Resensi Film: The Bridge on the River Kwai (9.0/10)
Tahun Keluar: 1957
Negara Asal: UK, USA
Sutradara: David Lean
Cast: William Holden, Alec Guinness, Jack Hawkins, Sessue Hayakawa
Plot: Setelah melalui standoff yang alot dengan komandan kamp tawanan perang Jepang, seorang kolonel Inggris akhirnya bersedia memimpin pasukannya untuk membangun jembatan untuk penangkapnya -- tidak mengetahui komando atasannya mempunyai rencana untuk menghancurkan jembatan tersebut (IMDb).
The Bridge on the River Kwai adalah salah satu dari sedikit saja film-2 perang yang meninggalkan kesan khusus dalam memori penulis. Salah satu penyebabnya adalah David Lean. Well, bukan gara-2 David Lean orangnya; tetapi gara-2 David Lean kepandaiannya, yaitu kepandaiannya dalam menampilkan kepribadian sebuah karakter, sedemikian rupa sehingga penonton dapat melihat keunikannya -- kekuatannya, juga kelemahannya; kehebatannya, juga ke-"aneh"-annya. Lean khususnya pandai menangani karakter-2 yang kita nilai sebagai "eksentrik" -- yang kalau kita teliti lebih lanjut, bukan eksentrik dalam arti clinically insane, tetapi lebih karena idealismenya atau integritasnya. Mungkin kalau di Indonesia ada pejabat yang tidak suka korupsi, teman-2nya akan menjulukinya sebagai orang "eksentrik" -- padahal yang dimaksud sebagai "eksentrik" di sini adalah orang yang idealis atau punya integritas. Lean selalu berhasil menampilkan paradoks yang menarik ini: orang eksentrik ternyata adalah orang idealis.
Walaupun William Holden memperoleh first billing (gara-2 alasan pemasaran, yaitu bintang utamanya harus aktor Amerika), bintang sesungguhnya dalam film ini adalah Alec Guinness, aktor Inggris, yang memerankan sebagai Colonel Nicholson. Tertangkap sebagai tawanan perang Jepang dan dimasukkan kamp romusha (kerja paksa) di hutan belantara terpencil di Burma, Nicholson tidak pernah lupa perannya sebagai pemimpin dari pasukannya. Dia selalu mengingatkan bawahannya bahwa walaupun mereka adalah tawanan perang Jepang, mereka tidak berada di bawah perintah Jepang, tetapi tetap berada di bawah perintahnya. Demikianlah aturan Konvensi Jenewa dan aturan ini dipegang teguh oleh Nicholson. Maka ketika komandan kamp romusha, Colonel Saito (Sessue Hayakawa), memerintahkan para perwira Inggris untuk bekerja berdampingan dengan bawahannya, maksudnya sama-2 menjadi kuli dan komando dipegang oleh para perwira Jepang, Nicholson menolak mentah-2 perintah tersebut seraya menunjukkan aturan dalam buku kecil Konvensi Jenewa tersebut :-) Kontan saja perlawanan Nicholson ini ditanggapi secara frontal oleh Saito yang sama-2 keras kepalanya! Tidak mau mundur sedikitpun, Nicholson dihadapkan ke grup tembak yang siap memberondongkan senjata otomatisnya. Tetap tidak mau menyerah, Nicholson dijemur di bawah terik matahari sampai teler, kemudian dimasukkan ke dalam "oven" (gubuk kecil terbuat dari seng) sampai berhari-2. Scene pasukannya menyaksikan komandannya dihukum di dalam "oven", kemudian mereka menyanyi "For He's a Jolly Good Fellow" untuk memberi semangat betul-2 mengharukan. Sementara itu, para perwira Jepang mengambil alih kepemimpinan atas pasukan Nicholson dan memerintahkan mereka untuk membangun jembatan rel kereta api yang bakal menghubungkan Bangkok dan Rangoon. Tetapi spirit/morale mereka sangat rendah -- mereka kerja ogah-2an, tidak terkoordinir, banyak yang sakit, banyak yang cedera -- dan semakin mereka ditekan, semakin mereka gak karu-2an. Akhirnya, proyek pembangunan jembatan tersebut tidak berhasil mencapai target. Saito menyadari kalau dia sampai gagal menyelesaikan proyek tersebut, dia harus "mengundurkan diri", maksudnya seppuku atau bunuh diri. Di lain pihak, tidak berhasil "mematahkan" Nicholson, jiwa atau raganya, dengan ancaman, hukuman, intimidasi, dan lain sebagainya, Saito kemudian mencoba dengan suap atau sogok ... ternyata tidak berhasil juga! :-) Akhirnya, Saito menyerah ... ya, Nicholson boleh memimpin pasukannya dan para perwira Inggris boleh melakukan fungsinya sebagai pemimpin. Scene Nicholson keluar dari kantor Saito seraya berjalan terseok-2 setelah entah berapa hari berada di dalam "oven" dan disambut dengan gegap gempita oleh pasukannya betul-2 membangkitkan perasaan euphoria setinggi langit (padahal penulis bukan orang Inggris dan tidak mempunyai patriotisme terhadap Inggris) ... dan sekali lagi mereka menyanyikan "For He's a Jolly Good Fellow." Untuk penulis, scene ini adalah scene kemenangan idealisme! Dan David Lean tidak stop short di sini saja, karena dalam scene berikutnya Lean menampilkan Saito duduk menangis histeris sendirian di dalam kamarnya. Dan dari euphoria atas kemenangan Nicholson, perasaan langsung berubah menjadi simpati terhadap Saito. The Bridge on the River Kwai tercatat dalam sejarah perfilman sebagai salah satu dari sedikit saja film-2 perang yang menggambarkan Jepang secara obyektif atau berimbang.
Melihat spirit/morale pasukannya yang sangat rendah dan mengetahui tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri (kemungkinannya 1 dalam 100), Nicholson memutuskan untuk bekerja secara kooperatif dengan penangkapnya. Dia bahkan memutuskan untuk membangun jembatan tersebut secara serius dan sungguh-2. Keputusan ini mengherankan para perwiranya: "Mengapa membangun jembatan secara serius dan sungguh-2?", "Tidakkah lebih baik membangun yang jelek-2 saja, khan Jepang itu musuh?" -- point yang valid dan masuk akal. Tetapi kemudian keluar "keeksentrikan" Nicholson :-) ... dia menjawab, kira-2 begini: "Perang ini bakal selesai, entah kapan ... tetapi bakal selesai, tetapi tempat ini akan ada di sini selamanya. Mengapa tidak membangun jembatan dengan kualitas yang tinggi, yang bisa bertahan sampai puluhan tahun? Dan jembatan ini akan dikenang selamanya sebagai hasil karya pasukan Inggris yang bekerja tidak sebagai budak, tetapi sebagai orang yang mempunyai kebebasan." Mendengar jawaban ini, para perwiranya melongo ... (penulis juga melongo :-)). Satu perwiranya yang insinyur kemudian mengatakan dia menemukan pohon yang kayunya mirip seperti kayu yang digunakan untuk London Bridge di London, dan jembatan tersebut usianya sudah 600 tahun! Nicholson menjawab dengan senyum simpul, "Kalau begitu, mengapa tidak membangun jembatan yang usianya bisa selama itu?!" Sejak itu, spirit/morale pasukannya sedikit demi sedikit naik, mereka happy, Jepang-nya juga happy, kondisi kamp lebih friendly, pihak Inggris boleh mengatur sendiri kamp-nya. Scene-2 dalam babak kedua ini betul-2 uplifting ... "larger than life".
Tetapi David Lean tidak selamanya terbuai dalam idealisme, karena realisme, suka atau tidak suka, datang tanpa permisi. William Holden yang memerankan sebagai Commodore Shears adalah representasi dari realisme. Tanpa mengungkapkan semua plot agar tidak merusak selera mereka yang belum nonton film ini, penulis menilai bahwa babak pertama (standoff antara Nicholson dan Saito) dan babak kedua (Nicholson dan pasukannya membangun jembatan) adalah bagian terbaik dalam film ini. Babak ketiga, Shears dan komando Inggris menyusun rencana untuk menghancurkan jembatan tersebut, terasa "istirahat" atau "tarik nafas" ... dimana studio Columbia memasukkan elemen-2 "pemanis" khas Hollywood, misalnya Shears berpacaran dengan seorang prajurit wanita, dll. Beruntungnya, babak keempat atau terakhir, Shears dan komando Inggris semakin mendekati jembatan tersebut, temponya naik lagi. Dan diakhiri dengan klimaks yang mencekam, ketika Nicholson harus berhadapan dengan realitas, dan realitas yang bakal menghancurkan idealismenya.
"What have I done? What have I done?" demikianlah teriak Nicholson.
Pertanyaan Nicholson ini meninggalkan perasaan bimbang (unsettled) dalam hati penulis.
The Bridge on the River Kwai menerima 8 nominasi Oscar dan memenangkan 7 darinya:
- Film Terbaik
- Sutradara Terbaik (David Lean)
- Script Adaptasi Terbaik (penulis bukunya adalah penulis yang sama dari "Planet of the Apes")
- Aktor Terbaik (Alec Guinness)
- Aktor Pendukung Terbaik (Sessue Hayakawa -- sayang dia "dilompati" oleh aktor Amerika)
- Editing Terbaik
- Cinematografi Terbaik
- Musical Score Terbaik
Last, but not least, musical score ... ya, musical score film ini adalah salah satu dari musical score-2 paling terkenal dalam sejarah perfilman. Walaupun anda mungkin belum pernah menonton film ini, saya jamin anda sudah pernah mendengar musical score-nya. Mengiringi pasukan Nicholson berjalan masuk ke kamp romusha, sequence pembuka film ini juga menjadi salah satu dari sequence-2 pembuka paling terkenal dalam sejarah perfilman.
Dalam waktu sepuluh tahun kemudian, David Lean mengulangi lagi kesuksesannya dalam menangani karakter-2 yang "eksentrik" dalam dua film klasiknya, Lawrence of Arabia (1962) dan Doctor Zhivago (1965).
* 9.0/10