Thursday, 12 April 2012

Coco avant Chanel

Resensi Film: Coco avant Chanel (Coco Before Chanel) (8.5/10)

Tahun Keluar: 2009
Negara Asal: France, Belgium
Sutradara: Anne Fontaine
Cast: Audrey Tautou, Benoît Poelvoorde, Alessandro Nivola, Marie Gillain

Plot: Biopic perancang busana Gabrielle 'Coco' Chanel sebelum dia memasuki masa kejayaannya (IMDb).

Kali ini penulis betul-2 tidak setuju dengan pendapat Margaret dan David yang memberi rating 3 dan 2.5 untuk film ini -- What? David!!! I thought I could trust your opinion :-) Penulis juga tidak setuju dengan pendapat-2 yang mengatakan topik Coco SEBELUM Chanel tidak menarik, tidak penting, atau tidak perlu, dengan alasan topik Coco SELAMA Chanel-lah yang lebih menarik, lebih penting, dan lebih perlu. Mengapa? Sebagian pengagum Coco Chanel ingin menyaksikan cerita yang spektakuler tentang dirinya -- seorang heroine yang melakukan heroism-nya dengan "big bang" (seperti Superman atau Spiderman menyelamatkan dunia dari orang jahat), tetapi justru inilah yang dihindari oleh sutradara Anne Fontaine. Sama dengan penulis, justru di sinilah letak keindahan film ini. Tidak ada yang glamourous atau spektakuler dari masa lalu Chanel (Audrey Tautou), seorang anak yatim yang setelah ibunya meninggal dunia, ayahnya menelantarkan dia dan saudaranya, Adrienne (Marie Gillain), di rumah yatim piatu. Dengan setting seperti Dickensian ini, Anne Fontaine tidak terpancing masuk ke dalam sentimentalisme. Nuansa film secara keseluruhan bahkan terkesan un-sentimental. Dalam hal ini penulis kagum bagaimana script yang ditulis oleh Fontaine sendiri (dkk.) telah menampilkan bakat kreativitas Chanel sejak dari awal film, tetapi bakat ini seakan-2 "melayang" tidak ada yang mempedulikan (termasuk penonton dan Chanel sendiri!). Secara halus/tanpa terasa, Fontaine sedikit demi sedikit meng-accentuate bakat ini, kemudian menjadi prominent secara tiba-2 ketika keadaan memaksa -- dan anehnya, penonton terpana, padahal penonton sudah mengetahui bakat tersebut sejak dari awal film. Scriptnya tidak pernah berusaha "menahan" atau "menyembunyikan" bakat Chanel ini dengan tujuan sebagai kejutan atau "big bang" yang memuaskan sentimen penonton.

Tumbuh dewasa praktis sendirian (bersama saudaranya), Chanel mempunyai ambisi untuk menjadi wanita terhormat dan mandiri. Dengan latar belakang sebagai yatim piatu, cita-2 tersebut bukanlah cita-2 yang mudah dicapai. Bekerja sebagai tukang jahit di siang hari dan penyanyi cafe di malam hari (dia mendapat julukan 'Coco' karena setiap malam dia menyanyikan lagu populer berjudul "Coco" - dari kata Perancis "cocotte" yang berarti wanita simpanan), Chanel tidak pernah putus asa mencari kesempatan untuk mencapai cita-2 tersebut. Tidak jauh dari isi lagu yang dia nyanyikan, dia menjadi wanita simpanan seorang pria terhormat, Étienne Balsan (Benoît Poelvoorde), dengan harapan suatu saat dia bakal dikawini secara resmi -- dia tahu bahwa harapan ini adalah harapan kosong. Balsan sedikit banyak mencerminkan sosok ayah yang tidak pernah hadir dalam hidup Chanel. Belum sepenuhnya lepas dari Balsan, Chanel menjadi wanita simpanan pria terhormat yang lain, Arthur 'Boy' Capel (Alessandro Nivola), yang usianya sepadan dengan dirinya, yang dia ternyata betul-2 mencintainya ... juga dengan harapan suatu saat dia bakal dikawini secara resmi -- dia lagi-2 tahu bahwa harapan ini adalah harapan kosong. Kematian Capel secara tiba-2 akhirnya menyadarkan Chanel bahwa dia tidak bisa bergantung pada orang lain. Kehormatan dan kemandirian yang dia idam-2kan hanya dapat dijamin kalau dia bergantung pada diri sendiri -- dan untuk Chanel, ini artinya melakukan apa yang dia lakukan dengan baik, yaitu menjahit, merancang busana!

Penulis kagum dengan scene-2 dimana Fontaine sedikit demi sedikit meng-accentuate bakat Chanel ini, mulai dari ketika Chanel tampil "blend-in" (nampak sama seperti) wanita-2 di sekitarnya, kemudian sedikit demi sedikit tampil "out-of-place" (nampak berbeda dari) wanita-2 di sekitarnya, karena dia mengenakan gaun rancangannya sendiri yang berbeda dari gaun pada jaman itu -- gaun rancangan Chanel pada dasarnya mencerminkan sifat atau cita-2 mandiri Chanel: sederhana, tidak menyusahkan wanita ketika mengenakannya, tetapi tetap elegan atau bahkan lebih elegan! Penulis particularly terkesan dengan scene terakhir, yaitu montage parade busana, sementara Chanel duduk termenung sendirian di anak tangga, sambil sekali-2 sinar matanya memancarkan rasa puas dan bahagia. Frame terakhir ketika film berubah warnanya menjadi hitam-putih dan wajah Audrey Tautou tampil mirip seperti wajah Chanel yang sesungguhnya betul-2 poignant, profoundly moving, touching. Bagaimana tidak, parade busana tersebut terjadi pada awal tahun 1900-an, tetapi rancangannya bagaikan rancangan dari tahun ini -- hati penulis langsung miris melihat ini.

Audrey Tautou memainkan perannya dengan sangat baik. Benoît Poelvoorde memainkan peran tidak simpatiknya juga dengan sangat baik (penonton percaya Chanel kecantol dengan pria seperti ini). Sayangnya, Alessandro Nivola rada mis-cast sebagai gentleman Inggris (penonton rada gak percaya Chanel betul-2 mencintai pria seperti ini :-)). Cinematography dari Christophe Beaucarne sangat indah. Musical score dari Alexandre Desplat menghanyutkan. Dan Costume Design dari Catherine Leterrier tentu saja elegan.

Pernahkah anda menyadari, kadang-2 apa yang anda lakukan dengan sangat baik justru anda kecilkan atau abaikan. Sekecil apapun bakat anda, pedulikan ... ada 'chanel' dalam diri setiap orang.

Salah satu rancangan Chanel yang paling terkenal adalah The Little Black Dress, gaun satu potong berwarna hitam, mengenakannya sangat mudah, tetapi super elegan. Muncul pada tahun 1920-an dan terus populer bahkan sampai saat ini. Rancangan ini menjadi immortal ketika dikenakan oleh Audrey Hepburn dalam filmnya, Breakfast at Tiffany's (1961).

* 8.5/10

Coco avant Chanel dapat anda temukan di eBay.com

No comments: