Resensi Film: Live and Let Die (7.2/10)
Tahun Keluar: 1973
Negara Asal: UK
Sutradara: Guy Hamilton
Cast: Roger Moore, Yaphet Kotto, Jane Seymour
Plot: James Bond dikirim ke New York untuk mengusut lenyapnya tiga agen Inggris yang sedang mengawasi kegiatan Dr. Kananga, seorang diktator negara kecil di kepulauan Caribbean, San Monique, dan menemukan rencana Kananga untuk membanjiri AS dengan heroin gratis untuk menciptakan kecanduan/ketergantungan dan menyingkirkan kompetitor (IMDb).
Berlawanan dari keyakinan sebagai film critic, film-2 James Bond walaupun tetap mempertahankan elemen-2 dasarnya, misalnya Bond theme, Bond's character, Bond girls, dan yang lainnya, selalu beradaptasi mengikuti perubahan jaman. Kalau tidak, bagaimana mungkin series ini bisa bertahan selama 50 tahun?
Dalam film Bond pertama untuk Roger Moore ini, produser Harry Saltzman dan Albert R. Broccoli menyadari bahwa era baru dalam perfilman telah tiba, yaitu era blaxploitation -- film-2 dengan pemeran orang-2 kulit hitam dan tentang masyarakat kulit hitam. Plotnya menampilkan banyak archetype and stereotype tentang orang-2 kulit hitam (untuk ukuran sekarang terasa "politically-incorrect"!), misalnya mafia kulit hitam, potongan rambut afro, ucapan-2 yang rasialis, dan sedan-2 Cadillac yang diganti aksesorinya sehingga nampak norak yang banyak diasosiasikan dengan mafia kulit hitam. Tanpa malu-2 membawa plotnya masuk lebih dalam ke era blaxploitation, Live and Let Die adalah film Bond pertama yang menampilkan African American sebagai Bond girl (!) -- Gloria Hendry berperan sebagai agen CIA, Rosie Carver, dan karakternya tentu saja romantically involved with 007 :-) Anehnya, ada satu karakter yang semestinya diperankan oleh aktres kulit hitam, tetapi sengaja diperankan oleh aktres kulit putih, yaitu Jane Seymour yang berperan sebagai the virgin psychic, Solitaire, tukang ramalnya Kananga. Walaupun tidak termasuk dalam Top Bond Girls, Seymour meninggalkan kenangan sebagai salah satu dari Bond girls paling cantik. Tidak terbebani oleh peninggalan/legacy dari Sean Connery, Moore tampil percaya diri dan siap me-redefine karakter Bond sesuai dengan interpretasinya, yaitu rileks, penuh sense of humour, dan tentu saja permainan alisnya (!) yang menjadi "trademark" dari Moore :-) Roger Ebert, film critic dari Chicago Sun-Times, dengan sangat tepat menggambarkan penampilan Moore ini sebagai: "the urbanity, the quizzically raised eyebrow, the calm under fire and in bed." :-)
Bersetting di Harlem - New York, New Orleans, dan kepulauan Caribbean, Live and Let Die menampilkan sub-budaya African American secara ekstensif. Selain itu, film ini juga menampilkan sequence-2 action yang menarik, yaitu: kejar-2an antara bis susun yang dikendarai Bond dan mobil-2 yang dikendari orang-2 suruhan Kananga, Bond dimasukkan ke dalam kandang buaya, dan kejar-2an speedboat di sungai-2 di Louisiana. Last, but not least, lagu tema dengan judul yang sama, diciptakan oleh Paul dan Linda McCartney dan dinyanyikan oleh Paul McCartney dan grup musiknya, Wings, sampai saat ini bertahan di urutan nomor 3 Top Bond Songs -- setelah "Goldfinger" dan "Diamonds Are Forever" yang dinyanyikan oleh Shirley Bassey.
Menghibur sebagai tontonan, ada pertanyaan fundamental yang muncul dari ceritanya:
-
James Bond, agen MI6, ngurusi mafia narkotika?
-
Tidakkah Bond semestinya ngurusi kejahatan atau ancaman yang bersifat lebih besar atau lebih global?
* 7.2/10
No comments:
Post a Comment