Social Mobility: From rags to riches ...
Menuju masyarakat yang égalitaire: Yang lemah bisa menjadi kuat, yang miskin bisa menjadi kaya, yang bawah bisa menjadi atas ...
“Walk? Not bloody likely. I'm going in a taxi! ”
Tahun Keluar: 1938
Negara Asal: Inggris
Sutradara: Anthony Asquith, Leslie Howard
Cast: Leslie Howard, Wendy Hiller, Wilfrid Lawson, Marie Lohr, Scott Sunderland
Cerita drama pemenang Nobel Kesusastraan tahun 1925, karya penulis dan kritikus sosial asal Irlandia, George Bernard Shaw, ini tidak pernah lapuk ditelan pergantian jaman. Selama manusia masih terus berjuang (bertengkar, berselisih paham, atau 'eker-2an') mencapai masyarakat yang adil dan makmur, cerita Pygmalion ini akan terus terasa relevan. Sedemikian baiknya tulisan Shaw ini sehingga ceritanya dapat dengan versatile tertransformasi secara mulus dari medium aslinya, teater, ke medium-2 yang lain, a.l.: film -- Pygmalion (1938), teater musik -- My Fair Lady (1956), atau mungkin yang paling terkenal, film musik -- My Fair Lady (1964).
Sebagai orang Irlandia -- yang republik (rakyat jelata), yang tinggal di Inggris -- yang monarki/kerajaan (didominasi oleh kelompok aristokrat), tidaklah sulit bagi Shaw untuk melihat bahwa di negeri adopsinya ini superioritas adalah garis keturunan atau hasil warisan, bukan hasil usaha sendiri. Superiority was inherited, not earned. Namun demikian, pengamatan sosial yang tajam ini tidak terjadi unik di Inggris saja, tetapi juga di negara-2 yang lain, misalnya: seorang anak menikmati status atau privilege orangtuanya, melulu karena garis keturunan atau hasil warisan, bukan karena usahanya sendiri. Sebagai seorang socialist-republican, Shaw mengidolakan masyarakat dengan Social Mobility yang tinggi, artinya masyarakat dimana rakyatnya mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan taraf kehidupannya, tidak peduli dari mana asal-usul atau latar belakangnya, atau bahkan apa jenis kelaminnya. Dengan kata lain, masyarakat yang égalitaire -- masyarakat yang tidak berkelas; tidak ada dikotomi kelas kuat - kelas lemah, kelas kaya - kelas miskin, kelas atas - kelas bawah, atau kelas pria - kelas wanita. Dengan tema yang universal ini tidak mengherankan karya Shaw ini masih terus relevan sampai saat ini.
Suatu saat di suatu malam yang hujan deras, di daerah gedung-2 opera di Covent Garden, London, seorang wanita penjual bunga, Eliza Doolittle (Wendy Hiller), menjadi subyek polemik antara seorang guru besar Phonetics, Professor Higgins (Leslie Howard), dan seorang ahli Phonetics yang lain, Colonel Pickering (Scott Sunderland). Tanpa menghiraukan kehadiran dan perasaan Eliza, Professor Higgins berdalil bahwa gaya berbicara seseorang sangat menentukan prospek orang tersebut dalam masyarakat: gaya berbicara selokan akan menempatkan pembicaranya di selokan juga, atau sebaliknya. Pandai tetapi tinggi hati, Professor Higgins tidak dapat menahan keinginannya untuk memamerkan kehebatannya sebagai ahli Phonetics: dia bertaruh kepada Colonel Pickering bahwa dia mampu mengajar Eliza berbicara seperti wanita dari kelas atas, sedemikian rupa sehingga dia bisa bekerja di toko bunga atau bahkan disangka sebagai wanita berdarah biru di pesta dansa di Buckingham Palace.
Mendengar pembicaraan mereka tentang dirinya, Eliza diam-2 tertarik mencoba dalil tersebut. Keesokan harinya, Eliza datang tanpa diundang ke rumah Professor Higgins dan memintanya mengajarinya berbicara seperti wanita dari kelas atas. Tidak menyangka dalilnya ditanggapi secara serius, Professor Higgins mentah-2 menolak permintaan tersebut dan mengolok-2 keinginan Eliza tersebut. Tetapi Eliza bersikeras dan mendesak terus. Tidak setuju dengan sikap Professor Higgins terhadap Eliza, Colonel Pickering akhirnya turun tangan, mengingatkan Professor Higgins bahwa dia memang bertaruh seperti itu, dan dia bersedia menerima taruhan tersebut -- taruhannya: dia akan mengganti seluruh biaya belajar Eliza kalau Professor Higgins berhasil membuktikan dalilnya. Tidak bisa mundur dari tantangan tersebut, Professor Higgins setuju.
Maka dimulailah proses belajar-mengajar 24 jam sehari, 7 hari seminggu, antara Professor Higgins dan Eliza. Kalau Professor Higgins akan mengajari Eliza berbicara dengan baik, Eliza akan berusaha mengajari dia empati dan kerendahan hati.
Cerita berpusat pada pertemuan dua ego raksasa: yang satu milik guru besar Phonetics, Professor Higgins, yang lainnya milik wanita penjual bunga, Eliza Doolittle. Tidak perlu disangsikan lagi “kebesaran” ego Professor Higgins: snobbish, chauvinist, misogynist, sexist ... yang semuanya artinya sama :-) : merasa dirinya paling wahid. Namun demikian, “ketegaran” ego Eliza-lah yang berhasil menahan serangan sarkasme dan prejudice dari Professor Higgins yang berusaha menjatuhkan harga dirinya.
Professor Higgins: “You know, it's almost irresistible. She's so deliciously low. So horribly dirty.”
Demikian juga dengan pemicu plot dalam cerita ini: Eliza-lah yang menggerakkan plot dalam cerita ini -- Eliza-lah yang berinisiatif datang ke rumah Professor Higgins dan memintanya mengajarinya. Shaw dengan cermat menulis dialog-2 tajam yang menampilkan betapa kelirunya prejudice Professor Higgins terhadap Eliza, bahwa orang dari kelas bawah itu tidak punya harga diri, tidak punya ambisi, tidak mengerti ekonomi, terlebih lagi wanita ... tidak punya otak. Well, Eliza tanpa tedeng aling-2 melawan semua prejudice tersebut, misalnya:
Eliza Doolittle: “I know what lessons cost as well as you do, and I'm ready to pay.”
Namun demikian, Shaw tidak melupakan sisi humor dalam dialog-2 yang serius tersebut, misalnya:
Professor Higgins: “How much do you propose to pay me for the lessons? ”
Eliza Doolittle: “Oh, I know what's right. A lady friend of mine gets French lessons for eighteen pence an hour from a real French gentleman. Well, you wouldn't have the face to ask me the same for teaching me my own language as you would for French; so I won't give more than a shilling. Take it or leave it.”
1 - 0 untuk Eliza! :-)
Dan masih ada banyak dialog-2 tajam yang lain -- serius sekaligus lucu dan menggelitik, yang akhirnya melampaui batas-2 taruhan awalnya:
Benarkah gaya berbicara adalah satu-2nya tanda yang mencerminkan status seseorang? Bagaimana kalau topik atau subyek pembicaraannya nyaris nihil?
Eliza Doolittle: “The rain in Spain stays mainly in the plain. In Hertford, Hereford and Hampshire, hurricanes hardly ever happen.”
atau tetap sama seperti semula:
Eliza Doolittle: “My aunt died of influenza. So they said. But it's my belief they done the old woman in.”
Mrs. Higgins: “Done her in? ”
Eliza Doolittle: “Yes, Lord love you! Why should she die of influenza? She come through diphtheria right enough the year before. I saw her with my own eyes. Fairly blue with it, she was. They all thought she was dead; but my father he kept ladling gin down her throat til she came to so sudden that she bit the bowl off the spoon.”
Bagaimana dengan sikap atau tingkah-laku? Bukankah hal ini juga tanda yang mencerminkan status seseorang?
Bagaimana dengan uang? Bagaimana dengan orang yang berbicara, bersikap/bertingkah-laku seperti orang dari kelas atas, tetapi tidak punya uang? (dalam cerita ini: keluarga Eynsford-Hill yang dijuluki sebagai “social climber” :-) ) Atau sebaliknya, orang yang berbicara, bersikap seperti orang dari kelas bawah, tetapi ternyata punya uang? (dalam cerita ini: ayah Eliza yang tiba-2 menjadi kaya gara-2 mewarisi kekayaan seorang jutawan Amerika yang tidak percaya dengan sistem di Inggris). Sejak itu, walaupun gaya bicara dan sikapnya sama seperti semula, ayah Eliza langsung naik kelas menjadi “gentleman” :-)
Untuk Eliza sendiri (wanita pada jamannya), setelah dia berhasil menjadi “lady”, so what ... ??! Ke-“lady”-annya tersebut bisa digunakan untuk apa? Ternyata hanya bisa digunakan untuk kawin. Yang menurut kelas atas hal ini adalah hal yang membanggakan, tetapi untuk Eliza hal ini justru tragis dan memalukan.
Eliza Doolittle: “I sold flowers! I didn't sell myself! Now you've made a lady of me, I'm not fit to sell anything else.”
Yes, 2 - 0 untuk Eliza! :-)
Kritik sosial yang dilempar Shaw, solusi yang ditawarkan Professor Higgins, ternyata membuka “can or worms” -- membongkar masalah-2 yang lain yang lebih pelik. Dan inilah open-ending, akhir yang terbuka, yang meninggalkan penonton bertanya-2: Bagaimana nasib Eliza selanjutnya?
Sayangnya, di luar dunia teater dan sastra, karya George Bernard Shaw ini kurang mendapat penghargaan untuk pengaruhnya terhadap class-consciousness -- perjuangan menuju masyarakat yang lebih adil, masyarakat yang tidak berkelas, dan khususnya terhadap feminisme -- perjuangan menuju masyarakat dengan kesetaraan gender.
Klasik.