Silence ... kebisuan ...
“Faith is a torment. It is like loving someone who is out there in the darkness but never appears, no matter how loudly you call.”
Tahun Keluar: 1957
Negara Asal: Sweden
Sutradara: Ingmar Bergman
Cast: Max von Sydow, Bengt Ekerot, Gunnar Björnstrand, Nils Poppe, Bibi Andersson
Seandainya film ini keluar saat ini, jaman dimana religious revival (baca: zealotry) (fanatisme atau persaingan keagamaan) merebak luas, besar kemungkinan film ini akan dinilai kontroversial atau bahkan dilarang-putar di banyak tempat. Menunjukkan bahwa tema film ini masih terus relevan sampai saat ini. Untungnya (atau sebaliknya, sayangnya), tidak banyak penonton yang tahu tentang film klasik ini. Seluruh pendidikan agama yang penulis terima sejak kecil bertujuan menjadikan penulis beriman “teguh” atau “kuat”, artinya yakin 100%, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak goyah sama sekali, ... pasrah bongkokan. Semua hasil yang tidak seperti ini akan dinilai sebagai kegagalan. Penulis bisa membayangkan seandainya penulis dulu mengatakan: “faith is a torment, it is like loving someone who is out there in the darkness but never appears, no matter how loudly you call,” kepada guru agama di sekolah, penulis pasti akan kena tegur, kena hardik, atau bahkan kena maki sebagai umat yang tidak beriman -- karena itu penulis mending diam saja :-) Kira-2 demikian juga pendidikan agama yang diterima Ingmar Bergman, apalagi sebagai anak dari seorang pendeta Lutheran. Hampir semua film drama Bergman berkisar pada ketidakpuasannya dengan cara Tuhan memilih menampilkan (dhi, tidak menampilkan) dirinya pada manusia. Pencarian spiritual ini menjadi pusat dari film-2 Bergman di puncak kariernya. The Seventh Seal mengawali periode ini, dimana dia bertanya, lagi dan lagi, mengapa Tuhan seakan-2 absen dari dunia. Di awal 1960-an, dia mengarahkan trilogi yang mengeksplorasi tema keimanan dan keraguan: Through a Glass Darkly (1961), Winter Light (1962), dan The Silence (1963).
Antonius Block (Max von Sydow), seorang prajurit, pulang dari perang salib di Yerusalem, menemukan negerinya merana dan rakyatnya sekarat gara-2 serangan wabah penyakit pes. Tidak lama kemudian, malaikat kematian (Bengt Ekerot) datang untuk menjemputnya.
Antonius Block: “Who are you?”
Death: “I am Death.”
Antonius Block: “Have you come for me?”
Death: “I have long walked by your side.”
Antonius Block: “So I have noticed.”
Death: “Are you ready?”
Antonius Block: “My body is ready, but I am not.”
Sebelum sang malaikat sempat merenggut nyawanya, Block -- mengetahui dari gambar-2 dinding di gereja bahwa sang malaikat gemar bermain catur, mengajukan tawaran kepada sang malaikat untuk bermain catur. Perjanjiannya: selama dia menang, dia boleh terus hidup. Sang malaikat setuju. Sambil mereka bermain catur, Block mulai bertanya-2 tentang Tuhan, dan sang malaikat tentang dirinya.
Suatu saat, ketika Block pergi mengaku dosa ke seorang imam di sebuah gereja kecil, dia menumpahkan segala kegelisahan hatinya:
“My indifference has shut me out. I live in a world of ghosts, a prisoner of dreams. I want God to put out his hand, show his face, speak to me. I cry out to him in the dark but there is no one there.”
Tidak bisa menanggapi kegelisahan Block, imam tersebut kemudian menoleh ke arahnya dan Block terkejut menemukan dia adalah malaikat kematian yang selama ini membuntutinya. Di saat lain, ketika Block bertemu dengan seorang wanita pesakitan yang dituduh berselingkuh dengan setan (maksudnya, tukang sihir) yang sedang menunggu hukuman matinya, dia bertanya pada wanita tersebut:
Antonius Block: “Have you met the devil? I want to meet him too.”
Witch: “Why do you want to do that?”
Antonius Block: “I want to ask him about God. He must know. He, if anyone.”
Witch: “Look in my eyes. The priest could see him there, and the soldiers -- they would not touch me.”
Antonius Block: “I see nothing but terror.”
Akhirnya, ketika Block ter-skakmat oleh sang malaikat, dia bertanya lagi untuk terakhir kalinya, dan sang malaikat memberikan jawaban yang sama juga untuk terakhir kalinya, tetapi kali ini terdengar begitu mengejutkan:
Death: “When next we meet, the hour will strike for you and your friends.”
Antonius Block: “And will you reveal your secrets?”
Death: “I have no secrets.”
Antonius Block: “So do you know nothing?”
Death: “I AM UNKNOWING.”
Bergman dengan percaya diri mengakhiri film ini tidak dengan pernyataan atau klimaks, tetapi dengan gambar parade kematian -- sama aslinya seperti gambar malaikat kematian yang mengawali film ini; seperti sebuah film bisu -- suasana bisu yang menyelimuti film ini justru berkorelasi kuat dengan jawaban-2 atas pertanyaan-2 Block yang selama ini dia cari: silence, kebisuan ...
Didukung sinematografi hitam-putih kontras tajam yang menghantui dan desain produksi & dekorasi set yang detil tentang Eropa di abad pertengahan, kekuatan film ini terletak pada directness/kelugasan Bergman menyampaikan tema yang ingin dia sampaikan. Walaupun Bergman tidak menyediakan resolusi di akhir film, dia menawarkan rekonsiliasi di tengah film, yang menurut penulis adalah scene paling indah dari film ini, yaitu ketika pemain sirkus Jof (Nils Poppe), istrinya Mia (Bibi Andersson), dan anak laki-2nya Mikael berbagi makan malam sebaskom strawberry dan semangkok susu dengan Block, pembantunya Jöns (Gunnar Björnstrand), dan seorang gadis bisu. Untuk pertama kalinya dalam film ini Block terlihat bahagia. Sambil menikmati santapan sederhana tersebut Block mengatakan:
“I shall remember this moment: the silence, the twilight, the bowl of strawberries, the bowl of milk. Your faces in the evening light. Mikael asleep, Jof with his lyre. I shall try to remember our talk. I shall carry this memory carefully in my hands as if it were a bowl brimful of fresh milk. It will be a sign to me, and a great sufficiency.”
Mungkinkah ini adalah rekonsiliasi atas pencarian spiritual Block (Bergman) tersebut?
Klasik.
No comments:
Post a Comment