Saturday, 24 May 2014

The Seventh Seal

The Seventh Seal ★★★★★

Silence ... kebisuan ...

Faith is a torment. It is like loving someone who is out there in the darkness but never appears, no matter how loudly you call.


Tahun Keluar: 1957
Negara Asal: Sweden
Sutradara: Ingmar Bergman
Cast: Max von Sydow, Bengt Ekerot, Gunnar Björnstrand, Nils Poppe, Bibi Andersson

Seandainya film ini keluar saat ini, jaman dimana religious revival (baca: zealotry) (fanatisme atau persaingan keagamaan) merebak luas, besar kemungkinan film ini akan dinilai kontroversial atau bahkan dilarang-putar di banyak tempat. Menunjukkan bahwa tema film ini masih terus relevan sampai saat ini. Untungnya (atau sebaliknya, sayangnya), tidak banyak penonton yang tahu tentang film klasik ini. Seluruh pendidikan agama yang penulis terima sejak kecil bertujuan menjadikan penulis beriman “teguh” atau “kuat”, artinya yakin 100%, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak goyah sama sekali, ... pasrah bongkokan. Semua hasil yang tidak seperti ini akan dinilai sebagai kegagalan. Penulis bisa membayangkan seandainya penulis dulu mengatakan: “faith is a torment, it is like loving someone who is out there in the darkness but never appears, no matter how loudly you call,” kepada guru agama di sekolah, penulis pasti akan kena tegur, kena hardik, atau bahkan kena maki sebagai umat yang tidak beriman -- karena itu penulis mending diam saja :-) Kira-2 demikian juga pendidikan agama yang diterima Ingmar Bergman, apalagi sebagai anak dari seorang pendeta Lutheran. Hampir semua film drama Bergman berkisar pada ketidakpuasannya dengan cara Tuhan memilih menampilkan (dhi, tidak menampilkan) dirinya pada manusia. Pencarian spiritual ini menjadi pusat dari film-2 Bergman di puncak kariernya. The Seventh Seal mengawali periode ini, dimana dia bertanya, lagi dan lagi, mengapa Tuhan seakan-2 absen dari dunia. Di awal 1960-an, dia mengarahkan trilogi yang mengeksplorasi tema keimanan dan keraguan: Through a Glass Darkly (1961), Winter Light (1962), dan The Silence (1963).

Antonius Block (Max von Sydow), seorang prajurit, pulang dari perang salib di Yerusalem, menemukan negerinya merana dan rakyatnya sekarat gara-2 serangan wabah penyakit pes. Tidak lama kemudian, malaikat kematian (Bengt Ekerot) datang untuk menjemputnya.

Antonius Block: “Who are you?
Death: “I am Death.
Antonius Block: “Have you come for me?
Death: “I have long walked by your side.
Antonius Block: “So I have noticed.
Death: “Are you ready?
Antonius Block: “My body is ready, but I am not.


Sebelum sang malaikat sempat merenggut nyawanya, Block -- mengetahui dari gambar-2 dinding di gereja bahwa sang malaikat gemar bermain catur, mengajukan tawaran kepada sang malaikat untuk bermain catur. Perjanjiannya: selama dia menang, dia boleh terus hidup. Sang malaikat setuju. Sambil mereka bermain catur, Block mulai bertanya-2 tentang Tuhan, dan sang malaikat tentang dirinya.

Suatu saat, ketika Block pergi mengaku dosa ke seorang imam di sebuah gereja kecil, dia menumpahkan segala kegelisahan hatinya:

My indifference has shut me out. I live in a world of ghosts, a prisoner of dreams. I want God to put out his hand, show his face, speak to me. I cry out to him in the dark but there is no one there.

Tidak bisa menanggapi kegelisahan Block, imam tersebut kemudian menoleh ke arahnya dan Block terkejut menemukan dia adalah malaikat kematian yang selama ini membuntutinya. Di saat lain, ketika Block bertemu dengan seorang wanita pesakitan yang dituduh berselingkuh dengan setan (maksudnya, tukang sihir) yang sedang menunggu hukuman matinya, dia bertanya pada wanita tersebut:

Antonius Block: “Have you met the devil? I want to meet him too.
Witch: “Why do you want to do that?
Antonius Block: “I want to ask him about God. He must know. He, if anyone.
Witch: “Look in my eyes. The priest could see him there, and the soldiers -- they would not touch me.
Antonius Block: “I see nothing but terror.

Akhirnya, ketika Block ter-skakmat oleh sang malaikat, dia bertanya lagi untuk terakhir kalinya, dan sang malaikat memberikan jawaban yang sama juga untuk terakhir kalinya, tetapi kali ini terdengar begitu mengejutkan:

Death: “When next we meet, the hour will strike for you and your friends.
Antonius Block: “And will you reveal your secrets?
Death: “I have no secrets.
Antonius Block: “So do you know nothing?
Death: “I AM UNKNOWING.


Bergman dengan percaya diri mengakhiri film ini tidak dengan pernyataan atau klimaks, tetapi dengan gambar parade kematian -- sama aslinya seperti gambar malaikat kematian yang mengawali film ini; seperti sebuah film bisu -- suasana bisu yang menyelimuti film ini justru berkorelasi kuat dengan jawaban-2 atas pertanyaan-2 Block yang selama ini dia cari: silence, kebisuan ...

Didukung sinematografi hitam-putih kontras tajam yang menghantui dan desain produksi & dekorasi set yang detil tentang Eropa di abad pertengahan, kekuatan film ini terletak pada directness/kelugasan Bergman menyampaikan tema yang ingin dia sampaikan. Walaupun Bergman tidak menyediakan resolusi di akhir film, dia menawarkan rekonsiliasi di tengah film, yang menurut penulis adalah scene paling indah dari film ini, yaitu ketika pemain sirkus Jof (Nils Poppe), istrinya Mia (Bibi Andersson), dan anak laki-2nya Mikael berbagi makan malam sebaskom strawberry dan semangkok susu dengan Block, pembantunya Jöns (Gunnar Björnstrand), dan seorang gadis bisu. Untuk pertama kalinya dalam film ini Block terlihat bahagia. Sambil menikmati santapan sederhana tersebut Block mengatakan:

I shall remember this moment: the silence, the twilight, the bowl of strawberries, the bowl of milk. Your faces in the evening light. Mikael asleep, Jof with his lyre. I shall try to remember our talk. I shall carry this memory carefully in my hands as if it were a bowl brimful of fresh milk. It will be a sign to me, and a great sufficiency.

Mungkinkah ini adalah rekonsiliasi atas pencarian spiritual Block (Bergman) tersebut?

Klasik.




The Seventh Seal dapat anda temukan di eBay.com

Monday, 5 May 2014

The Women

The Women ★★★★*

Feminisme modern: Kritik terhadap gender sendiri

Satir yang menggigit, tajam, witty, ... b i t c h y, ... f u n n y !

Tahun Keluar: 1939
Negara Asal: USA
Sutradara: George Cukor
Cast: Norma Shearer, Joan Crawford, Rosalind Russell, Joan Fontaine

Tahun 1939 konon adalah “vintage” terbaik dalam sejarah Academy Awards, dimana pada tahun tersebut Hollywood menghasilkan film-2 handal yang di kemudian hari menjadi klasik, di antaranya: Mr. Smith Goes to Washington, Gone with the Wind, The Wizard of Oz, Ninotchka, Stagecoach, The Huncback of Notre Dame,  Wuthering Heights, The Roaring Twenties, Goodbye Mr. Chips, Love Affair. Dengan kompetisi seketat ini, bukan salah siapapun kalau film ini “keloncatan” dalam nominasi Oscar -- sama sekali bukan karena film ini kalah kualitas dari segi apapun. Kalau anda menyukai Ninotchka -- satir tentang Cold War, anda akan menyukai The Women -- satir dari wanita tentang gendernya sendiri. Adaptasi dari teater dengan judul yang sama karya Clare Boothe Luce -- bercerita tentang intrik dan kehidupan manja para istri dari pria berduit di Manhattan, New York, dan wanita-2 yang lain yang mereka temui, penulis anekdot ternama saat itu, Anita Loos, perlu “mempermak” scriptnya sedemikian rupa sehingga film ini lolos sensor dari Motion Picture Production Code (MPPC)/Hays Code, tetapi tetap menjaga satir tajam yang ada di dalamnya. Hasilnya, insinuasi yang menggigit, tajam, witty sekaligus bitchy, tetapi lucu sekaligus menghibur.

Secepat api menyulut sumbu petasan, cerita dimulai dengan tempo tinggi dari salon kecantikan Sydney's di Park Avenue, dengan gosip bahwa Stephen Haines -- suami dari Mary Haines (Norma Shearer), seorang ibu rumah-tangga yang ceria dan bahagia, cinta terhadap suaminya, dan ibu dari Little Mary, menjalin hubungan asmara dengan Crystal Allen (Joan Crawford), seorang penjaga counter parfum di toserba Black's di distrik yang sama. Si penyebar gosip adalah Olga, si manicurist, yang berondongan celotehannya selalu menemani kunjungan setiap client yang duduk di depannya -- oooh, bayangkan :-) Si penerima gosip adalah Sylvia Fowler (Rosalind Russell), sepupu Mary, yang ternyata 10x lebih gossipy daripada Olga :-) Merasa kurang pantas (baca: kurang kejam!) kalau dia yang memberitahu Mary tentang gosip tersebut, Sylvia menyarankan Mary untuk pergi ke Sydney's untuk memperbarui warna kutek kukunya -- Jungle Red, seperti miliknya, dengan Olga, si manicurist. Terkejut mendengar gosip tersebut dan terlebih lagi malu menyadari semua temannya sudah mengetahuinya, ibunya -- yang juga client Olga, cepat-2 datang mengunjunginya dan memberi nasehat kepadanya: pertama, jangan mengkonfrontasi suaminya, alias pura-2 ndak tahu dan percaya bahwa affair tersebut akan berlalu dengan sendirinya; kedua, jangan minta nasehat pada teman-2nya, karena mereka hanya akan memperkeruh masalah. Tidak dapat menerima nasehat ibunya yang terasa tidak cocok dengan generasinya, Mary mula-2 mematuhi nasehat tersebut, tetapi akhirnya termakan oleh emosi juga ketika Sylvia memberi kabar bahwa Crystal mulai mendekati anaknya, Little Mary. Maka meletuslah hostility terbuka antara Mary dan Crystal, dan kehadiran majalah gosip semakin mempersulit Mary mencapai rekonsiliasi dengan suaminya. Berhasilkan Mary menyelamatkan perkawinannya?

Tetapi plot utama ini tidak berjalan sendirian, ada subplot-2 yang lain yang berjalan mendampinginya: Sylvia yang  mencintai suaminya hanya karena uangnya; Crystal yang melulu gold digger; Peggy (Joan Fontaine) yang penghasilannya lebih besar dari suaminya yang menimbulkan ketidakharmonisan dalam perkawinannya; Countess De Lave (Mary Bolland) yang perannya justru terbalik, ternyata dialah yang mengeluarkan uang untuk suami “piaraan”-nya :-); dan Miriam (Paulette Goddard) yang menjadi pihak ketiga. Juga tampil tersirat efek perceraian terhadap anak dan to a greater extent tema universal Pride & Prejudice. Scriptnya berhasil dengan rapi dan efektif menjalin semua subplot yang ada menuju resolusi akhir yang nilainya lebih besar daripada jumlah masing-2 subplot. Dikombinasikan dengan dialog-2 yang menggigit, tajam, witty sekaligus bitchy, dan pemilihan cast yang tepat, yang semuanya sweet dan adorable, bahkan untuk mereka yang paling bitchy sekalipun, misalnya Crawford! :-), hasilnya adalah satir yang menghibur karena menggabungkan keseriusan dengan kekonyolan, komentar sosial dengan komedi, dan kritik dengan kehangatan dengan dosis yang pas.

Juga patut diacungi jempol adalah arahan George Cukor -- sutradara pria yang mempunyai sensitivitas tinggi terhadap tema-2 feminin: Little Women (1933), The Philadelphia Story (1940), Gaslight (1944), Adam's Rib (1949), My Fair Lady (1964), yang juga rapi dan efektif. Dari awal, dengan montage lucu dan mengena anggota cast utama yang tanpa tedeng aling-2 mengasosiasikan peran-2 mereka dengan karakter-2 binatang yang sepadan: Mary (Shearer): rusa -- tidak berprasangka buruk; Crystal (Crawford): macan tutul -- senang berburu dan memangsa; Sylvia (Russell): kucing hitam -- meongannya mendatangkan keributan, Countess De Lave (Bolland): monyet -- ndak punya malu; Miriam (Goddard): rubah -- licik dan licin; Peggy (Fontaine): domba -- kurang tegas; ibunya Mary (Lucile Watson): burung hantu -- bijaksana; Edith (Phyllis Povah): sapi -- senang ngikut; anaknya Mary, Little Mary (Virginia Weidler): anak rusa -- seperti ibunya; dan Lucy (Marjorie Main): kuda -- sak karepe dewe, Cukor dengan cepat menentukan “warna” film ini, menjaganya dengan baik di seluruh film, dan tidak mengecewakan penonton sampai film berakhir. Arahan lain yang mengagumkan adalah kecakapan Cukor menjaga karakter-2 yang ada -- yang jumlahnya banyak, sesuai dengan urutan prioritas dalam scriptnya, tampil dalam layar yang saat itu hanya berukuran/berasio 4:3 saja. Gerakan terkoreografi dari anggota cast -- entah berapa lama mereka berlatih, sedemikian rupa sehingga semuanya masuk dalam layar yang notebene berukuran kecil (bandingkan dengan saat ini yang berasio 16:9), dan kerapian/ketelitian Cukor menempatkan kamera, betul-2 patut diacungi jempol. Last, but not least, walaupun mula-2 Cukor tidak menyukai sequence fashion show yang berlangsung sekitar 6 menit di awal babak kedua film ini -- menurutnya menghentikan alur cerita yang sedang berjalan, sekarang sequence ini justru menjadi bagian unik karena menjadi bagian yang standout berwarna/Technicolor dari seluruh film yang hitam-putih. Memang betul terasa menghentikan alur cerita, tetapi setelah berondongan celotehan yang bagaikan mitraliur, bagian ini justru memberi kesempatan penonton untuk “beristirahat” sejenak.

Dengan total jumlah 130 peran, semuanya wanita, bahkan para binatang yang tampil -- paling tidak 2 anjing dan 1 kuda, juga berjenis kelamin perempuan, saat itu Cukor pasti adalah pria yang paling bahagia di seluruh dunia :-)

Film ini sudah di-remake paling tidak 3 kali: The Opposite Sex (1956), Women in New York (1977), dan The Women (2008), tetapi tidak satupun yang berhasil mendekati script dari Anita Loos dan arahan emas dari George Cukor ini.

Klasik.



The Women dapat anda temukan di eBay.com