The Great Beauty (La Grande Bellezza) (8.0/10)
Negara Asal: Italia
Sutradara: Paolo Sorrentino
Script: Paolo Sorrentino, Umberto Contarello
Cast: Toni Servillo, Carlo Verdone, Sabrina Ferilli, Carlo Buccirosso
La Grande Bellezza: Homage to La Dolce Vita (1960)
Sama sekali tidak mengurangi apresiasi terhadap 9 film yang masuk nominasi Film Terbaik dalam Oscars 2014, penulis akhirnya menemukan satu film yang spesial, unik -- berbeda dari yang lainnya, bahkan yang pernah ada sebelumnya -- which I truly enjoy; apalagi setelah hampir saja tidak memahami isinya, tetapi kemudian ... “Eureka! I got it!”
Jep Gambardella (Toni Servillo), setelah sukses menulis satu novel ketika dia muda, menghabiskan sisa hidupnya menjadi sosialita dan kolumnis di sebuah majalah pop-culture. Jep mengingatkan kita pada Marcello muda (Marcello Mastroianni), jurnalis di sebuah majalah gosip, dalam La Dolce Vita. Sekarang, baru saja merayakan ulangtahunnya ke 65, Jep dapat kita anggap sebagai kelanjutan dari Marcello yang dulu muda tersebut. Kecuali usianya yang bertambah tua, Jep (Marcello) selama ini tidak berubah: tetap menyukai “sweet life” (“la dolce vita”) -- segala kenikmatan fisik dan materi yang dapat dia peroleh (pesta, makan, minum, dansa, dlsb-nya, bahkan apartemen mewah di seberang monumen Colosseum :-)), seraya tetap mencari cinta dan kebahagiaan di segala sudut kota Roma. Tetapi ulangtahunnya kali ini, entah kenapa, meninggalkan perasaan kosong dalam dirinya. Tetapi tidak sampai dia bertemu dengan seorang pria, yang ternyata adalah suami dari bekas kekasihnya (kekasihnya ini meninggalkan Jep), yang memberi kabar bahwa istrinya baru saja meninggal dunia dan menyampaikan pesan bahwa istrinya selama ini tidak pernah berhenti mencintai Jep, Jep mulai merenung dan memeriksa batinnya. Jep seakan-2 terjaga: betapa anehnya, sesuatu yang telah lampau ternyata masih mampu membuat dirinya menangis tersedu-sedan, sementara yang lain yang baru saja lewat malah meninggalkan perasaan kosong dalam dirinya. Mengapa demikian? Dan mulailah sutradara Paolo Sorrentino, melalui visuals dari kameranya, membawa kita masuk ke dalam perjalanan Jep memeriksa batinnya.
Dalam film ini Sorrentino menggunakan teknik Pure Cinema -- “vision & movement” -- untuk menyampaikan cerita yang ada. Walaupun mempunyai dialog, ceritanya tidak terlalu disampaikan melalui dialog-2nya, tetapi lebih banyak melalui “vision & movement” dari kameranya. Pesan penulis, walaupun anda mengikuti dialog yang disampaikan (membaca teks terjemahan di bagian bawah layar), beware, be very careful, hati-2 ... ceritanya justru terletak dalam visuals yang tampil di layar -- so, don't take your eyes off the screen. Kalau dalam La Dolce Vita Otello Martelli menggunakan sinematografi hitam-putih kontras tajam, dalam film ini Luca Bigazzi menggunakan sinematografi warna-2 hangat kontras tajam yang menghasilkan efek yang sama: memperkuat, mempertajam, meningkatkan intensitas visuals yang tampil. Dipadukan dengan gerakan kamera tracking dan panning slow-motion, Sorrentino seakan-2 mengajak penonton untuk menikmati keindahan visuals yang tampil (sekaligus, with all its “ugliness”).
Setiap adegan adalah kejutan, setiap karakter adalah contoh riel/hidup dari pesan yang ingin disampaikan: beauty, ugliness, young, old, spiritual, material, mortality, dan immortality. Sebagian penonton mungkin menilai film ini abstrak atau imajiner, tetapi untuk penulis sama sekali tidak -- it's so real! :-) Wanita kerdil yang menjadi penerbit majalah pop-culture (daripada menulis karya sastra, Jep menyia-2kan bakatnya dengan menulis gosip), klinik Botox yang dokternya memberi injeksi Botox mirip seperti imam memberi komuni (kecantikan lahiriah menjadi seperti agama; kemudian ada biarawati muda yang ikut minta injeksi Botox :-), bukan di wajahnya, tetapi di tangannya :-) ), biarawati tua berusia 104 tahun yang dipanggil “Santa” yang setiap saat bisa jatuh mati -- wajahnya mirip seperti mummy dari museum ... omg, this is so funny :-) (manusia tidak mungkin bisa lepas dari mortality), dan yang lainnya -- sementara gedung-2 kuno/bersejarah tetap berdiri megah dan indah di latar belakang (hanya benda mati saja yang bisa berharap immortality). Begitu lugas dan gamblang. Karena setiap adegan adalah kejutan, masa putar sepanjang 142 menit sama sekali tidak terasa lama. Dan kalau anda tetap duduk di kursi anda ketika credit film berjalan di akhir film, anda akan melihat bagaimana sinematografi di akhir film berubah dari warna-2 hangat kontras tajam menjadi warna-2 natural yang lembut. Jep menemukan The Great Beauty yang sesungguhnya.
Walaupun Toni Servillo menempati first billing (dan dia tampil hampir di setiap scene dalam film ini), kota Roma adalah jiwa dari film ini.
The Great Beauty is Italian cinema at its best!
La Dolce Vita (1960) menerima 4 nominasi Oscar, yaitu: Sutradara Terbaik (Federico Fellini), Script Original Terbaik, Art Direction & Set Decoration B&W Terbaik, dan Costume Design B&W Terbaik (memenangkan Oscar). Anehnya, justru tidak masuk nominasi Film Berbahasa Asing (Bukan-Inggris) Terbaik. Menurut kabar terakhir, Oscars 2014 ini bakal menjadi tahunnya The Great Beauty. Jika benar, maka setelah lebih dari 50 tahun Academy Awards akhirnya memberi homage/tribute kepada La Dolce Vita.
Personally, I truly enjoy this movie ...
Two thumbs up.
Nominasi Oscar 2014:
- Film Berbahasa Asing (Bukan-Inggris) Terbaik
No comments:
Post a Comment