Wednesday, 18 February 2015

Gone Girl

OSCAR WATCH 2015

GONE GIRL (7.0/10)


Negara Asal: Amerika Serikat
Sutradara: David Fincher
Script Adaptasi: Gillian Flynn
Cast: Ben Affleck, Rosamund Pike, Neil Patrick Harris, Tyler Perry, Carrie Coon
Sinematografi: Jeff Cronenweth



Adaptasi dari novel dengan judul yang sama, terbitan tahun 2012, film ini mungkin lebih populer di kalangan generasi muda daripada generasi setengah umur, sudah banyak makan asam garam, seperti penulis. Film ini bagaikan “patchwork” (jahitan kain perca) dengan desain atau pola yang dipas-2kan antara Sleeping with the Enemy (1991), Basic Instinc (1992), dan dilatarbelakangi dengan media sosial yang kental.

Cerita dimulai dengan Nick (Ben Affleck) pulang ke rumah dan menemukan kamar tamunya berantakan seperti dibobol maling dan istrinya, Amy (Rosamund Pike), lenyap tak berbekas. Sementara polisi melakukan penyelidikan, Nick menceritakan bahwa istrinya adalah wanita yang sulit dan keras kepala, dan script bergerak flashback dengan Amy menceritakan bahwa suaminya adalah pria yang abusive/suka memukul istri. Sementara penonton terombang-ambing antara mempercayai Nick atau mempercayai Amy, media sosial -- bagaikan ikan hiu mencium bau darah -- dengan cepat menyebar berita ini dan opini publik dengan cepat pula terbentuk, menuding Nick sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas lenyapnya istrinya. Pada titik ini walaupun bimbang penulis masih bersimpati pada Nick (dia mungkin memang abusive, tetapi tidak sengaja membunuh istrinya) dan pada Amy (kasihan sering dipukul suaminya). Di tengah film, cerita kemudian bergerak ke sisi orang ketiga dan menunjukkan bahwa Nick dan Amy, keduanya tidak bisa dipercaya! What?! Dari titik ini penulis langsung kehilangan interest karena merasa dipermainkan oleh cerita yang ada. Sudah capek-2 mikiri mereka, sudah capek-2 menaruh simpati, eeeh ... jebulane keduanya bohong! Seakan-2 cerita yang disajikan sejauh ini tidak ada gunanya untuk disimak.


Namun demikian, penulis tetap meneruskan menonton film ini, tetapi dengan penilaian yang lebih kritis. Dari awal Ben Affleck tampil tidak meyakinkan sebagai Nick: tidak menyakinkan sebagai lover, tidak meyakinkan sebagai abuser -- mengkonfirmasi bahwa Affleck sebaiknya jadi sutradara atau produser saja, jangan jadi aktor walaupun dia memiliki wajah tampan. Karakter Amy sama sekali tidak realistis: cantik, kaya, terkenal, berasal dari keluarga bahagia, tetapi ... psycho! -- bagaimana penjelasannya, tidak ada penjelasannya. Karakter Catherine Tramell dalam Basic Instinc masih lebih dapat dipercaya dan diterima. Rosamund Pike, yang biasanya memainkan peran good girl, memang tampil berbeda di sini, tetapi sama sekali tidak lebih hebat daripada Sharon Stone dalam Basic Instinc -- dan penulis tidak ingat Sharon Stone menerima nominasi Oscar untuk perannya dalam Basic Instinc. So, mengapa Pike menerima nominasi Oscar di sini, penulis tidak mengerti, apalagi dari film yang notabene “full of holes”. Sedang karakter pendukung Desi (Neil Patrick Harris), bekas kekasih Amy, begitu single-dimensional-nya bagaikan tercipta untuk opera sabun: tampan, kaya, berpengaruh, sekaligus pengertian -- atau naif (?), berkorban, dan ... murah hati -- atau bodoh (?). Betul-2 simplistik, sama sekali tidak realistis.

Moga-2 Academy tidak melakukan blunder dalam memutuskan siapa yang terbaik untuk kategori Aktres Terbaik.

Nominasi Oscar 2015:
⦁    Aktres Terbaik (Rosamund Pike)



Gone Girl dapat anda temukan di eBay.com

Thursday, 12 February 2015

Foxcatcher

OSCAR WATCH 2015

FOXCATCHER (7.8/10)

Negara Asal: Amerika Serikat
Sutradara: Bennett Miller
Script Original: E. Max Frye, Dan Futterman
Cast: Steve Carell, Channing Tatum, Mark Ruffalo, Sienna Miller, Vanessa Redgrave
Sinematografi: Greig Fraser


Berdasarkan kisah nyata tentang keterlibatan milyarder John du Pont, salah satu pewaris keluarga konglomerat Du Pont, dengan tim pegulat nasional AS menjelang Olimpiade Seoul tahun 1988 yang silam, ceritanya sesungguhnya sangat menarik. Tidak dengan cepat masuk ke inti konfliknya, ceritanya terasa “slow burning”; tetapi ini mungkin disengaja karena ceritanya disampaikan dari kacamata peran-2 pendukung. Efeknya, menuju akhir cerita, berada pada posisi yang sama dengan peran-2 pendukung tersebut, penonton akhirnya mengerti dan sekaligus shock/terkejut atas semua peristiwa yang berlangsung: Oooh, itu toh motivasi milyarder ini!?!

Setelah memenangkan medali emas untuk olahraga gulat di Olimpiade Los Angeles tahun 1984, Mark Schultz (Channing Tatum) didekati milyarder John du Pont (Steve Carell) untuk pindah ke fasilitas training pribadinya yang bernama Foxcatcher. Rencananya, Du Pont akan membentuk tim pegulat nasional yang akan dipersiapkan untuk turnamen-2 internasional. Du Pont juga mendesak Mark untuk mengajak kakaknya, Dave (Mark Ruffalo), juga pemegang medali emas di Olimpiade Los Angeles, pindah ke Foxcatcher. Mark menerima tawaran tersebut, tetapi Dave menolak karena walaupun bayarannya besar, tawaran tersebut terasa “aneh” -- mengapa seorang milyarder tertarik dengan kegiatan seperti ini? What's in it for him? Apalagi keluarganya sudah senang dengan tempat tinggal yang ada. Du Pont berulang-kali meyakinkan Mark bahwa dia tidak punya maksud buruk apapun selain nasionalisme dan patriotisme terhadap AS. Kagum dengan status dan kekayaan Du Pont, Mark pindah ke Foxcatcher sendirian dan menjalin persahabatan dengan Du Pont. Mula-2 berprestasi dengan menjuarai World Wrestling Championships pada tahun 1987, pretasinya mulai menurun ketika Du Pont memperkenalkannya ke narkotika. Melihat prestasinya menurun, Du Pont mengasari dan mengancam Mark untuk segera memanggil Dave datang ke Foxcacther. Du Pont akhirnya turun tangan sendiri, entah apa yang dia tawarkan ke Dave, dan Dave akhirnya pindah ke Foxcatcher. Di bawah bimbingan Dave, prestasi Mark berangsur-2 pulih kembali. Tetapi Mark kemudian memberitahu Dave bahwa dia akan pergi dari Foxcacther setelah Olimpiade Seoul selesai. Ganti Dave yang tidak mengerti: mengapa adiknya sekarang ingin meninggalkan Foxcatcher??




Apa motivasi John du Pont?
Mengapa seorang milyarder pabrik senjata tertarik dengan kegiatan seperti ini?






Jean du Pont (Vanessa Redgrave, seorang aktres kawakan), yang berperan sebagai ibu John, walaupun hanya tampil dalam beberapa scene saja (dan duduk di kursi roda!), berhasil dengan sangat efektif menunjukkan snobbishness/keangkuhan dari kelas kaya -- well, moga-2 tidak semua orang dari kelas kaya itu snob :-) Melihat dia, penonton menjadi simpati terhadap John. Sayangnya, latar belakang hubungan antara ibu dan anak laki-2nya ini kurang diulas dalam script-nya, padahal bagian ini penting sekali -- faktor penting yang membuat John menjadi seperti ini. Alfred Hitchcock would love this kind of mother :-) Steve Carell, dengan makeup yang flawless/tanpa cacat, penulis tidak yakin apakah dia berakting atau hanya bersembunyi di balik makeup-nya. Hampir di seluruh film Carell tampak tidak comfortable di balik “topeng” tersebut. Channing Tatum, berjalan seperti orang yang baru disunat, dengan mudah menjadi titik lemah dalam film ini. Beruntung sekali ada Mark Ruffalo. Ruffalo juga perlu menggunakan make-up, tetapi dia comfortable di baliknya. Tidak seperti Carell yang bersembunyi di balik makeup-nya, Ruffalo tetap berakting secara natural. Betul-2 nominasi yang pantas untuk Ruffalo. I like Mark Ruffalo. Tetapi sayang, tahun ini adalah tahunnya J. K. Simmons :-)

Cerita yang sangat menarik.

But, it could have been better.

Nominasi Oscar 2015:
  • Sutradara Terbaik (Bennett Miller)
  • Aktor Terbaik (Steve Carell)
  • Aktor Pendukung Terbaik (Mark Ruffalo)
  • Script Original Terbaik (E. Max Frye, Dan Futterman)
  • Makeup & Hairstyling Terbaik



Foxcatcher dapat anda temukan di eBay.com

Sunday, 8 February 2015

Leviathan

OSCAR WATCH 2015

LEVIATHAN (Левиафан) (8.5/10)

Negara Asal: Rusia
Sutradara: Andrey Zvyagintsev
Script Original: Andrey Zvyagintsev, Oleg Negin
Cast: Aleksey Serebryakov, Roman Madyanov, Vladimir Vdovichenkov, Elena Lyadova, Sergey Pokhodaev
Sinematografi: Mikhail Krichman


Kalau anda menyukai Ingmar Bergman's The Seventh Seal (1957), anda akan menyukai film ini. Mengetengahkan topik yang serius, berat, dan tidak populer, tidak mengherankan kalau tidak ada filmmaker di Hollywood yang berani mengadaptasi cerita Ayub ke dalam film, apalagi menyesuaikan isinya (the moral of the story) dengan kehidupan nyata jaman sekarang -- Hollywood beraninya cuma mengangkat cerita-2 yang “menarik”, yang mengandung adventure atau action, yang umumnya dikemas dalam period drama sehingga nyaris tidak ada korelasinya dengan kehidupan nyata sehari-2. Sebagai contoh, cerita Musa (filmnya baru main, penontonnya sudah nungguin Musa membelah Laut Merah -- populer sekali cerita Musa ini), cerita Nuh (penonton nungguin air bah), cerita Sodom dan Gomorah (penonton nungguin penghancuran dua kota ini), cerita Samson dan Delilah (ada action-nya, ada romance-nya, klop sudah), atau yang santer digosipkan bakal diproduksi, cerita Yunus (yang ini bahkan filmnya belum dibuat, penontonnya sudah nungguin Yunus ditelan ikan paus :-) ). Maka, tidak ada filmmaker di Hollywood yang berani menyentuh cerita Ayub. Siapa yang ingin nonton film tentang orang yang nasibnya malang? Well, I do!

Beruntung sekali ada filmmaker Rusia. Mempertimbangkan literatur Rusia yang sarat dengan nuansa tragedi yang siap menerkam lakon-2nya, tidak mengherankan kalau filmmaker Andrey Zvyagintsev dengan such finesse (skillful handling) menampilkan cerita tragedi Ayub ini tanpa perlu embel-2 pemanis atau sentimentalisme untuk menutupi rasa pahitnya -- suatu keahlian yang hampir mustahil muncul dari filmmaker Hollywood.


Bersetting di sebuah kota kecil di pinggir laut di bagian utara Rusia, film mengikuti perjalanan lakon utamanya, Kolya (Aleksey Serebryakov), seorang nelayan tua yang sederhana dan temperamental, ketika dia bermasalah dengan Vadim (Roman Madyanov), walikota kota tersebut, yang ingin menggusurnya dari propertinya yang terletak di pinggir pantai. Dibantu oleh teman lamanya, Dmitri (Vladimir Vdovichenko), yang sekarang menjadi pengacara di Moscow, Kolya berusaha melawan penggusuran tersebut melalui pengadilan -- tidak mengetahui pengadilan di kota tersebut sudah dibeli oleh sang walikota. Sementara itu Kolya juga menghadapi masalah pribadi yang lain: istri mudanya, Lilya (Elena Lyadova -- she is beautiful), tidak happy, dan anak remajanya, Roma (Sergey Pokhodaev), tidak cocok dengan ibu tirinya. Dmitri mula-2 berusaha melawan korupsi yang terjadi melalui jalur hukum -- tetapi ternyata seluruh aparat hukum di kota tersebut juga sudah dibeli oleh sang walikota. Sejak itu Kolya dirundung serangkaian “nasib malang” sampai akhirnya dia kehilangan semuanya: teman-2nya, istrinya, anaknya, rumahnya, dan akhirnya kebebasannya.

Pertama kali menonton film ini penulis tidak menangkap subteks yang ditampilkan -- penulis bahkan merasa marah dan muak melihat situasi yang terjadi: Menggunakan ayat-2 Kitab Suci untuk men-justify “nasib malang” yang notabene berasal dari manusia sendiri? Walikota yang tingkah-lakunya seperti Godfather mafia. Polisi yang korup. Istri yang tidak setia (atau khilaf ya?). Teman-2 yang menikam dari belakang. Dan yang paling mengecewakan, Uskup Gereja yang sikapnya tidak kalah buruknya daripada sang walikota (I want to smash his face! :-( ). Film ini betul-2 mengusik sense of justice: Where is justice? Atau seperti yang ditanyakan Kolya: “Where is the merciful God?

Kedua kalinya menonton, yes, I got it! Pertanyaan penulis di atas tiba-2 berubah menjadi pernyataan: Menggunakan ayat-2 Kitab Suci untuk men-justify “nasib malang” yang notabene berasal dari manusia sendiri. Ayat-2 tersebut bukanlah tentang Sang Pencipta yang menghukum manusia, tetapi manusia yang mendatangkan kesengsaraan untuk sesamanya. Shot-2 landscape tanpa gerak dan tanpa suara dari Zvyagintsev dan sinematografer Mikhail Krichman, berlatar belakang alam Rusia yang indah dan megah, seakan-2 menggambarkan ketidak-bertindakan dan ketidak-bersuaraan Sang Pencipta yang maha besar menyaksikan tragedi yang terjadi.

Where is the merciful God?

Silence, silence, silence.

Karena yang bisa menjawab adalah manusia.

Excellent film.

A Russian epic!

Nominasi Oscar 2015:
  • Film Berbahasa Asing (Bukan Inggris) Terbaik



Leviathan dapat anda temukan di eBay.com

Saturday, 7 February 2015

American Sniper

OSCAR WATCH 2015

AMERICAN SNIPER (7.5/10)

Negara Asal: Amerika Serikat
Sutradara: Clint Eastwood
Script Adaptasi: Jason Hall
Cast: Bradley Cooper, Sienna Miller, Kyle Gallner
Sinematografi: Tom Stern


Satu hal yang perlu kita ketahui adalah Hollywood dari dulu mencintai Clint Eastwood dan sekarang Bradley Cooper juga. Oscar tahun ini adalah nominasi ke 5 untuk Eastwood sebagai sutradara -- sudah 2 kali memenangkannya, yaitu untuk Unforgiven (1992) dan Million Dollar Baby (2004); dan nominasi ke 3 untuk Cooper sebagai aktor -- belum pernah memenangkannya, tetapi dinominasi 3 tahun berturut-2!, yaitu untuk Silver Lining Playbook (2013), American Hustle (2014), dan film ini -- sebuah prestasi yang luar biasa untuk aktor yang sebelumnya ter-typecasted dalam film-2 romcom seperti The Hangover, All About Steve, atau Valentine's Day.

Berdasarkan kisah nyata, prajurit Navy SEALs, Chris Kyle (Bradley Cooper), yang tercatat sebagai sniper paling jitu dalam sejarah militer AS, film ini secara keseluruhan tidaklah buruk, tetapi juga tidak istimewa. Berada di tengah-2 film-2 kecil/independen yang masuk daftar nominasi Film Terbaik dalam Oscar tahun ini; berada di antara hero-2 dari kaum awam, artis, musisi, ilmuwan, dan aktivis sosial/penerima Nobel Perdamaian; film ini terasa misplaced, lost, atau kesasar. Berada di antara teknik-2 arahan yang inovatif yang disodorkan film-2 independen tersebut, dan cerita-2 yang dengan berani dan jujur menampilkan kemanusiaan tokoh-2nya, penulis bagaikan tersambar petir, menyadari betapa FORMULAIC-nya film ini. “Formula” blockbuster Hollywood terasa kental dalam film ini: action di sana-sini, hero yang heroik, cerita yang single-sided dan predictable, sub-plot cinta yang generik, tantangan/konflik yang sudah umum, dan percikan sentimentalisme di akhir cerita.


