Wednesday, 27 June 2012

The Bridge on the River Kwai

Resensi Film: The Bridge on the River Kwai (9.0/10)

Tahun Keluar: 1957
Negara Asal: UK, USA
Sutradara: David Lean
Cast: William Holden, Alec Guinness, Jack Hawkins, Sessue Hayakawa

Plot: Setelah melalui standoff yang alot dengan komandan kamp tawanan perang Jepang, seorang kolonel Inggris akhirnya bersedia memimpin pasukannya untuk membangun jembatan untuk penangkapnya -- tidak mengetahui komando atasannya mempunyai rencana untuk menghancurkan jembatan tersebut (IMDb).

The Bridge on the River Kwai adalah salah satu dari sedikit saja film-2 perang yang meninggalkan kesan khusus dalam memori penulis. Salah satu penyebabnya adalah David Lean. Well, bukan gara-2 David Lean orangnya; tetapi gara-2 David Lean kepandaiannya, yaitu kepandaiannya dalam menampilkan kepribadian sebuah karakter, sedemikian rupa sehingga penonton dapat melihat keunikannya -- kekuatannya, juga kelemahannya; kehebatannya, juga ke-"aneh"-annya. Lean khususnya pandai menangani karakter-2 yang kita nilai sebagai "eksentrik" -- yang kalau kita teliti lebih lanjut, bukan eksentrik dalam arti clinically insane, tetapi lebih karena idealismenya atau integritasnya. Mungkin kalau di Indonesia ada pejabat yang tidak suka korupsi, teman-2nya akan menjulukinya sebagai orang "eksentrik" -- padahal yang dimaksud sebagai "eksentrik" di sini adalah orang yang idealis atau punya integritas. Lean selalu berhasil menampilkan paradoks yang menarik ini: orang eksentrik ternyata adalah orang idealis.

Walaupun William Holden memperoleh first billing (gara-2 alasan pemasaran, yaitu bintang utamanya harus aktor Amerika), bintang sesungguhnya dalam film ini adalah Alec Guinness, aktor Inggris, yang memerankan sebagai Colonel Nicholson. Tertangkap sebagai tawanan perang Jepang dan dimasukkan kamp romusha (kerja paksa) di hutan belantara terpencil di Burma, Nicholson tidak pernah lupa perannya sebagai pemimpin dari pasukannya. Dia selalu mengingatkan bawahannya bahwa walaupun mereka adalah tawanan perang Jepang, mereka tidak berada di bawah perintah Jepang, tetapi tetap berada di bawah perintahnya. Demikianlah aturan Konvensi Jenewa dan aturan ini dipegang teguh oleh Nicholson. Maka ketika komandan kamp romusha, Colonel Saito (Sessue Hayakawa), memerintahkan para perwira Inggris untuk bekerja berdampingan dengan bawahannya, maksudnya sama-2 menjadi kuli dan komando dipegang oleh para perwira Jepang, Nicholson menolak mentah-2 perintah tersebut seraya menunjukkan aturan dalam buku kecil Konvensi Jenewa tersebut :-) Kontan saja perlawanan Nicholson ini ditanggapi secara frontal oleh Saito yang sama-2 keras kepalanya! Tidak mau mundur sedikitpun, Nicholson dihadapkan ke grup tembak yang siap memberondongkan senjata otomatisnya. Tetap tidak mau menyerah, Nicholson dijemur di bawah terik matahari sampai teler, kemudian dimasukkan ke dalam "oven" (gubuk kecil terbuat dari seng) sampai berhari-2. Scene pasukannya menyaksikan komandannya dihukum di dalam "oven", kemudian mereka menyanyi "For He's a Jolly Good Fellow" untuk memberi semangat betul-2 mengharukan. Sementara itu, para perwira Jepang mengambil alih kepemimpinan atas pasukan Nicholson dan memerintahkan mereka untuk membangun jembatan rel kereta api yang bakal menghubungkan Bangkok dan Rangoon. Tetapi spirit/morale mereka sangat rendah -- mereka kerja ogah-2an, tidak terkoordinir, banyak yang sakit, banyak yang cedera -- dan semakin mereka ditekan, semakin mereka gak karu-2an. Akhirnya, proyek pembangunan jembatan tersebut tidak berhasil mencapai target. Saito menyadari kalau dia sampai gagal menyelesaikan proyek tersebut, dia harus "mengundurkan diri", maksudnya seppuku atau bunuh diri. Di lain pihak, tidak berhasil "mematahkan" Nicholson, jiwa atau raganya, dengan ancaman, hukuman, intimidasi, dan lain sebagainya, Saito kemudian mencoba dengan suap atau sogok ... ternyata tidak berhasil juga! :-) Akhirnya, Saito menyerah ... ya, Nicholson boleh memimpin pasukannya dan para perwira Inggris boleh melakukan fungsinya sebagai pemimpin. Scene Nicholson keluar dari kantor Saito seraya berjalan terseok-2 setelah entah berapa hari berada di dalam "oven" dan disambut dengan gegap gempita oleh pasukannya betul-2 membangkitkan perasaan euphoria setinggi langit (padahal penulis bukan orang Inggris dan tidak mempunyai patriotisme terhadap Inggris) ... dan sekali lagi mereka menyanyikan "For He's a Jolly Good Fellow." Untuk penulis, scene ini adalah scene kemenangan idealisme! Dan David Lean tidak stop short di sini saja, karena dalam scene berikutnya Lean menampilkan Saito duduk menangis histeris sendirian di dalam kamarnya. Dan dari euphoria atas kemenangan Nicholson, perasaan langsung berubah menjadi simpati terhadap Saito. The Bridge on the River Kwai tercatat dalam sejarah perfilman sebagai salah satu dari sedikit saja film-2 perang yang menggambarkan Jepang secara obyektif atau berimbang.

Melihat spirit/morale pasukannya yang sangat rendah dan mengetahui tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri (kemungkinannya 1 dalam 100), Nicholson memutuskan untuk bekerja secara kooperatif dengan penangkapnya. Dia bahkan memutuskan untuk membangun jembatan tersebut secara serius dan sungguh-2. Keputusan ini mengherankan para perwiranya: "Mengapa membangun jembatan secara serius dan sungguh-2?", "Tidakkah lebih baik membangun yang jelek-2 saja, khan Jepang itu musuh?" -- point yang valid dan masuk akal. Tetapi kemudian keluar "keeksentrikan" Nicholson :-) ... dia menjawab, kira-2 begini: "Perang ini bakal selesai, entah kapan ... tetapi bakal selesai, tetapi tempat ini akan ada di sini selamanya. Mengapa tidak membangun jembatan dengan kualitas yang tinggi, yang bisa bertahan sampai puluhan tahun? Dan jembatan ini akan dikenang selamanya sebagai hasil karya pasukan Inggris yang bekerja tidak sebagai budak, tetapi sebagai orang yang mempunyai kebebasan." Mendengar jawaban ini, para perwiranya melongo ... (penulis juga melongo :-)). Satu perwiranya yang insinyur kemudian mengatakan dia menemukan pohon yang kayunya mirip seperti kayu yang digunakan untuk London Bridge di London, dan jembatan tersebut usianya sudah 600 tahun! Nicholson menjawab dengan senyum simpul, "Kalau begitu, mengapa tidak membangun jembatan yang usianya bisa selama itu?!" Sejak itu, spirit/morale pasukannya sedikit demi sedikit naik, mereka happy, Jepang-nya juga happy, kondisi kamp lebih friendly, pihak Inggris boleh mengatur sendiri kamp-nya. Scene-2 dalam babak kedua ini betul-2 uplifting ... "larger than life".

Tetapi David Lean tidak selamanya terbuai dalam idealisme, karena realisme, suka atau tidak suka, datang tanpa permisi. William Holden yang memerankan sebagai Commodore Shears adalah representasi dari realisme. Tanpa mengungkapkan semua plot agar tidak merusak selera mereka yang belum nonton film ini, penulis menilai bahwa babak pertama (standoff antara Nicholson dan Saito) dan babak kedua (Nicholson dan pasukannya membangun jembatan) adalah bagian terbaik dalam film ini. Babak ketiga, Shears dan komando Inggris menyusun rencana untuk menghancurkan jembatan tersebut, terasa "istirahat" atau "tarik nafas" ... dimana studio Columbia memasukkan elemen-2 "pemanis" khas Hollywood, misalnya Shears berpacaran dengan seorang prajurit wanita, dll. Beruntungnya, babak keempat atau terakhir, Shears dan komando Inggris semakin mendekati jembatan tersebut, temponya naik lagi. Dan diakhiri dengan klimaks yang mencekam, ketika Nicholson harus berhadapan dengan realitas, dan realitas yang bakal menghancurkan idealismenya.

"What have I done? What have I done?" demikianlah teriak Nicholson.

Pertanyaan Nicholson ini meninggalkan perasaan bimbang (unsettled) dalam hati penulis.

The Bridge on the River Kwai menerima 8 nominasi Oscar dan memenangkan 7 darinya:
  • Film Terbaik
  • Sutradara Terbaik (David Lean)
  • Script Adaptasi Terbaik (penulis bukunya adalah penulis yang sama dari "Planet of the Apes")
  • Aktor Terbaik (Alec Guinness)
  • Aktor Pendukung Terbaik (Sessue Hayakawa -- sayang dia "dilompati" oleh aktor Amerika)
  • Editing Terbaik
  • Cinematografi Terbaik
  • Musical Score Terbaik

Last, but not least, musical score ... ya, musical score film ini adalah salah satu dari musical score-2 paling terkenal dalam sejarah perfilman. Walaupun anda mungkin belum pernah menonton film ini, saya jamin anda sudah pernah mendengar musical score-nya. Mengiringi pasukan Nicholson berjalan masuk ke kamp romusha, sequence pembuka film ini juga menjadi salah satu dari sequence-2 pembuka paling terkenal dalam sejarah perfilman.

Dalam waktu sepuluh tahun kemudian, David Lean mengulangi lagi kesuksesannya dalam menangani karakter-2 yang "eksentrik" dalam dua film klasiknya, Lawrence of Arabia (1962) dan Doctor Zhivago (1965).

* 9.0/10

The Bridge on the River Kwai dapat anda temukan di eBay.com

Friday, 15 June 2012

High Society

Resensi Film: High Society (7.8/10)

Tahun Keluar: 1956
Negara Asal: USA
Sutradara: Charles Walters
Cast: Bing Crosby, Grace Kelly, Frank Sinatra

Plot: Remake dari The Philadelphia Story (1940) -- ketika reporter majalah gosip muncul sehari sebelum hari perkawinan (kedua)-nya, Tracy Samantha Lord terpaksa menjalani "crash course" tentang masa lalu dengan bekas suaminya, ketidakharmonisan hubungan dengan ayahnya, dan ... menemukan siapa dirinya, the truth about herself! -- tetapi digarap dengan memasukkan musik dan lirik (IMDb).

Melihat rating High Society di IMDb, penulis termasuk salah satu dari sedikit film critic yang memberi review positif untuk film ini. Mengapa? Berganti setting dari Philadephia ke Newport, Rhode Island, High Society mempunyai detil plot dan karakter-2 yang sama dengan film pendahulunya -- sebagian dari dialognya, walaupun tidak sama persis, verbatim, juga sama dengan dialog dalam film pendahulunya. Satu perbedaan critical di antara keduanya adalah High Society menggantikan sebagian (besar) dialog yang tajam dan sarkastik dari Donald Ogden Stewart dengan sembilan musik dan lirik yang top-notch dari Cole Porter -- membuat High Society menjadi film yang energetic dan entertaining. Memang betul, gara-2 penggantian tersebut High Society menjadi kekurangan satire yang tajam, sarkasme yang lucu, dan karakterisasi yang kompleks (tiga hal yang membuat The Philadelphia Story unggul), tetapi ... untuk penulis, musik dan lirik dari Cole Porter berhasil dengan sangat baik 'make up' (bahasa Jawa-nya, 'nempuhi') kekurangan-2 tersebut. Ini adalah alasan atau excuse dari penulis :-)

Betul, penulis dapat membuktikan mengapa High Society patut menerima review positif. High Society memiliki 4 elemen yang menarik:

1) Romans; lebih romantik, tetapi tidak pernah sentimental atau berlebihan.

2) Dialog; walaupun kekurangan "pukulan telak" (seperti telah dijelaskan di atas), tetapi tetap menarik. Sebagai contoh: dialog paling menarik, without a doubt, adalah antara Tracy Samantha Lord (Grace Kelly) dan Macaulay "Mike" Connor (Frank Sinatra) ketika mereka berkendara di seputar Newport: mula-2 bercanda, tetapi kemudian berubah menjadi sarkastik tentang topik kekayaan, orang kaya, dan perbedaan kelas sosial. Aha ! ... ini yang penulis tunggu-2, yang terasa kurang digali di film pendahulunya. Dalam beberapa scene sebelumnya, dialog antara Mike dan rekan fotografer-nya, Elizabeth Imbrie (Celeste Holm), ketika mereka 'ngrasani' habis-2an orang kaya juga witty (orisinil, tajam, dan sekaligus humorous) dan tentu saja dengan dosis prejudice yang cukup tinggi. Dialog witty tersebut kemudian diakhiri dengan mereka berduet menyanyikan lagu yang juga witty, liriknya satiris dan menggelitik, "Who Wants to be a Millionaire?" -- siapa yang nyangka lebih dari 40 tahun kemudian ada acara Game Show di TV yang memperoleh namanya dari judul lagu tersebut?! Dan mereka yang menghayati lirik lagu tersebut pasti tidak akan ikut acara permainan berhadiah tersebut :-)

3) Superstar cast; penyanyi bersuara bass-baritone, sekaligus aktor, Bing Crosby berperan sebagai bekas suami Tracy, C.K. Dexter Haven, screen goddess Grace Kelly sebagai Tracy, dan penyanyi swing, juga sekaligus aktor, Frank Sinatra sebagai reporter, Mike -- ketiganya mempunyai chemistry yang klop! Well, saat itu Crosby sesungguhnya sudah agak "has been", maksudnya ketenarannya sudah mulai turun; Sinatra sedang memerlukan publisitas baru setelah beberapa tahun absen dari menyanyi; tetapi Kelly sedang berada di puncak popularitasnya. Tetapi sekarang, melihat film ini sebagai film klasik, ketiganya adalah superstar pada jamannya. Semuanya, termasuk Kelly, mendapat kesempatan untuk menyanyi, dan wow ... mereka tampil prima dan mempesona. Cast pendukung, Louis Calhern berperan sebagai Uncle Willie tampil komik sebagai sasaran konspirasi Tracy, Lydia Reed sebagai adik Tracy tampil cheeky untuk mengimbangi sarkasme kakaknya, dan terutama Celeste Holm sebagai Elizabeth Imbrie menjadi sidekick yang berhasil mengimbangi kharisma para pemeran utamanya. Dan satu lagi ... penyanyi jazz legendaris, Louis Armstrong (!), tampil sebagai dirinya sendiri.

4) Musik dan lirik yang super indah dari Cole Porter (seperti telah disebutkan di atas); musiknya melantunkan melodi yang lembut dan intim, yang menitikberatkan pada lirik dan gaya yang cantik. Armstrong membuka film dengan lagu berirama calypso "High Society" yang ringan dan mudah, liriknya menceritakan latar belakang cerita yang bakal disampaikan. Sinatra dan Holm berduet menyanyikan "Who Wants to be a Millionaire?" yang satiris dan menggelitik. Crosby dan Kelly berduet menyanyikan "True Love" yang romantik dan timeless. Crosby dan Armstrong berduet menyanyikan "Now You Has Jazz" yang smooth dan energetic, yang merupakan puncak performance dalam film ini (this is a must-see-performance!) Crosby dan Sinatra berduet menyanyikan "Well, Did You Evah?" yang catchy dan classy. Crosby dan Sinatra masing-2 tampil mempesona membawakan lagu-2 solonya: "I Love You, Samantha" (Crosby) -- instrumental dari Armstrong betul-2 romantic dan dreamy, "You're Sensational" dan lagu berirama rumba "Mind If I Make Love To You" (Sinatra). Hasil akhirnya, High Society adalah salah satu dari musical-2 terbesar produksi studio MGM. Tidak seperti musical-2 jaman sekarang yang sering-2 merupakan sekedar usaha untuk menjual soundtracks, High Society tidak hanya mempunyai bunyi dan suara, tetapi juga mempunyai hati dan jiwa!

Soundtracks selengkapnya dari High Society adalah sebagai berikut:

  • "High Society" (calypso) - Louis Armstrong
  • "Little One" - Bing Crosby
  • "Who Wants to be a Millionaire?" - Frank Sinatra & Celeste Holm
  • "True Love" - Bing Crosby & Grace Kelly
  • "You're Sensational" - Frank Sinatra
  • "I Love You, Samantha" - Bing Crosby
  • "Now You Has Jazz" - Bing Crosby & Louis Armstrong
  • "Well, Did You Evah?" - Bing Crosby & Frank Sinatra
  • "Mind If I Make Love To You" (rumba) - Frank Sinatra

Performance dalam film ini memberi hidup dan vitalitas kepada karakter-2nya, dan musiknya membuat film ini tidak pernah kehilangan pesonanya.

Dari segi akting, walaupun Crosby yang berperan sebagai C.K. Dexter Haven tidak sebaik Cary Grant dalam film pendahulunya, Crosby berhasil menampilkan karakter yang simpatik, yang membuat penonton secara instinctive menyukai dirinya -- penonton ingin dia "menjinakkan" Tracy (ingat "The Taming of the Shrew"-nya Shakespeare?) dan "menjatuhkan Tracy dari pedestal-nya" (to knock the goddess off her pedestal) :-) Sedang Sinatra, lebih daripada James Stewart dalam film pendahulunya, menambahkan kualitas masculinity untuk perannya sebagai Macaulay Connor. Dan tidak dapat dipungkiri, the real scene-stealer dalam film ini adalah Kelly! Kelly, yang karier aktingnya pendek tetapi spektakuler, menunjukkan bagaimana pesona dirinya dapat menaklukkan hati penonton di seluruh dunia. Walaupun interpretasi Kelly terhadap karakter Tracy Samantha Lord tidak dapat mengalahkan interpretasi Katharine Hepburn terhadap karakter tersebut, Kelly nonetheless berhasil memerankan Tracy dengan meyakinkan (tampil lovely, sekaligus icy). High Society adalah film terakhir Kelly sebelum dia menikah dengan Pangeran Rainier dari Monaco dan mengundurkan diri dari dunia perfilman.

Dari segi arahan, sutradara Charles Walters menjaga semuanya "low-key". Dan dengan musik dan lirik yang super indah dan para aktor/penyanyi yang super prima, mereke justru tampil bersinar dan cemerlang, sedemikian rupa sehingga tidak ada sesuatupun yang terasa kurang. Well done.

Untuk penulis, nonton High Society adalah seperti minum susu coklat panas di malam yang dingin.

Ketika filmnya berakhir, tiba-2 hati menjadi sedih, karena tidak ingin berpisah ... please, don't end ...

* 7.8/10


High Society dapat anda temukan di eBay.com

Wednesday, 13 June 2012

The Philadelphia Story

Resensi Film: The Philadelphia Story (9.0/10)

Tahun Keluar: 1940
Negara Asal: USA
Sutradara: George Cukor
Cast: Cary Grant, Katharine Hepburn, James Stewart

Plot: Ketika reporter majalah gosip muncul sehari sebelum hari perkawinan (kedua)-nya, Tracy Samantha Lord terpaksa menjalani "crash course" tentang masa lalu dengan bekas suaminya, ketidakharmonisan hubungan dengan ayahnya, dan ... menemukan siapa dirinya, the truth about herself! (IMDb)

Adaptasi dari teater Broadway dengan judul yang sama karya Philip Barry, film ini adalah film yang menjadi inspirasi bagi film musical High Society (1956). Sebelum membicarakan film remake yang merupakan sukses komersial tersebut, penulis ingin menampilkan beberapa point menarik dari film aslinya yang membuatnya pantas terpilih masuk dalam klasifikasi "culturally, historically, or aesthetically significant" dalam United States National Film Registry pada tahun 1995.

Siapa lagi yang paling cocok membawakan film dengan pesan sosial dan feminis yang penting pada jamannya selain Katharine Hepburn?! Bahkan seandainya Hepburn tidak akting-pun, dia dapat membawakan perannya dengan menyakinkan, karena Tracy Samantha Lord sedikit banyak cocok dengan kepribadiannya. Apa inti cerita dalam film ini? Ada dua tema pokok yang mendasari ceritanya. Pertama, ada era dimana moral sangat dijunjung tinggi, dan pada saat yang sama standard ganda - dalam kasus ini, antara pria dan wanita - juga tumbuh subur. Bukankah ini sesuatu yang universal, sesuatu yang kita kenal?! Dikotomi ini menimbulkan potensi konflik yang hebat. Melihat dari kacamata modern (apakah kita sudah modern?), terasa janggal melihat Tracy Samantha perlu/harus membela diri -- menjelaskan mengapa dia tidak menyukai ayahnya yang berselingkuh dengan wanita lain. Lebih janggal lagi melihat ibunya -- yang notabene adalah pihak yang disakiti atau dirugikan, memohon kepada Tracy untuk tidak bersikap terlalu keras terhadap ayahnya, seakan-2 memaklumi tindakan philandering suaminya, dan to a certain extent ... menyalahkan dirinya sendiri (:-() Dan yang paling janggal adalah melihat ayahnya yang bersikap apologetic terhadap perselingkuhan tersebut -- menjelaskannya sebagai tindakan normal seorang pria yang menolak menjadi tua (quote dari dialog dalam film: "A reluctance to grow old."). Menyaksikan adegan ini, penulis setuju: ya, memang betul, ada era dimana moral sangat dijunjung tinggi, tetapi bigotry juga tumbuh subur. Tidak salah kalau Tracy "going nuts" gara-2 ini ... :-) Dan Hepburn membawakan perannya dengan meyakinkan, flawless: tajam, sarkastik, tetapi sesuai dengan jamannya. Tema kedua yang berjalan paralel mendasari cerita dalam film ini adalah prejudice. Walaupun Tracy adalah heroine dalam film ini, dia bukan heroine yang tanpa kelemahan, karena dia terlalu cepat menghakimi orang (prejudice) -- sebagai wanita yang pandai dan independen, dia sering terlalu cepat "melangkah". Sebanyak apapun dukungan penonton untuk Tracy, dia terlalu cepat menghakimi ayahnya (yang philanderer), bekas suaminya (yang alkoholik), dan reporter majalah gosip (yang berasal dari kelas sosial lebih rendah). Tetapi Tracy tidak sendirian dalam hal ini, karena sang reporter (James Stewart) dan fotografer-nya (Ruth Hussey) juga mempunyai prejudice terhadap orang kaya: "Oh, orang kaya itu modelnya pasti seperti bla, bla, bla ..." :-) Dari sini muncul satu tema suplemen yang menambah kekompleksan ceritanya, yaitu tentang kelas-2 sosial, bagaimana satu kelas sosial memandang kelas sosial yang lain, apakah orang yang "naik kelas" kemudian berubah menjadi seperti orang dari kelas tujuan atau tetap seperti orang dari kelas asalnya. Di sinilah letak keindahan cerita dari Philip Barry dan keunggulan script dari Donald Ogden Stewart ini: kompleks, riel, dan tajam. Walaupun menerima first billing, Cary Grant kurang bersinar dalam perannya sebagai bekas suami Tracy, C.K. Dexter Haven, kecuali dengan namanya yang nyentrik tersebut. Walaupun Grant memperoleh bagiannya dalam dialog yang tajam dan sarkastik, pembawaannya terkesan straightforward. Dan mungkin efek yang tidak disangka, justru Stewart sebagai reporter, Macaulay Connor, dan Hussey sebagai fotografer, Elizabeth Imbrie, yang berhasil bersinar dan mencuri sebagian perhatian penonton dari Hepburn. Stewart berhasil mencuri tempat Grant tersebut, dan sekaligus mencuri Oscar untuk Aktor Terbaik, dengan pembawaannya yang komik dan Hussey berhasil menyabet nominasi Oscar untuk Aktres Pendukung Terbaik dengan pembawaannya yang pragmatis. Sutradara George Cukor (24 tahun kemudian mengarahkan film dengan kekompleksan psyche yang sama, My Fair Lady), sangat teliti dalam menempatkan kamera pada saat-2 yang tepat untuk menangkap ekspresi wajah karakter-2nya, meng-accentuate point-2 penting dalam scriptnya.

Walaupun situasi sosial sudah sangat berubah dari ketika film ini dibuat, The Philadelphia Story tetap merupakan timeless comedy dan kita tetap dapat menarik banyak pelajaran dari film ini.

* 9.0/10


The Philadelphia Story dapat anda temukan di eBay.com