Ideal: Standard kesempurnaan ciptaan manusia yang tidak manusiawi ...
“If I am wrong, I'm insane. But if I'm right, it's even worse than if I was wrong.”
Tahun Keluar: 1975
Negara Asal: USA
Sutradara: Bryan Forbes
Cast: Katharine Ross, Paula Prentiss, Peter Masterson, Patrick O'Neal
Dialog di atas dengan sangat perseptif meringkas perasaan protagonis tentang situasi yang terjadi dalam drama horor, sekaligus kritik sosial, karya penulis Ira Levin ini.
Karya Levin yang lain yang mungkin anda kenal adalah Rosemary's Baby -- yang juga sudah difilmkan dengan Mia Farrow sebagai pemeran utama dan Roman Polanksi sebagai sutradara. Kalau anda dapat menerima (menikmati) Rosemary's Baby, yang notabene adalah cerita horor klenik, meskipun anda mungkin bukan orang yang percaya dengan klenik -- setan gundul, sundel bolong, atau yang lainnya :-), maka anda semestinya dapat juga menerima The Stepford Wives, yang notabene adalah cerita horor science fiction. Anda tidak perlu menjadi believer dalam hal apapun, cukup imajinasi saja, untuk dapat menikmati science fiction. Am I right?!
Keluarga muda Joanna (Katharine Ross) dan Walter Eberhart (Peter Masterson), dan dua anaknya, pindah dari hiruk-pikuk kota New York ke aman dan tenteram kota Stepford di negara bagian Connecticut. Alasan utamanya, kota kecil ini cocok untuk membesarkan keluarga -- rumahnya besar, halamannya luas, dan untuk Joanna sendiri dia bisa mempunyai kamar gelap untuk menyalurkan bakat fotografinya. Walaupun mula-2 keputusan pindah tersebut nampak seperti keputusan bersama, scriptnya dengan cepat menunjukkan bagaimana Walter meng-fait accompli istrinya terhadap keputusan tersebut -- dan, as a matter of fact, keputusan-2 yang lain. Kebosanan dengan cepat menghinggapi Joanna, bukan melulu karena kota Stepford yang sepi, tetapi karena penduduk wanita sebayanya tidak mempunyai inklinasi intelektual seperti dirinya. Dengan suaminya bersosialiasi sendiri dalam Men's Association (klub khusus pria), dan tetangga sebelahnya, Carol (Nanette Newman), bersikap submisif seperti wanita dari era Jane Austen :-), Joanna lebih senang menyendiri saja.
Situasi mulai berubah ketika pada suatu hari Bobbie (Paula Prentiss), pendatang baru juga seperti dirinya, mendatanginya dan mengajaknya berteman. Bagaikan kutub utara bertemu dengan kutub selatan, Joanna dan Bobbie langsung berteman akrab, dan mereka mulai mencari wanita-2 sebaya pendatang baru yang lain, tetapi cuma menemukan satu saja, Charmaine (Tina Louise). Ketiganya mempunyai pendapat dan perasaan yang sama terhadap kaum wanita di kota Stepford, mereka berusaha mengorganisir pertemuan yang disebut dengan consciousness/awareness raising: membicarakan segala macam topik mulai dari sosial sampai politik. Tetapi usaha mereka mengumpulkan kaum wanita di kota ini menemui jalan buntu, karena mereka sama sekali tidak tertarik: ada yang tertariknya nyetrika saja, ada yang tertariknya bersih-2 rumah dan masak saja, ada yang tertariknya berkebun saja :-) Bahkan setelah Joanna mem-“blackmail” para suami untuk “mengutus” istrinya datang ke pertemuan tersebut, hasilnya tetap nihil. Tetapi yang membuat Joanna dan Bobbie kecewa berat, sekaligus terheran-2, adalah ketika beberapa hari kemudian Charmaine berubah total menjadi submisif seperti wanita-2 yang lain di kota ini. Berusaha memahami perubahan drastis tersebut, Bobbie mempunyai teori bahwa mungkin ada semacam konspirasi, disengaja atau tidak disengaja, yang mencemari atau meracuni persediaan air minum di kota ini yang menyebabkan kaum wanitanya berubah menjadi submisif -- mempertimbangkan banyaknya industri high-tech di kota ini.
Bobbie: “I think there's something in the water that turns us into house fraus.” :-)
Beberapa hari kemudian, ketika Bobbie juga berubah total menjadi submisif, Joanna tidak dapat lagi menyembunyikan ketakutan dan rasa paniknya, menyadari bahwa target berikutnya adalah dirinya!
Apa yang terjadi pada kaum wanita di kota Stepford?
Benarkah prasangka Joanna?
Joanna: “If I am wrong, I'm insane. But if I'm right, it's even worse than if I was wrong.”
Sama seperti Rosemary's Baby (1968), script dan arahan film ini berhasil dengan sangat pas menangkap esensi dari cerita yang ada -- gosip yang ada menyebutkan sutradara Bryan Forbes terpaksa “melembutkan” script William Goldman (Butch Cassidy and the Sundance Kid, All the President's Men, Marathon Man, Misery) karena script tersebut dinilai terlalu horor, terutama bagian akhirnya. Goldman menggunakan pendekatan slow-burning: plot terkuak secara perlahan-2, seakan-2 sepele atau dapat kita abaikan, tetapi ketika kita menyadarinya, semuanya sudah terlambat. Arahan Forbes terhadap akting para cast-nya juga subtle (tidak kentara): kita merasa ada sesuatu yang ganjil, tetapi perasaan tersebut tidak sampai membangkitkan kecurigaan ... sampai ketika kita menyadarinya, dan saat itu kita sudah kecolongan :-)
Penggunaan lensa soft-focus turut menciptakan nuansa surealis yang berhasil dengan sangat baik mencampur antara realitas dan mimpi (dhi, mimpi buruk). Penggunaan musik bernada mengancam di antara musik utama yang bernada romantis betul-2 “menangkap” penonton dalam keadaan tidak siap. Namun demikian, kalau anda teliti, script Goldman ini sesungguhnya menjatuhkan banyak clue/hint di sepanjang film, misalnya: di awal film, seorang pria menyeberang jalan sambil membawa mannequin, dialog Walter dengan tetangga sebelahnya, Ted, pada hari pertama kepindahan mereka di Stepford:
Walter: “She cooks as good as she looks, Ted,”
insiden di supermarket, dialog antara Walter dan Joanna di tengah malam setelah Walter datang untuk pertama kalinya di Men's Association, atau juga efek-2 suara synthesizer yang tajam dan memekakkan telinga pada momen-2 tertentu.
Satu adegan yang memorable, mula-2 membosankan tetapi kemudian berubah menjadi creepy, menakutkan, yaitu ketika teman-2 Walter dari Men's Association datang berkunjung ke rumah mereka, ngobrol ngalor-ngidul ndak karuan juntrungnya, tetapi ada satu orang yang membuat sketsa wajah Joanna -- luar biasa persisnya sampai membuat bulu kuduk penulis berdiri.
Dale: [Joanna is brewing coffee] “I like to watch women doing little domestic chores.”
Joanna: “You came to the right town.”
Namun demikian, film ini bukannya tanpa humor. Ketika menonton pertama kalinya, penulis memang kelewatan menikmati humor gelap yang ada. Tetapi menonton kedua kalinya, penulis bisa tertawa terpingkal-2 menyaksikan adegan ketika Joanna dan Bobbie berusaha mengumpulkan kaum wanita di kota Stepford untuk datang ke pertemuan mereka dan gagal total.
Mary: “I'm sorry. I just can't waste my spare moments on something like that.”
Joanna: “But you do go out sometimes don't you?”
Mary: “Go out??? ... ... Of course I go out. I'm out now, aren't I?” :-)
Sebagian film critic ternama, a.l. Roger Ebert, tidak menyukai pendekatan Forbes dan Goldman yang mereka nilai “berlebihan”, maksudnya terlalu serius dan gelap. Anehnya, mereka menyarankan pendekatan satir komedi -- dan saran ini ternyata terwujud dalam remake film ini, dengan judul yang sama pada tahun 2004, dengan Nicole Kidman sebagai pemeran utama; dan hasilnya: mengerikan, rubbish! :-) Lucunya, di lain pihak, Women's Lib menuduh film ini sebagai anti wanita -- entah mengapa, mungkin karena di akhir film protaganisnya kalah.
Tetapi untuk penulis, akhir dari protagonis yang mengenaskan ini, dilanjutkan dengan scene penutup yang seakan-2 mengabaikan semua peristiwa yang terjadi sebelumnya, justru membuat bulu kuduk penulis berdiri; dan kritik sosial dari cerita ini justru bergema lebih keras sampai ke sudut-2 yang paling jauh: Ideal adalah standard kesempurnaan ciptaan manusia yang tidak manusiawi -- dan tidak perlu disangsikan lagi, melanggar hak asasi manusia.
Joanna: “Hello, Bobbie.”
Bobbie: “Oh, hello, Joanna.”
Joanna: “How are you?”
Bobbie: “I'm fine. How are you?”
Joanna: “I'm fine. How are the children?”
Bobbie: “Fine ...”
Film ini dibuat sebelum film-2 tentang humanoid, seperti Blade Runner (1982), menjadi tren populer. Dan sampai saat ini, film ini terus menciptakan pro dan kontra.
It's a cult classic.
No comments:
Post a Comment