Wednesday, 13 June 2012

The Philadelphia Story

Resensi Film: The Philadelphia Story (9.0/10)

Tahun Keluar: 1940
Negara Asal: USA
Sutradara: George Cukor
Cast: Cary Grant, Katharine Hepburn, James Stewart

Plot: Ketika reporter majalah gosip muncul sehari sebelum hari perkawinan (kedua)-nya, Tracy Samantha Lord terpaksa menjalani "crash course" tentang masa lalu dengan bekas suaminya, ketidakharmonisan hubungan dengan ayahnya, dan ... menemukan siapa dirinya, the truth about herself! (IMDb)

Adaptasi dari teater Broadway dengan judul yang sama karya Philip Barry, film ini adalah film yang menjadi inspirasi bagi film musical High Society (1956). Sebelum membicarakan film remake yang merupakan sukses komersial tersebut, penulis ingin menampilkan beberapa point menarik dari film aslinya yang membuatnya pantas terpilih masuk dalam klasifikasi "culturally, historically, or aesthetically significant" dalam United States National Film Registry pada tahun 1995.

Siapa lagi yang paling cocok membawakan film dengan pesan sosial dan feminis yang penting pada jamannya selain Katharine Hepburn?! Bahkan seandainya Hepburn tidak akting-pun, dia dapat membawakan perannya dengan menyakinkan, karena Tracy Samantha Lord sedikit banyak cocok dengan kepribadiannya. Apa inti cerita dalam film ini? Ada dua tema pokok yang mendasari ceritanya. Pertama, ada era dimana moral sangat dijunjung tinggi, dan pada saat yang sama standard ganda - dalam kasus ini, antara pria dan wanita - juga tumbuh subur. Bukankah ini sesuatu yang universal, sesuatu yang kita kenal?! Dikotomi ini menimbulkan potensi konflik yang hebat. Melihat dari kacamata modern (apakah kita sudah modern?), terasa janggal melihat Tracy Samantha perlu/harus membela diri -- menjelaskan mengapa dia tidak menyukai ayahnya yang berselingkuh dengan wanita lain. Lebih janggal lagi melihat ibunya -- yang notabene adalah pihak yang disakiti atau dirugikan, memohon kepada Tracy untuk tidak bersikap terlalu keras terhadap ayahnya, seakan-2 memaklumi tindakan philandering suaminya, dan to a certain extent ... menyalahkan dirinya sendiri (:-() Dan yang paling janggal adalah melihat ayahnya yang bersikap apologetic terhadap perselingkuhan tersebut -- menjelaskannya sebagai tindakan normal seorang pria yang menolak menjadi tua (quote dari dialog dalam film: "A reluctance to grow old."). Menyaksikan adegan ini, penulis setuju: ya, memang betul, ada era dimana moral sangat dijunjung tinggi, tetapi bigotry juga tumbuh subur. Tidak salah kalau Tracy "going nuts" gara-2 ini ... :-) Dan Hepburn membawakan perannya dengan meyakinkan, flawless: tajam, sarkastik, tetapi sesuai dengan jamannya. Tema kedua yang berjalan paralel mendasari cerita dalam film ini adalah prejudice. Walaupun Tracy adalah heroine dalam film ini, dia bukan heroine yang tanpa kelemahan, karena dia terlalu cepat menghakimi orang (prejudice) -- sebagai wanita yang pandai dan independen, dia sering terlalu cepat "melangkah". Sebanyak apapun dukungan penonton untuk Tracy, dia terlalu cepat menghakimi ayahnya (yang philanderer), bekas suaminya (yang alkoholik), dan reporter majalah gosip (yang berasal dari kelas sosial lebih rendah). Tetapi Tracy tidak sendirian dalam hal ini, karena sang reporter (James Stewart) dan fotografer-nya (Ruth Hussey) juga mempunyai prejudice terhadap orang kaya: "Oh, orang kaya itu modelnya pasti seperti bla, bla, bla ..." :-) Dari sini muncul satu tema suplemen yang menambah kekompleksan ceritanya, yaitu tentang kelas-2 sosial, bagaimana satu kelas sosial memandang kelas sosial yang lain, apakah orang yang "naik kelas" kemudian berubah menjadi seperti orang dari kelas tujuan atau tetap seperti orang dari kelas asalnya. Di sinilah letak keindahan cerita dari Philip Barry dan keunggulan script dari Donald Ogden Stewart ini: kompleks, riel, dan tajam. Walaupun menerima first billing, Cary Grant kurang bersinar dalam perannya sebagai bekas suami Tracy, C.K. Dexter Haven, kecuali dengan namanya yang nyentrik tersebut. Walaupun Grant memperoleh bagiannya dalam dialog yang tajam dan sarkastik, pembawaannya terkesan straightforward. Dan mungkin efek yang tidak disangka, justru Stewart sebagai reporter, Macaulay Connor, dan Hussey sebagai fotografer, Elizabeth Imbrie, yang berhasil bersinar dan mencuri sebagian perhatian penonton dari Hepburn. Stewart berhasil mencuri tempat Grant tersebut, dan sekaligus mencuri Oscar untuk Aktor Terbaik, dengan pembawaannya yang komik dan Hussey berhasil menyabet nominasi Oscar untuk Aktres Pendukung Terbaik dengan pembawaannya yang pragmatis. Sutradara George Cukor (24 tahun kemudian mengarahkan film dengan kekompleksan psyche yang sama, My Fair Lady), sangat teliti dalam menempatkan kamera pada saat-2 yang tepat untuk menangkap ekspresi wajah karakter-2nya, meng-accentuate point-2 penting dalam scriptnya.

Walaupun situasi sosial sudah sangat berubah dari ketika film ini dibuat, The Philadelphia Story tetap merupakan timeless comedy dan kita tetap dapat menarik banyak pelajaran dari film ini.

* 9.0/10


The Philadelphia Story dapat anda temukan di eBay.com

No comments: