Saturday, 21 July 2012

Lolita

Resensi Film: Lolita (8.5/10)

Tahun Keluar: 1962
Negara Asal: UK
Sutradara: Stanley Kubrick
Cast: James Mason, Shelley Winters, Sue Lyon, Peter Sellers

Plot: Seorang profesor berusia setengah baya jatuh cinta dengan seorang remaja berusia 14 tahun (IMDb).

Ada film-2 yang setiap kali kita menontonnya, kita memperoleh pemahaman tambahan/berbeda daripada ketika terakhir kali kita menontonnya. Film-2 karya Stanley Kubrick banyak yang seperti ini dan Lolita adalah salah satu di antaranya. Penulis sudah beberapa kali menonton film ini; dan setiap kali menontonnya, penulis memperoleh pemahaman tambahan/berbeda daripada ketika terakhir kali menontonnya -- seakan-2 ceritanya sedemikian luasnya sehingga selalu saja ada bagian-2 kecil yang luput dari perhatian atau pemahaman, atau kadang-2 terasa seperti parable yang menyembunyikan cerita sesungguhnya di balik facade yang kasat mata. Stanley Kubrick konon tidak dapat secara bebas mengadaptasi isi novel dengan judul yang sama karya Vladimir Nabokov ini ke dalam layar lebar karena batasan-2 censorship yang ketat saat itu. Mungkin gara-2 ini Kubrick mesti "berkelit" di balik facade yang dapat diterima oleh kode etik perfilman saat itu -- tidak ada adegan erotik, apalagi seks, dalam film ini, semuanya disampaikan secara implisit, namun demikian penonton menyadari sepenuhnya sifat hubungan antara profesor tersebut dan Lolita. Akibatnya, ada perbedaan cukup besar, dari segi plot dan karakterisasi, antara novelnya dan film ini. Despite all this, mungkin justru di sinilah letak keunggulan film ini -- membuatnya bertahan melawan waktu, karena penonton dapat selalu menemukan hal baru setiap kali menontonnya. Penulis belum pernah membaca novelnya, karena itu review ini hanya membahas filmnya saja -- sama sekali tidak ada perbandingan dengan novelnya.

Film drama serius yang dikemas dalam komedi gelap ini dibintangi oleh tiga bintang besar Hollywood pada jamannya, yaitu: James Mason, Shelley Winters, dan Peter Sellers, dan satu pendatang baru, Sue Lyon, yang memainkan 'title role' Lolita. Kesan pertama yang menggelitik dari film ini adalah nama-2 karakternya: 1) Profesor Humbert Humbert. Dengan jabatan profesor dan nama Humbert Humbert (seakan-2 satu Humbert saja tidak cukup :-)), penonton mencium ada sesuatu yang "tidak beres" dengan dirinya -- di balik eksterior yang terhormat, tersimpan interior yang sleazy, disreputable, tidak bermoral. 2) Charlotte dan Dolores Haze. Haze mempunyai arti kabut atau pikiran yang tidak jelas atau bingung. Charlotte adalah nama priyayi, sementara karakternya adalah wanita dari kelas bawah. Sedang Dolores adalah nama seorang wanita suci dari Spanyol -- gabungan Dolores + Haze menimbulkan kesan nama seorang prostitute. 3) Clare Quilty. Clare adalah nama wanita, sementara karakternya adalah pria, menimbulkan kesan foxy, serigala berbulu domba, tidak dapat dipercaya. Pertama kali menonton film ini, penulis menangkap kesan ini, tetapi baru menyadari sepenuhnya setelah beberapa kali menontonnya: nama-2 tersebut adalah summary atau ringkasan dari masing-2 karakternya! So spot on.

