapitalisme yang tidak terkontrol. Tidak peduli apa interpretasi anda, cara terbaik menikmati film ini adalah dengan melihat film ini sebagai film produk dari jamannya, yaitu sebuah jaman yang penuh dengan kekhawatiran.

* 9.0/10

Metropolis dapat anda temukan di eBay.com

Thursday 22 March 2012

Nowhere in Africa

Resensi Film: Nowhere in Africa (Nirgendwo in Afrika) (7.8/10)

Tahun Keluar: 2001
Negara Asal: Germany
Sutradara: Caroline Link
Cast: Juliane Köhler, Merab Ninidze, Sidede Onyulo, Matthias Habich, Lea Kurka, Karoline Eckertz

Plot: Menjelang Perang Dunia ke 2, sebuah keluarga Yahudi dari Jerman mengungsi ke Kenya untuk menghindari persekusi Nazi terhadap dirinya (IMDb).

Adaptasi dari memoir/otobografi dari Stefanie Zweig ini menceritakan perjalanan hidup Walter dan Jettel Redlich (Merab Ninidze dan Juliane Köhler), dan anak perempuan mereka, Regina (Lea Kurka -- Regina kecil, Karoline Eckertz -- Regina remaja), selama pengungsian di Kenya. Stefanie Zweig berusia 5 tahun ketika peristiwa ini terjadi; dengan demikian, cerita dalam film ini adalah cerita dari sudut pandang Regina kecil, terus sampai dia menginjak remaja. Sayangnya, scriptnya -- digarap sendiri oleh sutradara Caroline Link dan Stefanie Zweig -- tidak melulu terpusat pada Regina, tetapi terbagi antara Regina dan ibunya, Jettel. Masalahnya, Jettel bukan karakter yang simpatik: dia adalah istri yang manja, yang (mula-2) tidak mau tahu, atau tidak mau mengerti, dengan situasi serius yang sedang terjadi di negaranya, yang membuat suaminya harus melakukan tindakan drastis untuk menyelamatkan keluarganya. Perasaan frustrasi suaminya untuk membahagiakan sang istri, sementara holocaust sedang terjadi di Eropa dan sang istri malah complain tentang hal-2 sepele yang lain, misalnya gaun, perabotan rumah tangga, dll. membuat penonton tidak menyukai Jettel. Namun demikian, tingkah laku Jettel tersebut sesungguhnya credible atau believable, karena dalam kenyataan memang ada orang-2 yang seperti itu: manja, tidak mau tahu, atau tidak mau mengerti. Sayangnya, enlightenment pada diri Jettel datang terlalu terlambat di akhir film. Untungnya, plot dari Regina sedikit banyak berhasil "mengencerkan" ketidaksimpatikan Jettel tersebut. Perasaan gundah Regina ketika berpisah dengan kakeknya dan negaranya ditampilkan dengan natural oleh Lea Kurka, dibarengi dengan narasi yang indah. Penerimaan Regina terhadap lingkungannya yang baru di Kenya juga disajikan dengan natural dan indah -- terutama persahabatannya dengan pembantu rumah tangganya, Owuor (Sidede Onyulo); mengingatkan penulis pada masa lalu -- betapa bahagianya menjadi anak kecil: tidak ada pretensi, tidak ada prejudice. All in all, Regina dan Owuor adalah "jiwa" dalam cerita bittersweet tentang pertemuan dan perpisahan ini -- pertemuan yang selalu mendatangkan perasaan cemas, dan perpisahan yang selalu mendatangkan perasaan sedih. Matthias Habich berhasil memberikan peran pendukung yang meyakinkan. Sinematografi dari Gernot Roll berhasil menampilkan keganasan sekaligus keindahan dan kehangatan alam Afrika. Musical score dari Niki Reiser (komposer yang sama dalam The White Masai) berhasil memadukan antara musik tema dan musik rhythmic Afrika yang membangkitkan emosi. Nowhere in Africa memenangkan Oscar untuk Film Berbahasa Asing Terbaik pada tahun 2003.

* 7.8/10

Nowhere in Africa dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday 20 March 2012

Inherit the Wind

Resensi Film: Inherit the Wind (8.5/10)

Tahun Keluar: 1960
Negara Asal: USA
Sutradara: Stanley Kramer
Cast: Spencer Tracy, Fredrich March, Gene Kelly

Plot: Berdasarkan kasus nyata yang terjadi pada tahun 1925 di negara bagian Tennessee, dua pengacara handal berargumentasi untuk dan melawan seorang guru ilmu pengetahuan alam yang ditangkap gara-2 melanggar hukum yang melarang mengajarkan teori evolusi di semua sekolah negeri (IMDb).

"He that troubleth his own house shall inherit the wind; and the fool shall be servant to the wise of heart."

"Siapa yang mengacau rumahnya akan menuai badai; dan orang bodoh akan menjadi pelayan orang bijak."

Judulnya diambil dari cuplikan ayat Amsal 11:29, adaptasi dari teater Broadway dengan judul yang sama, Inherit the Wind adalah cerita yang menarik perhatian dan sekaligus memprovokasi perdebatan. Ceritanya berpusat di sebuah kota kecil di bagian selatan AS, dimana masyarakatnya relijius dan mereka harus berhadapan dengan teori evolusi Darwin dan implikasinya terhadap relijiusitas mereka. Isyu yang sensitif ini ditangani dengan script yang memberi kedua belah pihak screen-time yang seimbang dan argumentasi yang sama-2 kuat dan berbobot. Penampilan Spencer Tracy dan Fredrich March sangat menjiwai dan meyakinkan. Kedua belah pihak beragumentasi secara terhormat dan dengan penuh penghayatan. Tracy tampil intelektual sebagai pengacara pembela, Henry Drummond, yang berusaha menyelamatkan teori evolusi; sedang March tampil kharismatik sebagai pengacara penuntut -- sekaligus seorang relijius, Matthew Harrison Brady, yang berusaha mempertahankan nilai-2 tradisi -- "the old time religion". Kedua aktor sangat mulus aktingnya, sekaligus sangat meyakinkan dalam menjual masing-2 sudut pandangnya. Tracy menerima nominasi Oscar untuk Aktor Terbaik, tetapi menurut penulis, justru March-lah yang lebih pantas menerima nominasi tersebut karena March-lah yang menangkap esensi dari karakternya dengan lebih baik. Seandainya bukan Tracy dan March, film ini hanya akan menjadi film bagus, bukan film klasik. Gene Kelly bermain against-the-type sebagai reporter yang sinis, E. K. Hornbeck, dengan dialog-2 yang irritating/menjengkelkan, dan Claude Akins bermain sebagai pemimpin agama, Rev. Jeremiah Brown, dengan penampilan yang rada over-the-top, tetapi kehadiran mereka diperlukan untuk memberikan sidekick terhadap karakter-2 utama. Scriptnya tajam, aktingnya menjiwai, dan soundtrack-nya "Gimme That Old Time Religion" betul-2 menghanyutkan dan menghantui. Perdebatan ide ini ternyata masih sangat relevan bahkan sampai saat ini.

Penulis merekomendasi film ini untuk mereka yang tidak takut menelurusi sisi terang dan sisi gelap dari relijiusitas manusia dan menikmati debat intelektual.

* 8.5/10

Inherit the Wind dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday 13 March 2012

The White Masai

Resensi Film: The White Masai (Die weisse Massai) (7.5/10)

Tahun Keluar: 2005
Negara Asal: Germany
Sutradara: Hermine Huntgeburth
Cast: Nina Hoss, Jacky Ido, Katja Flint, Antonio Prester

Plot: Seorang wanita Swiss jatuh cinta dengan seorang pria Masai dan memutuskan meninggalkan kehidupan modernnya di Swiss untuk hidup dengan pria yang dia cintai di padang gurun di daerah Masai, Kenya yang sangat primitif (IMDb).

Film ini adalah adaptasi dari memoir/otobiografi dari Corinne Hofmann yang mencapai international best-seller ketika pertama kali diterbitkan pada tahun 1998. Okay, hmmm ... bagaimana ya sebaiknya memulai resensi untuk film ini? Begini, mungkin ada jatuh cinta yang rasional, tetapi sebagian besar mungkin irrasional. Yang rasional, tidak perlu lagi diperbincangkan ... atau difilmkan, khan semuanya sudah jelas :-) Yang irrasional, ini yang sering-2 menarik untuk diperbincangkan atau difilmkan :-) Demikian kira-2 premise-nya. Tetapi, bikin film tentang topik yang irrasional itu gampang-2 susah. Kalau penonton pas punya pengalaman yang sama atau mirip, mereka mungkin dapat dengan mudah "connect" dengan cerita yang ada. Tetapi kalau penonton tidak pernah punya pengalaman yang sejenis, mereka mungkin tidak dapat "connect" dengan cerita yang ada, akibatnya ceritanya akan terasa konyol, absurd, atau ridiculous. Namun demikian, ini bukan alasan bagi seorang filmmaker sejati untuk tidak membuat film tentang topik yang irrasional. Justru sebaliknya, ini adalah tantangan yang sangat menarik: Bagaimana caranya menyampaikan cerita, sedemikian rupa sehingga penonton yang tidak punya pengalaman yang sama atau mirip dapat bersimpati dengan cerita tersebut?

Demikian kira-2 pertanyaan yang ada dalam benak sutradara Hermine Huntgeburth ketika dia memutuskan untuk mengarahkan film ini. Dengan bantuan script yang rapi dan ketat, karakterisasi yang riel, dan sinematografi yang menangkap keeksotikkan alam dan kehidupan di Afrika, sang sutradara berhasil dengan sangat baik mengajak atau mengikutsertakan penonton dalam petualangan, jiwa dan raga, dari tokoh utamanya. Penulis dapat merasakan setiap 'gronjalan' dan kelokan di sepanjang jalan yang panjang dan berdebu di tengah padang gurun Afrika, sementara tokoh utamanya memulai kehidupan barunya di tempat yang asing, yang sama sekali berbeda dari tempat asalnya. Nina Hoss membawakan perannya sebagai Carola dengan sangat menjiwai, sedemikian rupa sehingga penonton mampu melakukan "leap of faith" bersamanya. Jacky Ido, dengan fisiknya yang super indah -- yang bikin iri semua modelnya Calvin Klein :-), betul-2 meyakinkan sebagai Lemalian, pria Masai yang digilai oleh Carola. Kehidupan primitif di tengah padang gurun mula-2 nampak sederhana, tetapi isyu-2 fundamental "culture clash" akhirnya terkuak sedikit demi sedikit. Sang sutradara menggunakan gaya yang gentle dan mengalir, disana-sini dibumbui dengan momen-2 bahagia, sedih, nikmat dan sakit, menciptakan pengalaman yang riel dan utuh/lengkap. Sinematografi dari Martin Langer dengan porsi yang pas berhasil mengangkat emosi yang ada, dan musical score dari Niki Reiser, yaitu campuran antara musik tema dan musik rhythmic Afrika, berhasil menjaga tempo cerita dan mencerminkan budaya-2 yang terlibat. Reaksi penulis, the journey is one of immense emotional investment.

* 7.5/10

The White Masai dapat anda temukan di eBay.com

Sunday 11 March 2012

The Blind Side

Resensi Film: The Blind Side (6.5/10)

Tahun Keluar: 2009
Negara Asal: USA
Sutradara: John Lee Hancock
Cast: Sandra Bullock, Tim McGraw, Quinton Aaron

Plot: Kisah perjalanan hidup Michael Oher, seorang anak gelandangan yang berhasil menjadi pemain sepakbola dengan bantuan seorang ibu rumah tangga dan keluarganya yang murah hati (IMDb).

Adaptasi dari buku semi-biografi "The Blind Side: Evolution of a Game" karya Michael Lewis (2006) ini mencapai popularitas yang sangat tinggi di negara asalnya, mungkin karena ceritanya sangat cocok menggambarkan apa yang sedang dibutuhkan oleh Amerika saat film ini dikeluarkan. Setelah krisis keuangan yang melumpuhkan negara -- angka pengangguran meningkat menjadi 10% dan jumlah penduduk yang jatuh ke dalam kemiskinan mencapai 40%, satu hal yang dapat dilakukan adalah: the have should help the have not (yang kelebihan semestinya membantu yang kekurangan). Ditengah-2 meningkatnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin (mengkerutnya jumlah "middle-class", yang socially sangat mengkhawatirkan), ceritanya juga diwarnai dengan pesan persaudaraan/bipartisan antara kelompok Konservatif Kristiani yang Republican dan kelompok Progresif Liberal yang Democrat. Untuk penulis, yang menjadi masalah dalam film ini bukan ceritanya -- ceritanya sendiri okay-2 saja; tetapi story-telling-nya, yaitu cara menyampaikan ceritanya. Dengan meng-cast dua selebriti yang dicintai publik, Sandra Bullock dan Tim McGraw (penyanyi country terkenal, yang bersama istrinya, Faith Hill -- juga penyanyi country terkenal, adalah pasangan yang dicintai publik), produser film ini berhasil lolos dari kritikan terhadap dua kelemahan besar yang meliputi: 1) character development yang non-existent: karakter-2nya tidak riel, terasa sanitized, terutama keluarga Tuohy -- Tim McGraw sebagai suami yang ganteng, kaya raya (ndak kerja, tapi kaya raya, karena punya jaringan fastfood, sehingga selalu punya waktu untuk keluarganya), setia, dan buuuaik pol (selalu pengertian dan mendukung istrinya); Sandra Bullock sebagai istri yang cantik, kaya raya (ndak kerja juga, tapi selalu sibuk dengan urusan 'tetek bengek'), setia, dan buuuaik pol juga; 2 anak yang penurut, lucu dan manis; rumah mansion yang megah; dan 2 mobil BMW yang mewah ... my god, these people are too clean, too perfect, too good to be true ... yang bener aja :-) 2) script yang dipenuhi dengan dialog-2 yang cliché dan patronising. Hmmm ... sedemikian burukkah situasi ekonomi dan sosial di Amerika, sampai-2 diperlukan film dengan pesan yang sedemikian cliché dan patronising untuk memberitahu populasi bagaimana cara hidup bermasyarakat yang baik? Kalau iya, ya berarti sudah betul Hollywood mempromosikan film ini dengan menominasikannya sebagai Film Terbaik dan memilih Sandra Bullock sebagai Aktres Terbaik dalam Oscars 2010 (yang penampilannya notabene tidak jauh berbeda dengan penampilannya dalam film-2nya yang lain).

* 6.5/10

The Blind Side dapat anda temukan di eBay.com

Sunday 4 March 2012

The Help

Resensi Film: The Help (7.5/10)

Tahun Keluar: 2011
Negara Asal: USA, India, United Arab Emirates
Sutradara: Tate Taylor
Cast: Emma Stone, Viola Davis, Bryce Dallas Howard, Octavia Spencer, Jessica Chastain

Plot: Pada dekade 1960-an ketika gerakan hak-2 sipil mulai bangkit di AS, seorang penulis muda, Skeeter Phelan (Emma Stone), memutuskan untuk menulis buku yang berisi pengalaman, suka dan duka para pembantu rumah tangga kulit hitam dalam keluarga-2 kulit putih dimana mereka bekerja (IMDb).

Penulis setuju dengan rata-2 pendapat dari para film critic tentang film ini. Adaptasi dari buku dengan judul yang sama karya Kathryn Stockett (2009) ini tidak berhasil memuaskan ekspektasi tinggi dari para film critic, yang mayoritas adalah pengagum film To Kill a Mockingbird (1962), yang merupakan adaptasi dari buku dengan judul yang sama karya Harper Lee (1960). Sekitar 50 tahun setelah Harper Lee menjadi penulis pemberani di tengah-2 masyarakat yang cukup hostile terhadap gerakan hak-2 sipil yang sedang terjadi, tidaklah mengherankan jika saat ini para critic tersebut mengharapkan minimal kedalaman dan keberanian yang sama dari penulis Kathryn Stockett. Tetapi yang kita peroleh adalah cerita yang terkesan anekdot (hanya menampilkan cerita-2 yang populer atau tidak terlalu serius), dengan karakter-2 kulit putih yang terkesan karikatur -- misalnya Skeeter (Emma Stone) yang terkesan sama sekali tidak mengerti mengapa lingkungannya menentang dirinya, dan Hilly (Bryce Dallas Howard) yang sebaliknya bertentangan 180 derajat dari Skeeter. Karakter-2 kulit putih yang lainnya juga sama single-dimensional-nya -- serba hitam atau putih, tidak ada abu-2nya. Jessica Chastain yang menerima nominasi Aktres Pendukung Terbaik dalam Oscars 2012, bersama dengan Octavia Spencer, karakternya juga terkesan karikatur -- tidak mengherankan dia tidak punya harapan bisa mengalahkan Octavia Spencer yang karakternya lebih riel dan penampilannya lebih menjiwai. Satu-2nya karakter kulit putih yang rada riel adalah ibunya Skeeter (Allison Janney, seorang aktres berpengalaman), tetapi sayang enlightenment tersebut datang terlalu terlambat di akhir film. All in all, Viola Davis adalah "penyelamat" dari film ini -- karakternya riel, penampilannya terukur, terkontrol, dan menjiwai. Walaupun Emma Stone menempati first-billing (namanya tertulis di urutan pertama), tetapi Viola Davis-lah yang membawakan film ini dari awal sampai akhir. Tidak mengherankan dia hampir saja membuat Meryl Streep patah hati dalam Oscars 2012. Semoga Viola Davis terus memperoleh peran-2 kompleks dalam film-2 yang lebih baik cerita dan script-nya di masa yang akan datang. Secara keseluruhan, The Help adalah film yang cukup baik, tetapi jangan dibandingkan dengan To Kill a Mockingbird (1962).

* 7.5/10

The Help dapat anda temukan di eBay.com