Clint Eastwood sesungguhnya bukan sutradara yang suka bereksperimen dengan teknik-2 arahan yang baru atau inovatif, sedang Bradley Cooper ... kalau aktingnya di sini dianggap istimewa (mungkin karena dia harus menambah berat badan untuk memainkan perannya -- memangnya seberapa sulit sich menambah berat badan??? :-) ), maka Harisson Ford, jagonya action/thriller, semestinya sudah menerima nominasi 2 kali lebih banyak daripada Cooper.

Tidak mengurangi respek terhadap prestasi Eastwood dan Cooper selama ini, moga-2 Academy tidak melakukan blunder dalam memutuskan siapa yang terbaik untuk kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik, dan Script Adaptasi Terbaik.

Nominasi Oscar 2015:
  • Film Terbaik
  • Aktor Terbaik (Bradley Cooper)
  • Script Adaptasi Terbaik (Jason Hall)
  • Editing Terbaik
  • Sound Editing Terbaik
  • Sound Mixing Terbaik



American Sniper dapat anda temukan di eBay.com

Thursday, 5 February 2015

Selma

OSCAR WATCH 2015

SELMA (8.0/10)

Negara Asal: Amerika Serikat
Sutradara: Ava DuVernay
Script Original: Paul Webb
Cast: David Oyelowo, Tom Wilkinson, Tim Roth, Carmen Ejogo
Sinematografi: Bradford Young


Review ringkas paling pas untuk menjelaskan mengapa film ini sedemikian underrated dan ke-snubbed/keloncatan dalam nominasi-2 Oscar tahun ini adalah: 12 Years a Slave “stole this film’s thunder” :-) -- seperti sebuah pertunjukkan, gara-2 satu atraksi sudah menghabiskan perhatian dan tepuk tangan penonton, atraksi yang lain menjadi tidak kebagian apa-2.

Film kecil karya sutradara pendatang baru, Ava DuVernay, ini adalah reenactment dari pawai protes, dipimpin oleh Martin Luther King, Jr., untuk menuntut hak pemilihan suara bagi warga kulit hitam di AS, dari kota kecil Selma di negara bagian Alabama ke ibu kota Montgomery. Film ini memperlakukan ceritanya dengan sangat serius, namun demikian berhasil dengan sangat baik menghindari sosok Dr. King sebagai legenda yang hanya bisa kita kagumi saja, tetapi justru menampilkannya sebagai manusia yang dekat dengan kehidupan sehari-2, yang sikap dan tindakannya tidak memerlukan heroisme tinggi -- Dr. King juga menyimpan ketakutan dan keraguan, dan mengakui bahwa dirinya membutuhkan bantuan orang lain -- tetapi tetap menjadi manusia yang baik, yang kita semua bisa mencapainya. Hasilnya, mengesankan tetapi tidak menggurui. Gaya arahan DuVernay di sini mengingatkan penulis pada gaya arahan Kathryn Bigelow (The Hurt Locker, Zero Dark Thirty): fakta dan prosedur, dan tidak ada embel-2 sentimentalisme. Sayang sekali DuVernay keloncatan dalam nominasi Sutradara Terbaik, tetapi okay-lah masih bisa dimaklumi.

Script-nya dengan cermat menangkap esensi karakter utama ini dan aktor Inggris berdarah Nigeria, David Oyelowo, dengan cemerlang menjelma menjadi Dr. King -- suara dan gaya bicaranya (berapi-2 tetapi rada gemetaran karena perasaan takut juga), posturnya, dan dengan menjiwai menampilkan perasaannya (berharap, kecewa, ragu-2, takut, miris, ndak tega), kelemahannya, dan terutama simpatinya terhadap sesama manusia. Sayang sekali Oyelowo keloncatan dalam nominasi Aktor Terbaik -- hmmm, sorry, Bradley Cooper semestinya tidak masuk dalam nominasi tersebut. Bahkan dibandingkan dengan Chiwetel Ejiofor dalam 12 Years a Slave, akting Oyelowo di sini jauh lebih menjiwai.

All in all, Selma adalah film kecil yang sangat pantas mewakili penggalan kecil dari perjuangan panjang Dr. King.

Penulis melihat masa depan yang cemerlang untuk DuVernay dan Oyelowo.

Nominasi Oscar 2015:
  • Film Terbaik
  • Lagu Terbaik untuk “Glory” (musik dan lirik oleh John Legend, Common; dinyanyikan oleh John Legend, Common)



Selma dapat anda temukan di eBay.com