Thursday, 3 May 2012

A Tale of Two Cities

Resensi Film: A Tale of Two Cities (8.5/10)

Tahun Keluar: 1935
Negara Asal: USA
Sutradara: Jack Conway
Cast: Ronald Colman, Elizabeth Allan, Edna May Oliver, Reginald Owen, Basil Rathbone

Plot: Kisah cinta dua pria terhadap seorang wanita sementara revolusi menyapu bersih seluruh Perancis (IMDb).

Novel klasik karya Charles Dickens ini adalah salah satu dari novel-2 favorit penulis ketika kecil. Bagaimana tidak, kalimat pertama dalam paragraf pertama sedemikian mengesankannya:

"It was the best of times, it was the worst of times, it was the age of wisdom, it was the age of foolishness, it was the epoch of belief, it was the epoch of incredulity, it was the season of Light, it was the season of Darkness, it was the spring of hope, it was the winter of despair, we had everything before us, we had nothing before us, we were all going direct to Heaven, we were all going direct the other way -- in short, the period was so far like the present period ..."

Ya, betul sekali, Mr. Dickens ... it's like present time, it's like now (!), itulah perasaan penulis ketika membacanya untuk pertama kali dan setiap kali mengenangnya. Ceritanya tidak pernah lekang oleh panas, tidak pernah lapuk oleh hujan, selalu relevan, bahkan sampai saat ini. Di bawah pengawasan David O. Selznick -- satu-2nya produser (setelah Irving Thalberg) dalam sejarah Hollywood yang "care"  tidak hanya terhadap box-office saja tetapi juga terhadap kualitas atau mutu dari film-2nya, cerita klasik ini berhasil diadaptasi ke layar lebar sangat dekat dengan cerita aslinya. A Tale of Two Cities mempunyai cast yang unggul, khususnya Ronald Colman, sebagai pemeran utama Sydney Carton; juga aktor-2 yang lain yang memainkan peran-2 pendukung, termasuk Basil Rathbone sebagai Marquis St. Evrémonde -- aristokrat yang angkuh dan jahat, Henry B. Walthall sebagai Dr. Manette -- ayah Lucie, orang tidak bersalah yang menjadi korban kesewenang-2an aristokrat, Edna May Oliver sebagai Miss Pross -- pengasuh Lucie, pembantu yang setia, dan Blanche Yurka, yang hampir saja "mencuri" centre-stage, sebagai Madame Defarge -- juga korban kesewenang-2an aristokrat, heroine dan sekaligus arch villainess! Walaupun nampak sebagai kisah cinta, Dickens menciptakan karakter-2 yang menyampaikan pesan-2 yang jauh lebih dalam dari sekedar kisah cinta. Sydney Carton, pria yang mempunyai posisi dan profesi terhormat, tetapi somehow dia tidak menemukan kebahagiaan, tidak menemukan "arti" dalam hidupnya. Dia menghabiskan waktu dan pikirannya antara minum dan ruang pengadilan. Sampai akhirnya dia bertemu Lucie, wanita yang memberinya "arti", tetapi secepat itu pula dia mengetahui bahwa dia tidak dapat memilikinya. Dr. Manette, korban kesewenang-2an yang berhasil berdamai dengan masa lalunya. Madame Defarge, juga korban kesewenang-2an, sebaliknya, tidak pernah sirna nafsu balas dendamnya -- memimpin revolusi di kampung halamannya, menggalang persatuan dan membangkitkan amarah rakyat terhadap aristokrat; dengan sinar matanya yang tajam dan senyumnya yang sinis, dia tidak pernah absen menjatuhi hukuman mati sambil dia duduk merajut di pengadilan kangguru, the Reign of Terror. Kebenciannya terhadap seluruh keturunan Evrémonde, tidak peduli bersalah atau tidak, telah mengkonsumsi dirinya dan mengubah dirinya menjadi monster. Peran-2 pendukung yang lain, dan jumlahnya banyak, dimainkan dengan sangat baik dan mesti anda tonton sendiri untuk mengapresiasinya. Bahkan bagian-2 kecil ini juga unik, berkarakter, so colourful; betul-2 salut untuk casting yang tepat. Anda jarang menemukan perhatian sedetil ini jaman sekarang, unfortunately. Cinematography dan editing dilakukan dengan sangat baik dan menjadikan film ini enak ditonton. Arahan dari Jack Conway juga dilakukan dengan sangat baik, khususnya scene penyerbuan Bastille dan menuju akhir film, scene hukuman mati massal dengan Madame Guillotine -- menimbulkan perasaan eerie (strange and frightening). Scene paling berkesan untuk penulis adalah menuju akhir film ketika Sydney Carton berusaha menghibur seorang seamstress (penjahit wanita) yang ikut-2 dijatuhi hukuman mati hanya gara-2 dia berteman dengan seorang aristokrat. Sambil ketakutan, si seamstress bertanya ke Sydney: "Mengapa aku harus mati?" "Apa gunanya?"

Sydney Carton mengetahui alasan untuk dirinya ...

Scene terakhir, kamera bergerak mengarah ke langit, sementara Carton mengucapkan kalimat terakhirnya,  betul-2 a knock-out! Di akhir film, penulis hanya dapat bergumam, "Wow ..."

A Tale of Two Cities adalah film yang dapat ditonton untuk seluruh keluarga. Ceritanya simple bagi anak-2 untuk memahaminya, tetapi sekaligus compelling bagi orang dewasa untuk menemukan makna yang lebih dalam darinya. Sedikit ganjalan, film ini dikeluarkan pada musim liburan Natal pada tahun 1935 sehingga musical scores-nya disesuaikan dengan festivity yang ada saat itu, padahal tanpa bantuan festivity ini cerita klasik dari Dickens ini akan tetap mampu menjadi klasik.

* 8.5/10

A Tale of Two Cities dapat anda temukan di eBay.com

No comments: