Empat film berikut ini selain terbaik di genre-nya juga mewakili hampir semua dampak negatif yang timbul akibat peperangan. Impact-nya semakin membekas kalau film-2 ini kita sandingkan dan kita kontraskan dengan apa yang ada dalam Konvensi Jenewa (konvensi yang mengatur perang). Membuat kita sadar betapa ironisnya, betapa mustahil dan sia-2nya, usaha untuk mendefinisikan aturan perang tersebut. Perang pada dasarnya terjadi karena segala upaya yang beraturan tidak berhasil menyelesaikan konflik -- kok sekarang malah perangnya sendiri yang ingin dibuat beraturan, mana mungkin?! :-)
Satirically, empat film perang berikut ini dengan sangat mengena menyampaikan pesan anti-perangnya.
1) The Deer Hunter (1978)
Film arahan sutradara tak ternama, Michael Cimino, ini tidak tergesa-2 masuk ke dalam scene action, tetapi lebih menitikberatkan pada bagaimana perang secara total mengubah (baca, merusak/menghancurkan) kehidupan empat sekawan: Mike (Robert De Niro), Nick (Christopher Walken), Steven (John Savage), dan Stan (John Cazale), yang tinggal di sebuah kota kecil di selatan kota Pittsburgh, AS. Hampir separuh film bersetting di kota tempat tinggal mereka -- menceritakan kehidupan rutin dan kegiatan sehari-2 mereka sebagai pekerja pabrik baja: pulang kerja, pergi ke pub/bar untuk minum, melepas lelah, dan bersosialisasi, menghadiri pesta perkawinan kerabat, dan pergi berburu rusa; penulis script memberi banyak waktu untuk menampilkan masing-2 karakter, kekuatan dan kelemahannya.
Setengah jalan, film tiba-2 berubah arah, meloncat masuk ke dalam scene action -- perang di belantara Vietnam, menimbulkan kontras yang drastis, kesan yang mengena betapa “misplaced” (salah tempat)-nya empat sekawan dari kota yang tenang dan damai di AS tersebut di belantara Vietnam yang “anything but” -- bahaya mengancam di mana-2 dan kematian mengintai di segala waktu. Dari empat sekawan tersebut, ada yang survive, ada yang tewas, ada yang kuat mental, ada yang trauma, ... atau apapun di antaranya.
Arahan Cimino dengan efek slow-burning ini meninggalkan kesan yang mendalam di akhir film. Film ini memenangkan Oscar untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Aktor Pendukung Terbaik (Walken -- siapa yang tidak ingat scene Russian roulette Walken?!); dan menerima nominasi Oscar untuk Aktor Terbaik (De Niro), Aktres Pendukung Terbaik (Meryl Streep -- film pertama Streep dengan peran penting), dan Script Original Terbaik.
2) Apocalypse Now (1979)
Jangan mengira hanya prajurit wajib militer saja yang bisa “edan” gara-2 perang (seperti dalam The Deer Hunter), prajurit profesional-pun tidak luput dari dampak negatif tersebut. Film arahan Francis Ford Coppola ini adalah film anti-perang yang dengan berani menampilkan horor perang: perang menciptakan “monster”!
Kolonel baret hijau, Walter Kurtz (Marlon Brando), adalah prajurit teladan yang memperoleh banyak penghargaan atas prestasinya di perang Vietnam. Suatu saat dia menghilang/desersi (melepaskan diri dari komando atasannya) dan melaksanakan misinya sendiri, bersama prajurit-2 yang lain yang juga desersi, membasmi Viet Cong (dan sekaligus yang lainnya!). Komando atasannya memutuskan bahwa Kurtz sudah menjadi gila dan harus dihentikan. Kapten Benjamin Willard (Martin Sheen), belum sembuh dari trauma perangnya, ditunjuk untuk melacak Kurtz dan membasminya. Pesan komando atasannya jelas dan gamblang: “Terminate with extreme prejudice!”
Horor perang yang ditampilkan dalam film ini, yang pada saat pertama kali dikeluarkan terkesan fiktif, dengan berjalannya waktu ternyata sama sekali tidak fiktif -- faktanya, AS sampai sekarang masih sibuk melacak dan membasmi “monster”-2 perang yang notabene hasil ciptaannya sendiri. Pesan moral dengan universal truth ini dengan meyakinkan memasukkan Apocalypse Now dalam jajaran klasik.
Mungkin karena setahun sebelumnya Academy Awards sudah menghadiahkan Film Terbaik ke film dengan tema yang sama, film ini hanya berhasil menerima nominasi Oscar untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik, dan Script Adaptasi Terbaik.
3) Platoon (1986)
Orang-2 muda yang naif, yang belum pernah pergi (atau mengalami) perang, sering mempunyai imajinasi patriotisme yang muluk tentang perang -- mungkin seraya membayangkan pepatah masyhur: “Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country.” Inilah imajinasi keliru mahasiswa drop-out, Chris Taylor (Charlie Sheen, anaknya Martin Sheen), dalam film arahan Oliver Stone ini. Idealisme (baca, kenaifan) Chris segera menemui “batu”-nya di medan pertempuran di Vietnam -- apa yang dia lihat sama sekali tidak cocok dengan apa yang ada di dalam peraturan ... let alone Geneva Conventions. Sementara dia berjuang untuk survive, dia akhirnya menyadari bahwa dia menghadapi tidak hanya perang melawan Viet Cong, tetapi juga perang melawan rekan-2 prajurit sepeletonnya sendiri.
Sama seperti Coppola, Stone juga dengan berani menampilkan horor perang. Film ini memenangkan Oscar untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik; dan menerima nominasi Oscar untuk Aktor Pendukung Terbaik (Tom Berenger dan Willem Dafoe), dan Script Original Terbaik.
4) Full Metal Jacket (1987)
Kalau Coppola menampilkan “monster” perang, film arahan Stanley Kubrick ini menampilkan bagaimana “monster” perang tersebut diciptakan. Bagian pertama film ini betul-2 monumental: menampilkan bagaimana rekrut baru yang naif dan hijau, digojlok -- bastardised and to a certain extent ... brainwashed! (arahan Kubrick di sini betul-2 memukau), untuk dipersiapkan terjun ke medan pertempuran di Vietnam. Setelah bagian pertama yang berat -- bikin hati penonton miris dan jantung deg-2an, bagian kedua (scene action-nya) menjadi terasa ringan :-) Ternyata Kubrick tidak hanya mempersiapkan karakter-2 dalam film ini saja sebelum mereka terjun ke medan pertempuran, Kubrick juga mempersiapkan penonton sebelum kita melihat scene action-nya. Tidakkah ini adalah arahan yang pandai?!
Sama seperti film-2 Kubrick yang lain, anggota Academy Awards membutuhkan waktu yang lama untuk mengapresiasi karya Kubrick ini. Film ini menerima nominasi Oscar untuk Script Adaptasi Terbaik.
No comments:
Post a Comment