Tuesday, 16 December 2014

Ida

OSCAR WATCH 2015

IDA (7.8/10)


Negara Asal: Polandia
Sutradara: Pawel Pawlikowski
Script Original: Pawel Pawlikowski, Rebecca Lenkiewicz
Cast: Agata Kulesza, Agata Trzebuchowska, Dawid Ogrodnik
Sinematografi: Lukasz Zal, Ryszard Lenczewski

Momen menjelang kaul kekal sering menjadi plot yang menggerakkan awal cerita, a.l.: Viridiana (1961), film berbahasa Spanyol, pemenang Palme d'Or  di Cannes tahun 1961, atau yang lebih populer, The Sound of Music (1965), pemenang Film Terbaik di Oscars tahun 1966. Tema biara bukanlah tempat untuk melarikan diri atau bersembunyi dari apapun yang menakutkan dalam hidup ini menciptakan medium yang subur bagi karakter utama untuk menerima tantangan dan berkembang -- dan konsekuensinya, menarik bagi penonton untuk menyaksikannya. Karakter utama tersebut harus pergi keluar dari biara, menghadapi apapun yang dia perlu hadapi, sebelum dia membuat keputusan terakhir.

Bersetting pada dasawarsa 1960-an, Anna (Agata Trzebuchowska), seorang calon biarawati -- juga yatim piatu yang besar di biara, diberitahu oleh biarawati kepala bahwa sebelum dia dapat mengambil kaul kekal dia harus mengunjungi bibinya, Wanda (Agata Kulesza), yang merupakan satu-2nya familinya yang masih hidup. Tidak mengetahui dia memiliki seorang bibi, Anna menuruti perintah tersebut dan pergi menemui bibinya. Bibinya ternyata adalah seorang bekas Jaksa Wilayah yang dulunya mempunyai posisi penting di Polandia. Tanpa basa-basi, bibinya yang bermata gelap dan berkulit gading ini memberitahu Anna bahwa Anna bukan Katolik; nama Anna sesungguhnya adalah Ida Lebenstein, seorang Yahudi, dan orangtuanya diduga terbunuh pada masa pendudukan Jerman. Anna memutuskan ingin menemukan kuburan orangtuanya. Anna dan bibinya kemudian melakukan perjalanan menelusuri tempat-2 dimana orangtuanya pernah tinggal dan menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi saat itu. Di tengah perjalanan Anna bertemu dengan seorang pemuda, saxophonist, Lis (Dawid Ogrodnik).


Karya dari sutradara dan penulis asal Polandia, Pawel Pawlikowski, ini adalah potret mini negaranya pada dasawarsa 1960-an: di balik tirai besi, dingin dan kelabu, dan trauma holocaust masih tersimpan hangat dalam memori. Film secara keseluruhan di-shot dengan warna B&W/hitam-putih, kontras lembut, menciptakan nuansa melankoli yang diinginkan. Namun demikian, nuansa melankoli tersebut tidak sampai menguasai seluruh film, karena tiga karakter utama yang ada mempunyai karakterisasi yang multi-dimensional: Anna yang polos dan pendiam tetapi menggerakkan plot cerita, Wanda yang wajahnya berkarakter kuat, tetapi di baliknya ternyata rapuh, dan Lis yang ganteng dan mencerminkan masa depan yang lebih cemerlang; dan dinamika hubungan di antara mereka yang menarik.

Sepanjang film penonton merasa kasihan terhadap Anna -- yatim piatu, orangtuanya korban holocaust, Yahudi tetapi Katolik, tetapi di akhir film penonton akhirnya menyadari bahwa bukan Anna-lah yang perlu dikasihani, karena dia ternyata mempunyai “inner strength” yang lebih kuat daripada yang kita bayangkan. Seakan-2 Pawlikowski ingin mengatakan bahwa tidak peduli seberapa pahit kenangan masa lalu yang menghantui Polandia, Polandia terus bergerak maju menyongsong masa depan.

Film berdurasi hanya 80 menit ini bisa menjadi “kecil-2 cabe rawit” dalam nominasi Film Berbahasa Asing (Bukan Inggris) Terbaik dalam Oscars 2015 y.a.d.; bahkan mungkin mengalahkan film yang sudah memenangkan Palme d'Or  di Cannes tahun ini, yang skala produksinya jauh lebih besar, Winter Sleep. Sinematografi B&W juga patut diacungi jempol, tetapi karena film ini adalah film kecil, besar kemungkinan aspek sinematografi-nya luput dari perhatian juri.

Prediksi Oscar 2015:
  • Nominasi Film Berbahasa Asing (Bukan Inggris) Terbaik



Ida dapat anda temukan di eBay.com

Wednesday, 10 December 2014

Interstellar

OSCAR WATCH 2015

INTERSTELLAR (7.5/10)


Sutradara: Christopher Nolan
Script Original: Jonathan Nolan, Christopher Nolan
Cast: Matthew McConaughey, Anne Hathaway, Jessica Chastain, Michael Caine
Musik: Hans Zimmer
Sinematografi: Hoyte van Hoytema

Setiap orang mungkin mempunyai pendapat berbeda tentang science fiction. Untuk penulis, science fiction adalah cerita fiksi dengan latar belakang science, dimana science-nya tidak meloncat terlalu jauh dari real science atau science yang betulan. Kalau ceritanya fiksi dan science-nya juga fiksi, maka hasil akhirnya adalah fantasi -- film-2 seperti Star Wars atau Star Trek, untuk penulis adalah fantasi. Tetapi penulis bukannya menilai science fiction lebih unggul daripada fantasi. Sama sekali tidak. Tetapi faktor inilah yang membuat kesan yang berbeda setelah menyaksikan film “sci-fi” garapan Christopher Nolan ini dibandingkan dengan film yang konon menginspirasi pembuatan film ini, 2001: A Space Odyssey (1968). Catatan: Record Nolan dalam menulis adalah 3 film Batman, 1 film Superman, tetapi yang paling audacious atau berani adalah Inception (2010) -- science untuk memasuki pikiran orang :-)

Namun demikian, tidak semua science dalam film ini tidak ada dasar real science-nya. Ada, kira-2 dua pertiga bagian. Kalau anda adalah penonton yang menilai teori Newton dalam Gravity (2013) terlalu mudah, sederhana, atau bahkan membosankan, well ... you're in for a treat dalam film ini :-) Nolan menggunakan teori relativitas Einstein: perjalanan antariksa mendekati kecepatan cahaya, time delation, gravitational time delation -- yang secara sederhana artinya waktu bergerak lebih lambat di sana daripada di Bumi, sehingga ketika Matthew McConaughey bertemu kembali dengan anaknya, dirinya menjadi lebih muda daripada anaknya. This is fine.

Tetapi sepertiga bagian yang lain, blackhole yang merupakan “gerbang” menuju empat dimensi dimana ruang dan waktu di seluruh alam semesta dapat “dilihat” dengan mata dan “di pegang” dengan tangan sehingga McConaughey dapat berkomunikasi dengan anaknya yang ada di Bumi, bahkan kembali ke masa lalu, ini betul-2 meloncat jauh dari real science ... 0% Einstein, 100% Nolan, seperti science-nya dalam Inception.

Berbeda dengan 2001: A Space Odyssey, ketika Kubrick tidak mengetahui jawabannya, dia lebih memilih berfilsafat, artinya melempar pertanyaan dan membiarkan penonton berpikir sendiri, daripada menyajikan solusi yang notabene adalah fiksi.

Bukankah alam semesta ini mengandung lebih banyak pertanyaan daripada solusi yang dapat kita temukan?

Film ini dapat memasuki nominasi Film Terbaik dalam Oscars 2015, tetapi hanya sebagai peramai saja.

Prediksi Oscar 2015:
  • Nominasi Sinematografi Terbaik (Hoyte van Hoytema)
  • Nominasi Musik Terbaik (Hans Zimmer)
  • Nominasi Desain Produksi Terbaik (Nathan Crowley)
  • Nominasi Sound Editing Terbaik
  • Nominasi Sound Mixing Terbaik
  • Nominasi Visual Effects Terbaik



Interstellar dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday, 23 September 2014

Modern Times

Modern Times ★★★★★

The Pursuit of Happiness: Perjalanan suka-duka manusia mengarungi samudra kehidupan untuk mencapai kebahagiaan ...

Tahun Keluar: 1936
Negara Asal: USA
Sutradara: Charles Chaplin
Cast: Charles Chaplin, Paulette Goddard

Komedi slapstick -- komedi yang melibatkan kegiatan fisik yang berlebihan yang melampaui batas-2 common sense, konon sudah berusia ratusan tahun. Moliere (tahun 1600-an), salah satu dari Master of Comedy terbaik dalam kesusastraan Barat, sering melibatkan slapstick dalam karya-2nya. Penulis masih ingat, betapa menyenangkannya menghabiskan sore hari sepulang dari sekolah membaca cerpen-2 karya Moliere, terbitan Pustaka Jaya (apakah penerbit Pustaka Jaya masih berdiri sampai sekarang?): tertawa terpingkal-2 karena lucunya minta ampun, terkejut senang karena  kecolongan plot-2 yang gerakannya tak terduga, dan di akhir cerita menerima wisdom/kebijaksanaan  tanpa merasa digurui. Bahkan Greta Garbo-pun, yang jarang sekali tertawa dalam film-2nya, akhirnya tertawa juga membaca salah satu dari karya-2 Moliere dalam Queen Christina (1933). Lebih lama lagi, William Shakespeare (tahun 1500-an), walaupun seorang dramatist, ketika menulis komedi juga memasukkan slapstick di dalamnya, misalnya The Comedy of Errors. Vaudeville, teater-2 hiburan di AS pada akhir abad ke 19, juga banyak menampilkan slapstick. Trend ini berlanjut terus sampai ke era film-2 bisu, dan kemudian era keemasan film-2 hitam-putih yang menghasilkan serangkaian Masters of Comedy, a.l., selain Chaplin sendiri, Laurel and Hardy, the Marx Brothers, dan the Three Stooges. Kalau Laurel and Hardy terkenal dengan gaya “tit-for-tat”-nya (saling membalas di antara keduanya), dan the Marx Brothers dan the Three Stooges dengan gaya vaudeville-nya, Chaplin memisahkan dirinya dari kerumunan tersebut dengan tiga elemen persuasi dari filsuf Aristoteles, yaitu: ethos (idealisme), logos (pemikiran), dan terutama pathos (perasaan). Dibalik semua jungkir-balik kegiatan fisik yang menimbulkan tawa, script dari Chaplin mengandung idealisme, pemikiran, dan terutama perasaan, yang secara keseluruhan membangkitkan empati dari penonton. Sekelas dengan karya-2 Moliere. Gaya persuasi ini terbukti sangat efektif, very powerful.


Di tengah resesi ekonomi yang parah, di antara ribuan pencari kerja yang nekad dan putus asa, beruntung sekali Little Tramp (Chaplin) berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik industri perangkat keras. Di sini tugasnya, dari pagi sampai petang, adalah berdiri di depan conveyor-belt -- yang bergerak semakin lama semakin cepat -- mengencangkan baut-2 hasil-2 produksi yang lewat di depannya. Bosnya mengawasi terus jalannya produksi tersebut melalui layar-2 monitor raksasa yang ditempatkan di segala sudut ruangan, bahkan di dalam toilet sekalipun. Ketika istirahat makan siang, bosnya datang ke tempat pekerja mendampingi seorang inventor yang menciptakan “feeding machine” (mesin pemberi makan) untuk mendemonstrasikan bagaimana mesin tersebut dapat meningkatkan produktivitas kerja dengan meniadakan istirahat makan siang karena mesin ini dapat memberi makan pekerja sementara mereka berdiri di depan conveyor-belt melakukan tugasnya :-)  Siapa lagi yang kena tunjuk sebagai obyek ujicoba kalau bukan Little Tramp! :-) Pertama kali menyaksikan adegan ini, penulis tidak bisa tidur semalaman karena teringat terus dengan adegan yang kocak ini. Mendekati petang hari, conveyor-belt bergerak semakin cepat, Little Tramp akhirnya mengalami nervous breakdown, menimbulkan kekacauan di dalam pabrik: masuk ke dalam mesin mengejar baut-2 yang luput dia kencangkan, mengejar sekretaris bos yang roknya ada kancing-2nya yang bentuknya mirip seperti baut-2 :-), masuk ke ruang generator mengacau generator sampai nyaris meletus. Dia akhirnya diamankan dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa.

Keluar dari rumah sakit jiwa, Little Tramp pulih kesehatannya, tetapi dia sekarang menganggur. Pas ketika ada demonstrasi buruh, pas ketika dia membawa bendera merah yang jatuh dari truk angkutan, dia disalah-sangka sebagai pemimpin komunis, ditangkap oleh polisi, dan tanpa banyak cingcong dijebloskan ke penjara. Di penjara, dia mengkonsumsi kokain, yang dia sangka garam, yang disembunyikan oleh tahanan yang lain. “High” akibat kokain tersebut, dia menjadi berani dan ketika dia menemui beberapa tahanan menyandera kepala dan sipir penjara, dia melumpuhkan mereka sampai pingsan. Menerima pujian dari kepala penjara, dia kecewa ketika dibebaskan dari penjara sebagai penghargaan atas keberaniaannya itu. Bagaimana di luar penjara dia mesti menghidupi dirinya, sementara di dalam penjara dia sudah terjamin mendapat makan tiga kali sehari dan tempat tidur yang empuk dan hangat. Keluar dari penjara, Little Tramp memperoleh kembali martabatnya, tetapi dia sekarang menganggur lagi. Susah lagi ...

Sementara itu di sudut yang lain di kota tersebut, The Gamin (Paulette Goddard), seorang anak jalanan, juga sedang susah dan kebingungan setelah ayahnya tewas tertembak meninggalkan dirinya yatim piatu. Mencuri sepotong roti, dia melarikan diri dari kejaran polisi dan bertabrakan dengan Little Tramp yang juga sedang keluyuran di jalanan. Berusaha melindungi gadis tersebut, Little Tramp mengaku dirinyalah yang mencuri roti tersebut -- toh dia juga ingin kembali ke penjara. Tercengang melihat sikap tersebut, gadis tersebut bersyukur di dunia yang kejam ini ternyata masih ada orang yang baik terhadap dirinya. Tetapi sedemikian mudahkah Little Tramp mendapatkan apa yang dia inginkan? Tentu saja tidak, karena hidup ini penuh dengan antagoni: ketika ingin bebas, malah dipenjara; ketika ingin dipenjara, malah dibebaskan. Tetapi sejak peristiwa itu nasib mempertemukan Little Tramp dan The Gamin, dan mereka berjuang bersama mengarungi samudra kehidupan untuk mencari kebahagiaan yang ilusif tersebut. Berhasilkah mereka mencapainya? Tentu saja tidak, tetapi tetaplah tersenyum  ... yang dua dasawarsa kemudian diberi judul “Smile”, dan diberi lirik, dan dinyanyikan pertama kali oleh Nat King Cole:

Smile though your heart is aching
Smile even though it's breaking
When there are clouds in the sky, you'll get by
If you smile through your fear and sorrow
Smile and maybe tomorrow
You'll see the sun come shining through for you

Light up your face with gladness
Hide every trace of sadness
Although a tear may be ever so near
That's the time you must keep on trying
Smile, what's the use of crying?
You'll find that life is still worthwhile
If you just smile


Modern Times dibuat ketika AS berada dalam masa Great Depression -- resesi ekonomi parah yang melanda hampir seluruh dunia yang berlangsung dari akhir dekade 1920 sampai akhir Perang Dunia ke  2. Dilihat dari dekat, film ini adalah kritik sosial Chaplin tentang industri modern yang lebih  mementingkan produksi daripada manusia; dari jauh, film ini adalah pemikiran Chaplin bahwa tidak ada satu ideologi-pun yang bisa bekerja sendirian, atau lebih superior daripada yang lain, untuk membantu manusia mencapai kebahagiaan atau kesejahteraan. Tidak peduli ideologi tersebut menyangkut bentuk pemerintah yang bagaimana atau sistem ekonomi yang bagaimana, manusia terlalu rumit/kompleks untuk dimasukkan ke dalam satu ideologi saja: tidak ada usaha susah, ada usaha terus timbul eksploitasi; tidak ada pekerjaan susah, ada pekerjaan terus mogok kerja -- karena merasa dieksploitasi. Seakan-2 hidup ini bagaikan pendulum yang selalu tarik-ulur dari kiri, ke kanan, ke kiri lagi, ke kanan lagi, demikian seterusnya, tidak pernah berhenti pada titik equilibrium yang stabil. Dengan tema yang universal ini  tidak mengherankan karya Chaplin ini masih terus langgeng sampai saat ini.

Film yang membekas di sanubari.

Klasik.



Modern Times dapat anda temukan di eBay.com

Saturday, 30 August 2014

A Most Wanted Man

A Most Wanted Man ★★★★☆

Kontemporer, politik, intrik, persaingan ...

Tahun Keluar: 2014
Negara Asal: Inggris, USA, Jerman
Sutradara: Anton Corbijn
Cast: Philip Seymour Hoffman, Rachel McAdams, Willem Dafoe, Robin Wright, Grigoriy Dobrygin

Penggemar cerita-2 thriller espionase, khususnya karya penulis John le Carré -- novel-2nya yang lain yang sudah difilmkan a.l. The Tailor of Panama (2001), The Constant Gardener (2005), atau yang diproduksi akhir-2 ini Tinker Tailor Soldier Spy (2011), tidak akan kecewa menyaksikan adaptasi terbaru ini.

Bersetting di kota Hamburg, Jerman, pasca 9/11, ketika intelijen Jerman berada di bawah tekanan berat intelijen AS yang sedang gencar-2nya memerangi terorisme, karya le Carré kali ini bercerita tentang persaingan di kalangan intelijen untuk  melacak lead informasi/trail menuju sasaran yang mereka cari. Ketika Issa Karpov (Grigoriy Dobrygin), pengungsi Chechen yang menurut intelijen Rusia adalah teroris yang berbahaya, tiba-2 muncul di Hamburg, Günther Bachmann (Philip Seymour Hoffman), agen operatif Jerman, segera memata-2i gerak-gerik pemuda ini. Keluarga yang memberi tumpangan Karpov kemudian menghubungi Annabel Richter (Rachel McAdams), pengacara dengan spesialisasi kasus-2 pelanggaran HAM, untuk membantunya mendapatkan suaka di Jerman. Ketika Karpov minta tolong Richter untuk mengkontak Tommy Brue (Willem Dafoe), seorang banker, karena dia membawa surat peninggalan mendiang ayahnya untuk banker tersebut, Bachmann menjadi curiga dan memutuskan mengompas Brue untuk mengetahui urusan apa yang sedang terjadi antara Karpov dan dirinya. Dari sini Bachmann mengetahui bahwa Karpov mewarisi uang sejumlah 10 juta Euro, tetapi Karpov ternyata tidak tertarik memiliki uang tersebut. Sementara itu Bachmann juga sedang memata-2i seorang philanthropist, Dr. Faisal Abdullah (Homayoun Ershadi), yang dicurigai menggunakan organisasi amalnya untuk menyalurkan sebagian dananya ke sebuah perusahaan transportasi yang sesungguhnya adalah organisasi milik Al Qaeda. Bachmann kemudian “put two and two together and came up with an idea”: mengompas Richter untuk membujuk Karpov untuk menyumbangkan uang warisan tersebut kepada Dr. Abdullah; dan melihat apakah betul kecurigaannya selama ini bahwa sebagian dananya akan disalurkan ke perusahaan transportasi yang sudah dititik tersebut. Richter bersedia menjadi kaki-tangan Bachmann dengan syarat Karpov memperoleh suaka di Jerman. Bachmann setuju dan menepati janjinya: beberapa hari sebelum Karpov bertemu dengan Dr. Abdullah, Karpov memperoleh suaka di Jerman. Sementara Bachmann menjalankan rencananya, bosnya di Berlin dan bos intelijen AS di Jerman, Martha Sullivan (Robin Wright), mengawasi terus operasi tersebut dan siap terjun mengintervensi tanpa mempedulikan integritas kerja dan perasaan Bachmann.


Le Carré , yang memang pernah bekerja sebagai agen operatif MI5 dan MI6, lagi-2 menampilkan realisme dalam thriller espionase yang kontemporer ini. Memang menarik menonton  film-2 action espionase seperti James Bond atau Jason Bourne; tetapi karakter-2 tersebut melenceng jauh dari realitas. Le Carré tanpa ragu-2 menampilkan dunia intelijen tanpa “bumbu penyedap” tersebut: karakter-2nya lebih senang bersembunyi di balik layar, lebih senang bekerja di balik meja atau di depan layar komputer menganalisis informasi, atau sebisa mungkin menghindari konfrontasi fisik -- apalagi mempertaruhkan nyawa sampai tewas :-) Namun demikian, ceritanya tetap menghasilkan suspense. Ceritanya berlapis, melibatkan banyak karakter dengan masing-2 karakter terbentuk dengan baik, melibatkan sejumlah subplot dengan masing-2 subplot tersusun dengan baik, dan semuanya terjalin dengan rapi menuju ending yang memuncak.

Hoffman tampil menjiwai, as he always does, sebagai Bachmann. Di sini dia tidak hanya akting dengan wajahnya saja, tetapi juga dengan seluruh tubuhnya; fisiknya yang nampak tidak prima (dia terkesan kegemukan dan capek) justru menambah bobot karakterisasinya. Cast pendukung yang lain juga tampil dengan baik: McAdams yang biasanya tampil manis dan ceria dalam peran-2 ringan dalam film-2 romcom, di sini tampil matang dan serius; Dafoe yang biasanya tampil kuat dalam peran-2 berat sebagai protaganist atau antagonist, di sini tampil lemah tidak berkutik; dan Wright nampak semakin menemukan tempatnya dan di sini tampil comfortable sebagai bos yang otoriter dan dingin. Aktor Rusia, pendatang baru, Dobrygin tampil meyakinkan sebagai pengungsi Chechen -- aktingnya yang subdued, low-keyed berhasil menarik simpati penonton dari awal sampai akhir. Juga tidak dapat dilupakan cast pendukung dari Jerman; mereka juga tampil dengan baik -- nama-2 yang tenar di negaranya, tetapi tidak di pentas internasional, kecuali mungkin Nina Hoss yang mungkin anda ingat dari The White Massai (2005), atau Daniel Brühl yang mungkin anda kenal sebagai Niki Lauda dalam Rush (2013).

All in all, A Most Wanted Man adalah film kecil yang cemerlang penggarapannya, khususnya dari sudut akting dan script. Film yang sama sekali tidak mengecewakan sebagai film terakhir dari Hoffman.

Farewell Philip Seymour Hoffman.
You will surely be missed.



A Most Wanted Man dapat anda temukan di eBay.com

Saturday, 16 August 2014

My Fair Lady

My Fair Lady ★★★★★

Social Mobility:
Mencapai cita-2 yang anda tidak tahu anda mampu meraihnya ...


Bravo, Eliza!

~ Sambungan review dari Pygmalion (1938)

Tahun Keluar: 1964
Negara Asal: USA
Sutradara: George Cukor
Cast: Audrey Hepburn, Rex Harrison, Stanley Holloway, Wilfrid Hyde-White, Gladys Cooper, Jeremy Brett, Theodore Bikel

Jaman sudah berubah. Kerajaan dengan otoritas mutlak hampir semuanya sudah punah. Republik dengan demokrasinya menggantikan sistem kuno tersebut untuk memastikan distribusi kesempatan ekonomi untuk seluruh rakyat. Namun demikian, cita-2 luhur Social Mobility yang diimpikan tersebut masih sering menjadi ilusi saja.

Seandainya aku lahir di keluarga mampu, aku akan bisa sekolah sampai universitas dan menjadi pakar yang hebat ...

Seandainya aku punya kesempatan belajar main piano, aku akan bisa menjadi pianis yang hebat ...

Miris membayangkan ada berapa banyak bakat terpendam yang hangus begitu saja gara-2 tidak ada kesempatan untuk mengembangkannya. Mungkin inilah alasannya mengapa cerita drama, kritik sosial, karya George Bernard Shaw ini masih terus langgeng, relevan sampai saat ini, dan mampu menarik minat penonton baru: “Seandainya aku punya kesempatan ini, aku akan bisa begini,” “seandainya aku punya kesempatan itu, aku akan bisa begitu,” et cetera, dan lain sebagainya. Mencapai cita-2 yang anda tidak tahu anda mampu meraihnya.

Versatilitas karya Shaw ini tidak dapat dipungkiri karena tulisan Shaw sendiri yang sangat baik; sedemikian baiknya sehingga segala macam adaptasi yang dihasilkan selanjutnya: musical, film, atau film musical, semuanya tidak dapat meninggalkan dialog-2 aslinya. Maka tidak mengherankan kalau hanya Shaw saja (atau Shaw dan timnya) yang pernah memenangkan penghargaan script terbaik untuk cerita ini; penulis-2 lain yang mengadaptasi cerita ini tidak pernah memenangkan penghargaan script adaptasi terbaik -- karena mereka tinggal menjiplak saja dialog-2 yang sudah ada.

Adaptasi dari musical (teater musical) ke film musical selalu menempatkan sutradara pada dua pilihan: 1) membuat filmnya seperti teater musical dengan menempatkan kamera-2 di sekitarnya -- misalnya, West Side Story (1961), atau yang diproduksi akhir-2 ini Les Misérables (2012); dimana semua dialognya adalah libretto, atau 2) membuat filmnya seperti film biasa dengan memasukkan musik di dalamnya. Pilihan pertama sesungguhnya tidak masuk akal. Mengapa? Karena tujuan utama mengadaptasi musical ke film musical adalah untuk menarik minat penonton film -- yang mayoritas tidak menyukai musical, untuk melihat versi filmnya. Tetapi kalau filmnya terlalu mirip dengan musicalnya -- dengan libretto segala (that goddamn libretto! :-) ), terus untuk apa mengadaptasinya ke film? Penonton film tetap tidak akan menyukainya. Sebaliknya, penonton teater tidak akan tertarik melihat film tersebut karena mereka sudah menyukai musicalnya. Mungkin karena inilah film-2 musical seperti West Side Story atau Les Misérables, walaupun menerima pujian dari kritikus-2 film ternama (sebagian besar dari mereka adalah penggemar musical), tidak pernah betul-2 menjadi favorit di kalangan penggemar film. Pilihan kedua adalah pilihan yang lebih masuk akal, tetapi memerlukan kinerja yang lebih tactful, considerate, atau pengertian.

Sutradara George Cukor -- karya-2nya yang lain a.l. Holiday (1938), The Women (1939), The Philadelphia Story (1940), Gaslight (1944), Adam's Rib (1949) -- berhasil memadukan dialog-2 dari karya aslinya dan musik & lirik dari Frederick Loewe dan Alan Jay Lerner dengan porsi yang seimbang dan timing yang pas; sedemikian rupa sehingga penonton tidak dapat memutuskan apakah mereka lebih senang melihat para pemainnya berbicara atau menyanyi. Dalam film ini, bagian-2 yang cocok disampaikan melalui dialog, disampaikan melalui dialog; bagian-2 yang cocok disampaikan melalui musik, disampaikan melalui musik. Musik & lirik dari Loewe dan Lerner berhasil mengimbangi dialog-2 tajam (serius sekaligus lucu dan menggelitik) dari Shaw: musiknya indah dan memorable, liriknya menarik -- sebagian romantis, sebagian kocak, sebagian tidak masuk akal, dan sebagian filosofis. Penilain penulis, hanya mereka yang betul-2 buta musik saja yang tidak menyukai film musical ini. Pendekatan Cukor ini kemudian diadopsi oleh Robert Wise, yang sebelumnya menggarap West Side Story, untuk The Sound of Music yang keluar tahun berikutnya yang juga meraih sukses gemilang.

Selain berhasil melestarikan dialog-2 dalam karya aslinya, Cukor juga berhasil melindungi inti ceritanya dari “serangan” Hollywood untuk meromantisir hubungan antara protagonist wanitanya, Eliza Doolittle, dan antagonis prianya, Professor Higgins. Studio Warner Bros. tidak dapat disangkal ingin “menggaris-bawahi” potensi romance antara kedua pemeran utama ini. Beruntung sekali Cukor berhasil menyenangkan kedua-belah pihak: membuat penonton terbuai dengan potensi romance yang tersirat, tetapi tetap menjaga akhir cerita yang terbuka:

Professor Higgins: “Eliza? Where the devil are my slippers?

Sebelum penonton mengetahui reaksi Eliza -- melempar lagi sandal tersebut ke Professor Higgins atau tidak, Cukor cepat-2 menggelapkan filmnya ... Fade Out, The End, tamat, meninggalkan penonton penasaran dan bertanya-2: Siapa yang akhirnya mengalah? Bagaimana nasib Eliza selanjutnya?

Satu berita paling terkenal dari produksi film ini adalah perseteruan sengit antara Jack Warner, pemilik studio Warner Bros., dan anggota cast musical terhadap pilihannya atas Audrey Hepburn daripada Julie Andrews yang saat itu sudah memerankan Eliza dalam teater musical-nya. Tidak mempedulikan protes tersebut, Warner memilih Hepburn karena dia mempunyai daya tarik box office yang lebih besar -- dan seandainya dia menolak, Warner konon siap menawarkan peran ini ke Elizabeth Taylor. Mengetahui kehadirannya tidak diinginkan (baca: kemampuan vocalnya diragukan), Hepburn mengajukan syarat kepada Warner bahwa dia hanya akan menerima peran ini kalau dia diperbolehkan menyanyi sendiri. Warner menerima syarat tersebut. Di akhir produksi, tanpa sepengetahuan Hepburn, Warner memanggil Marni Nixon, penyanyi soprano yang sering men-dub suara aktres-2 dalam film-2 musical -- a.l. suara Deborah Kerr dalam The King and I (1956), suara Natalie Wood dalam West Side Story (1961), dan mengganti praktis semua suara Hepburn dalam nyanyian dengan suara Nixon. Ketika Hepburn akhirnya mengetahui hal ini, Hepburn kecewa berat, tetapi tidak bisa apa-2.

Perasaan animosity terhadap Hepburn dari anggota cast musical (sebagian besar dari mereka adalah anggota AMPAS) ternyata terbawa sampai ke Academy Awards. My Fair Lady menerima 12 nominasi Oscar, memenangkan 8 Oscar, dan semua peran aktingnya menerima nominasi Oscar, kecuali Hepburn! Rex Harrison memenangkan Aktor Terbaik. Stanley Holloway menerima nominasi Aktor Pendukung Terbaik. Gladys Cooper menerima nominasi Aktres Pendukung Terbaik (padahal dia bukan anggota cast musical). Hepburn ... NOL! Dia terkena “single out”, diskriminasi, seakan-2 ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak termasuk dalam anggota cast film ini. Deborah Kerr tidak mengalami diskriminasi dalam The King and I, suaranya  juga di-dub, dan dia bukan anggota cast musical. Natalie Wood juga tidak mengalami diskriminasi dalam West Side Story, suaranya juga di-dub, dan dia juga bukan anggota cast musical. Mengapa hanya Hepburn yang terkena “single out”? Menilai secara fair, walaupun Hepburn tidak menyanyi sendiri, dia tetap berakting sendiri ... :-) Seperti disebutkan di atas, My Fair Lady mempunyai bagian akting & dialog dan bagian musik & lirik dengan porsi yang seimbang. Hepburn tidak dapat disangkal melakukan banyak akting. Sebagai contoh, scene ketika Eliza meledak terhadap professor Higgins sekembali mereka dari Embassy Ball:

Eliza Doolittle: “I sold flowers. I didn't sell myself. Now you've made a lady of me, I'm not fit to sell anything else.