James Mason yang selalu tampil suave (smooth & sophisticated) adalah aktor yang tepat memainkan peran Humbert Humbert. Dengan censorship yang ketat saat itu, penampilan Mason berhasil menghindari kesan penonton secara frontal terhadap karakternya sebagai seorang fedofilia*) -- walaupun penonton menyadari sepenuhnya. Selanjutnya, di sepanjang film Mason berhasil menampilkan berbagai warna dari kepribadian karakternya: condescending -- memandang rendah orang dari kelas bawah (terhadap Charlotte, juga terhadap Dolores/Lolita), scheming -- memanipulasi untuk kepentingan diri sendiri, dan possessive -- menguasai, mengontrol untuk memuaskan diri sendiri. Shelley Winters yang selalu tampil menjiwai sebagai wanita yang histeris dan pathetic/'ngenes' :-) adalah aktres yang tepat memainkan peran Charlotte Haze. Charlotte, seorang janda dari kelas bawah, sangat ingin menaikkan status sosialnya dengan bersosialisasi dengan orang-2 dari kelas atas -- istilahnya, social climber. Sedemikian desperate-nya, dia menutup mata terhadap motivasi sesungguhnya dari pria-2 dari so called "kelas atas" tersebut. Sedemikian ignorant-nya, dia tidak mampu melihat anaknya yang menginjak dewasa ini mulai menampilkan kedewasaannya secara tidak pantas, dia juga tidak mampu melihat pria-2 dari "kelas atas" tersebut menyimpan agenda terselubung setiap kali mereka tersenyum kepadanya. Singkat kata, Charlotte adalah ibu dan wanita yang betul-2 pathetic, mengenaskan (!) ... dan Winters membawakan peran ini dengan sempurna! Peter Sellers dengan kemampuannya menampilkan "seribu wajah" adalah aktor yang tepat memainkan peran Clare Quilty. Charlotte tergila-2 dengan Clare karena dia adalah seorang playwright (penulis teater) -- menuju akhir film reputasi sesungguhnya terkuak sebagai seorang pornographer. Kubrick memberi kebebasan kepada Sellers untuk berimprovisasi dan hasilnya sangat menarik! Sebagai playwright, Sellers tampil avant-garde, superior, dan sekaligus arogan (tidak heran Charlotte tergila-2 ingin mendekatinya). Sebagai polisi, Sellers tampil misterius dengan gaya interogasinya yang pasif-agresif. Sebagai Doctor Zempf, Sellers tampil betul-2 maniak (peran ini nampaknya menjadi acuan bagi Sellers untuk perannya di kemudian hari dalam film Dr. Strangelove yang juga disutradarai oleh Kubrick). Karakter-2 samaran yang dimainkan Sellers ini betul-2 menggelitik, karena dia tidak ada habisnya "menyiksa" Humbert dari awal sampai akhir film :-) Di Golden Globes, ajang penghargaan yang diberikan oleh kalangan jurnalis, Mason, Winters, dan Sellers, ketiganya menerima nominasi untuk aktor terbaik, aktres terbaik, dan aktor pendukung terbaik. Penulis setuju sekali, kekuatan utama film ini ada di pundak mereka.

*) Orang dewasa yang mempunyai nafsu birahi terhadap anak-2.

Bagaimana dengan ceritanya sendiri? Sebagian besar penonton menilai film ini sebagai cerita tabu tentang fedofilia. Penulis setuju, tetapi fedofilia bukan satu-2nya topik yang dieksplorasi oleh Kubrick di sini; ada topik yang lain, yaitu: (kecenderungan) sifat posesif pria terhadap wanita, dhi. sifat posesif tiga pria dalam hidup Lolita. Humbert ingin memiliki Lolita dan kemudian berusaha "mendidik"-nya -- seakan-2 tidak cukup menjadi kekasih saja, dia juga ingin menjadi ayah Lolita! :-) Sikap Humbert yang senang mengontrol ini akhirnya "menyesakkan" Lolita. Clare juga ingin memiliki Lolita (Lolita mula-2 mempunyai "crush" terhadapnya). Tetapi segera setelah Lolita memberontak darinya, ketika dia menolak berperan dalam film "seni"-nya (baca: pornografi), Clare mencampakkannya. Di akhir film, Lolita ditampilkan sudah berkeluarga. Suaminya juga posesif terhadap dirinya, menuntut ini dan itu tanpa mempedulikan perasaannya. Di akhir film, Lolita mengakui bahwa dia tidak pernah mencintai Humbert, tidak mencintai Clare, juga tidak mencintai suaminya -- well, tidak mengherankan kalau dia tidak mencintai semuanya! :-) Kalau dipikir-2, semua karakter dalam film ini betul-2 hopeless dan tragis; nevertheless, ada pelajaran berharga yang dapat ditarik dari komedi gelap ini.

All in all, Lolita is an incredibly sharp piece of filmmaking; khususnya penampilan Mason, Winters, dan Sellers. Sayangnya, karakter Winters dimatikan di tengah film, padahal karakter ini mempunyai fungsi penting sebagai ground/foundation di tengah-2 Humbert yang semakin neurotic, obsessive dan Clare yang semakin evil, sinister.

8.5/10

Lolita dapat anda temukan di eBay.com


No comments: