Resensi Film: Nowhere in Africa (Nirgendwo in Afrika) (7.8/10)
Tahun Keluar: 2001
Negara Asal: Germany
Sutradara: Caroline Link
Cast: Juliane Köhler, Merab Ninidze, Sidede Onyulo, Matthias Habich, Lea Kurka, Karoline Eckertz
Plot: Menjelang Perang Dunia ke 2, sebuah keluarga Yahudi dari Jerman mengungsi ke Kenya untuk menghindari persekusi Nazi terhadap dirinya (IMDb).
Adaptasi dari memoir/otobografi dari Stefanie Zweig ini menceritakan perjalanan hidup Walter dan Jettel Redlich (Merab Ninidze dan Juliane Köhler), dan anak perempuan mereka, Regina (Lea Kurka -- Regina kecil, Karoline Eckertz -- Regina remaja), selama pengungsian di Kenya. Stefanie Zweig berusia 5 tahun ketika peristiwa ini terjadi; dengan demikian, cerita dalam film ini adalah cerita dari sudut pandang Regina kecil, terus sampai dia menginjak remaja. Sayangnya, scriptnya -- digarap sendiri oleh sutradara Caroline Link dan Stefanie Zweig -- tidak melulu terpusat pada Regina, tetapi terbagi antara Regina dan ibunya, Jettel. Masalahnya, Jettel bukan karakter yang simpatik: dia adalah istri yang manja, yang (mula-2) tidak mau tahu, atau tidak mau mengerti, dengan situasi serius yang sedang terjadi di negaranya, yang membuat suaminya harus melakukan tindakan drastis untuk menyelamatkan keluarganya. Perasaan frustrasi suaminya untuk membahagiakan sang istri, sementara holocaust sedang terjadi di Eropa dan sang istri malah complain tentang hal-2 sepele yang lain, misalnya gaun, perabotan rumah tangga, dll. membuat penonton tidak menyukai Jettel. Namun demikian, tingkah laku Jettel tersebut sesungguhnya credible atau believable, karena dalam kenyataan memang ada orang-2 yang seperti itu: manja, tidak mau tahu, atau tidak mau mengerti. Sayangnya, enlightenment pada diri Jettel datang terlalu terlambat di akhir film. Untungnya, plot dari Regina sedikit banyak berhasil "mengencerkan" ketidaksimpatikan Jettel tersebut. Perasaan gundah Regina ketika berpisah dengan kakeknya dan negaranya ditampilkan dengan natural oleh Lea Kurka, dibarengi dengan narasi yang indah. Penerimaan Regina terhadap lingkungannya yang baru di Kenya juga disajikan dengan natural dan indah -- terutama persahabatannya dengan pembantu rumah tangganya, Owuor (Sidede Onyulo); mengingatkan penulis pada masa lalu -- betapa bahagianya menjadi anak kecil: tidak ada pretensi, tidak ada prejudice. All in all, Regina dan Owuor adalah "jiwa" dalam cerita bittersweet tentang pertemuan dan perpisahan ini -- pertemuan yang selalu mendatangkan perasaan cemas, dan perpisahan yang selalu mendatangkan perasaan sedih. Matthias Habich berhasil memberikan peran pendukung yang meyakinkan. Sinematografi dari Gernot Roll berhasil menampilkan keganasan sekaligus keindahan dan kehangatan alam Afrika. Musical score dari Niki Reiser (komposer yang sama dalam The White Masai) berhasil memadukan antara musik tema dan musik rhythmic Afrika yang membangkitkan emosi. Nowhere in Africa memenangkan Oscar untuk Film Berbahasa Asing Terbaik pada tahun 2003.
* 7.8/10
No comments:
Post a Comment