Dialog dari Shaw ini tidak main-2 -- untuk mengucapkannya dengan meyakinkan memerlukan penjiwaan yang tinggi. Atau, scene ketika Eliza kembali ke  jalanan dimana dia dulu berjualan bunga dan kecewa menemukan teman-2nya tidak mengenali dirinya lagi. Hepburn juga perlu menguasai transisi dari aksen Cockney (rakyat jelata) ke aksen Queen (aristokrat); dan Hepburn melakukannya dengan tanpa cela, passionate, dan percaya diri. Tidak cukup menerima diskriminasi tersebut, Hepburn harus menerima tamparan terakhir dari Academy Awards dengan Julie Andrews menerima Aktres Terbaik untuk Mary Poppins (1964), seakan-2 ingin menunjukkan bahwa Andrews-lah yang berhak memerankan Eliza dalam film ini. Dan Hepburn harus tetap tersenyum sepanjang acara Oscar tersebut :-) Betapa ironisnya, film Hepburn yang paling dikenang oleh penonton adalah film yang paling mendatangkan kenangan buruk untuk dirinya.

Di akhir hari, when the dust settles, setelah semuanya reda, pertanyaan terhadap keputusan Warner tersebut tetap tertinggal: Apakah keputusannya memilih Hepburn tersebut tepat? Dengan segala diskriminasi yang dialami Hepburn, sumbutkah hasilnya? Is it worth it? Jawabannya, YA ... dengan huruf besar! Dua scene, khususnya, yang membuat segala animosity tersebut sumbut hasilnya adalah:

1) Scene pacuan kuda; betul-2 scene yang fresh/original dan menyegarkan setelah penonton capek menyaksikan scene-2  latihan berbicara yang menjenuhkan. Admiration, surprise, suspense, dan comedy ... semuanya bertemu menjadi satu. Dan siapa yang tidak ingat gaun yang membalut rapat Eliza dan suspense menuju akhir pacuan kuda ketika Eliza akhirnya tidak mampu menyembunyikan karakter aslinya dan meledak menjadi comedy yang mengejutkan:

Eliza Doolittle: “Come on, Dover! Come on, Dover! Move your bloomin' arse!

Lagi-2, dialog ini tidak main-2 -- untuk mengucapkannya memerlukan penjiwaan yang tinggi. Tidak berhenti sampai di sini saja, Eliza tampil lebih mengejutkan lagi dalam:

2) Scene Embassy Ball; ketika Eliza dengan gaun pestanya turun dari tangga ... wow, tidak hanya memukau, tetapi sekaligus mengharukan. Vocal Hepburn tiba-2 berubah menjadi husky (seperti orang yang kehabisan suara) dan raut wajahnya berubah menjadi sendu/melankolis. Ketika Professor Higgins beranjak pergi meninggalkan ruangan sementara Eliza berdiri dengan tenang menunggunya di belakang dan Higgins kemudian menyadari kesalahan tersebut dan langsung berbalik menjemput Eliza ... ha, 1 - 0 untuk Eliza! :-)

Tidak mengherankan produser Jack Warner mati-2an menginginkan Hepburn memainkan peran Eliza.

Disamping kehebatan dialog dan musik, My Fair Lady adalah kehebatan visual. Cukor tidak menyia-nyiakan desain produksi dan desain kostum garapan fotografer Cecil Beaton. Bersama dengan ciematographer Harry Stradling, Cukor juga berhasil memasukkan kekayaan dan detil visual ke dalam filmnya, mulai dari stylization scene pacuan kuda sampai ke segala pernik peralatan aneh yang ada dalam ruang laboratorium Professor Higgins :-)

Pujian khusus perlu diberikan kepada Cecil Beaton: desain kostumnya dengan tepat menggambarkan desain gaun dari jamannya; yang saat itu desainnya mirip seperti yang dikatakan Coco Chanel -- seperti korden atau dekorasi kue tart :-) Menarik melihat perbedaan antara gaun yang dikenakan Eliza dalam scene pacuan kuda, yang notabene pilihan Colonel Pickering -- dia memilih desain Inggris, dan gaun yang dikenakan Eliza dalam scene Embassy Ball, yang notabene pilihan Professor Higgins -- dia memilih desain Perancis. Gaun yang dikenakan Eliza dalam scene Embassy Ball ini ternyata mirip seperti desain Coco Chanel: simple yet elegant. Dengan kata lain, modern. Dengan gaun modern ini (bahkan sampai saat ini!) Hepburn tampil stand-out di antara wanita-2 lain yang mengenakan gaun dari  jamannya. Yes, long live Coco Chanel :-)

All in all, My Fair Lady adalah film dengan dialog yang tajam, musik yang indah, dan visual yang menakjubkan. Betul-2 komplit.

Professor Higgins: “MOTHER! MOTHER!
Mrs. Higgins: “What is it, Henry? What's happened?
Professor Higgins: “She's gone.
Mrs. Higgins: “Well, of course, dear, what did you expect?
Professor Higgins: “What ... what am I to do?
Mrs. Higgins: “Do without, I suppose.
Professor Higgins: “And so I shall! If the Higgins oxygen burns up her little lungs, let her seek some stuffiness that suits her. She's an owl sickened by a few days of my sunshine. Very well, let her go, I can do without her. I can do without anyone. I have my own soul! My own spark of divine fire!
Mrs. Higgins: “Bravo, Eliza!

2 - 0 untuk Eliza! :-)

Klasik.



My Fair Lady dapat anda temukan di eBay.com

Friday, 25 July 2014

Pygmalion

Pygmalion ★★★★★

Social Mobility: From rags to riches ...

Menuju masyarakat yang égalitaire: Yang lemah bisa menjadi kuat, yang miskin bisa menjadi kaya, yang bawah bisa menjadi atas ...

Walk? Not bloody likely. I'm going in a taxi!

Tahun Keluar: 1938
Negara Asal: Inggris
Sutradara: Anthony Asquith, Leslie Howard
Cast: Leslie Howard, Wendy Hiller, Wilfrid Lawson, Marie Lohr, Scott Sunderland

Cerita drama pemenang Nobel Kesusastraan tahun 1925, karya penulis dan kritikus sosial asal Irlandia, George Bernard Shaw, ini tidak pernah lapuk ditelan pergantian jaman. Selama manusia masih terus berjuang (bertengkar, berselisih paham, atau 'eker-2an') mencapai masyarakat yang adil dan makmur, cerita Pygmalion ini akan terus terasa relevan. Sedemikian baiknya tulisan Shaw ini sehingga ceritanya dapat dengan versatile tertransformasi secara mulus dari medium aslinya, teater, ke medium-2 yang lain, a.l.: film -- Pygmalion (1938), teater musik -- My Fair Lady (1956), atau mungkin yang paling terkenal, film musik -- My Fair Lady (1964).

Sebagai orang Irlandia -- yang republik (rakyat jelata), yang tinggal di Inggris -- yang  monarki/kerajaan (didominasi oleh kelompok aristokrat), tidaklah sulit bagi Shaw untuk melihat bahwa di negeri adopsinya ini superioritas adalah garis keturunan atau hasil warisan, bukan hasil usaha sendiri. Superiority was inherited, not earned. Namun demikian, pengamatan sosial yang tajam ini tidak terjadi unik di Inggris saja, tetapi juga di negara-2 yang lain, misalnya: seorang anak menikmati status atau privilege orangtuanya, melulu karena garis keturunan atau hasil warisan, bukan karena usahanya sendiri. Sebagai seorang socialist-republican, Shaw mengidolakan masyarakat dengan Social Mobility yang tinggi, artinya masyarakat dimana rakyatnya mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan taraf kehidupannya, tidak peduli dari mana asal-usul atau latar belakangnya, atau bahkan apa jenis kelaminnya. Dengan kata lain, masyarakat yang égalitaire -- masyarakat yang tidak berkelas; tidak ada dikotomi kelas kuat - kelas lemah, kelas kaya - kelas miskin, kelas atas - kelas bawah, atau kelas pria - kelas wanita. Dengan tema yang universal ini tidak mengherankan karya Shaw ini masih terus relevan sampai saat ini.

Suatu saat di suatu malam yang hujan deras, di daerah gedung-2 opera di Covent Garden, London, seorang wanita penjual bunga, Eliza Doolittle (Wendy Hiller), menjadi subyek polemik antara seorang guru besar Phonetics, Professor Higgins (Leslie Howard), dan seorang ahli Phonetics yang lain, Colonel Pickering (Scott Sunderland). Tanpa menghiraukan kehadiran dan perasaan Eliza, Professor Higgins berdalil bahwa gaya berbicara seseorang sangat menentukan prospek orang tersebut dalam masyarakat: gaya berbicara selokan akan menempatkan pembicaranya di selokan juga, atau sebaliknya. Pandai tetapi tinggi hati, Professor Higgins tidak dapat menahan keinginannya untuk memamerkan kehebatannya sebagai ahli Phonetics: dia bertaruh kepada Colonel Pickering bahwa dia mampu mengajar Eliza berbicara seperti wanita dari kelas atas, sedemikian rupa sehingga dia bisa bekerja di toko bunga atau bahkan disangka sebagai wanita berdarah biru di pesta dansa di Buckingham Palace.


Mendengar pembicaraan mereka tentang dirinya, Eliza diam-2 tertarik mencoba dalil tersebut. Keesokan harinya, Eliza datang tanpa diundang ke rumah Professor Higgins dan memintanya mengajarinya berbicara seperti wanita dari kelas atas. Tidak menyangka dalilnya ditanggapi secara serius, Professor Higgins mentah-2 menolak permintaan tersebut dan mengolok-2 keinginan Eliza tersebut. Tetapi Eliza bersikeras dan mendesak terus. Tidak setuju dengan sikap Professor Higgins terhadap Eliza, Colonel Pickering akhirnya turun tangan, mengingatkan Professor Higgins bahwa dia memang bertaruh seperti itu, dan dia bersedia menerima taruhan tersebut -- taruhannya: dia akan mengganti seluruh biaya belajar Eliza kalau Professor Higgins berhasil membuktikan dalilnya. Tidak bisa mundur dari tantangan tersebut,  Professor Higgins setuju.

Maka dimulailah proses belajar-mengajar 24 jam sehari, 7 hari seminggu, antara Professor Higgins dan Eliza. Kalau Professor Higgins akan mengajari Eliza berbicara dengan baik, Eliza akan berusaha mengajari dia empati dan kerendahan hati.


Cerita berpusat pada pertemuan dua ego raksasa: yang satu milik guru besar Phonetics, Professor Higgins, yang lainnya milik wanita penjual bunga, Eliza Doolittle. Tidak perlu disangsikan lagi “kebesaran” ego Professor Higgins: snobbish, chauvinist, misogynist, sexist ... yang semuanya artinya sama :-) : merasa dirinya paling wahid. Namun demikian, “ketegaran” ego Eliza-lah yang berhasil menahan serangan sarkasme dan prejudice dari Professor Higgins yang berusaha menjatuhkan harga dirinya.

Professor Higgins: “You know, it's almost irresistible. She's so deliciously low. So horribly dirty.

Demikian juga dengan pemicu plot dalam cerita ini: Eliza-lah yang menggerakkan plot dalam cerita ini -- Eliza-lah yang berinisiatif datang ke rumah Professor Higgins dan memintanya mengajarinya. Shaw dengan cermat menulis dialog-2 tajam yang menampilkan betapa kelirunya prejudice Professor Higgins terhadap Eliza, bahwa orang dari kelas bawah itu tidak punya harga diri, tidak punya ambisi, tidak mengerti ekonomi, terlebih lagi wanita ... tidak punya otak. Well, Eliza tanpa tedeng aling-2 melawan semua prejudice tersebut, misalnya:

Eliza Doolittle: “I know what lessons cost as well as you do, and I'm ready to pay.

Namun demikian, Shaw tidak melupakan sisi humor dalam dialog-2 yang serius tersebut, misalnya:

Professor Higgins: “How much do you propose to pay me for the lessons?
Eliza Doolittle: “Oh, I know what's right. A lady friend of mine gets French lessons for eighteen pence an hour from a real French gentleman. Well, you wouldn't have the face to ask me the same for teaching me my own language as you would for French; so I won't give more than a shilling. Take it or leave it.

1 - 0 untuk Eliza! :-)

Dan masih ada banyak dialog-2 tajam yang lain -- serius sekaligus lucu dan menggelitik, yang akhirnya melampaui batas-2 taruhan awalnya:

Benarkah gaya berbicara adalah satu-2nya tanda yang mencerminkan status seseorang? Bagaimana kalau  topik atau subyek pembicaraannya nyaris nihil?

Eliza Doolittle: “The rain in Spain stays mainly in the plain. In Hertford, Hereford and Hampshire, hurricanes hardly ever happen.

atau tetap sama seperti semula:

Eliza Doolittle: “My aunt died of influenza. So they said. But it's my belief they done the old woman in.
Mrs. Higgins: “Done her in?
Eliza Doolittle: “Yes, Lord love you! Why should she die of influenza? She come through diphtheria right enough the year before. I saw her with my own eyes. Fairly blue with it, she was. They all thought she was dead; but my father he kept ladling gin down her throat til she came to so sudden that she bit the bowl off the spoon.

Bagaimana dengan sikap atau tingkah-laku? Bukankah hal ini juga tanda yang mencerminkan status seseorang?

Bagaimana dengan uang? Bagaimana dengan orang yang berbicara, bersikap/bertingkah-laku seperti orang dari kelas atas, tetapi tidak punya uang? (dalam cerita ini: keluarga Eynsford-Hill yang dijuluki sebagai “social climber” :-) ) Atau sebaliknya, orang yang berbicara, bersikap seperti orang dari kelas bawah, tetapi ternyata punya uang? (dalam cerita ini: ayah Eliza yang tiba-2 menjadi kaya gara-2 mewarisi kekayaan seorang jutawan Amerika yang tidak percaya dengan sistem di Inggris). Sejak itu, walaupun gaya bicara dan sikapnya sama seperti semula, ayah Eliza langsung naik kelas menjadi “gentleman” :-)

Untuk Eliza sendiri (wanita pada jamannya), setelah dia berhasil menjadi “lady”, so what ... ??! Ke-“lady”-annya tersebut bisa digunakan untuk apa? Ternyata hanya bisa digunakan untuk kawin. Yang menurut kelas atas hal ini adalah hal yang membanggakan, tetapi untuk Eliza hal ini justru tragis dan memalukan.

Eliza Doolittle: “I sold flowers! I didn't sell myself! Now you've made a lady of me, I'm not fit to sell anything else.

Yes, 2 - 0 untuk Eliza! :-)


Kritik sosial yang dilempar Shaw, solusi yang ditawarkan Professor Higgins, ternyata membuka “can or worms” -- membongkar masalah-2 yang lain yang lebih pelik. Dan inilah open-ending, akhir yang terbuka, yang meninggalkan penonton bertanya-2: Bagaimana nasib Eliza selanjutnya?

Sayangnya, di luar dunia teater dan sastra, karya George Bernard Shaw ini kurang mendapat penghargaan untuk pengaruhnya terhadap class-consciousness -- perjuangan menuju masyarakat yang lebih adil, masyarakat yang tidak berkelas, dan khususnya terhadap feminisme -- perjuangan menuju masyarakat dengan kesetaraan gender.

Klasik.



Pygmalion dapat anda temukan di eBay.com

Sunday, 6 July 2014

The Stepford Wives

The Stepford Wives ★★★★☆

Ideal: Standard kesempurnaan ciptaan manusia yang tidak manusiawi ...

If I am wrong, I'm insane. But if I'm right, it's even worse than if I was wrong.

Tahun Keluar: 1975
Negara Asal: USA
Sutradara: Bryan Forbes
Cast: Katharine Ross, Paula Prentiss, Peter Masterson, Patrick O'Neal

Dialog di atas dengan sangat perseptif meringkas perasaan protagonis tentang situasi yang terjadi dalam drama horor, sekaligus kritik sosial, karya penulis Ira Levin ini.

Karya Levin yang lain yang mungkin anda kenal adalah Rosemary's Baby -- yang juga sudah difilmkan dengan Mia Farrow sebagai pemeran utama dan Roman Polanksi sebagai sutradara. Kalau anda dapat menerima (menikmati) Rosemary's Baby, yang notabene adalah cerita horor klenik, meskipun anda mungkin bukan orang yang percaya dengan klenik -- setan gundul, sundel bolong, atau yang lainnya :-), maka anda semestinya dapat juga menerima The Stepford Wives, yang notabene adalah cerita horor science fiction. Anda tidak perlu menjadi believer dalam hal apapun, cukup imajinasi saja, untuk dapat menikmati science fiction. Am I right?!

Keluarga muda Joanna (Katharine Ross) dan Walter Eberhart (Peter Masterson), dan dua anaknya, pindah dari hiruk-pikuk kota New York ke aman dan tenteram kota Stepford di negara bagian Connecticut. Alasan utamanya, kota kecil ini cocok untuk membesarkan keluarga -- rumahnya besar, halamannya luas, dan untuk Joanna sendiri dia bisa mempunyai kamar gelap untuk menyalurkan bakat fotografinya. Walaupun mula-2 keputusan pindah tersebut nampak seperti keputusan bersama, scriptnya dengan cepat menunjukkan bagaimana Walter meng-fait accompli istrinya terhadap keputusan tersebut -- dan, as a matter of fact, keputusan-2 yang lain. Kebosanan dengan cepat menghinggapi Joanna, bukan melulu karena kota Stepford yang sepi, tetapi karena penduduk wanita sebayanya tidak mempunyai inklinasi intelektual seperti dirinya. Dengan suaminya bersosialiasi sendiri dalam Men's Association (klub khusus pria), dan tetangga sebelahnya, Carol (Nanette Newman), bersikap submisif seperti wanita dari era Jane Austen :-), Joanna lebih senang menyendiri saja.

Situasi mulai berubah ketika pada suatu hari Bobbie (Paula Prentiss), pendatang baru juga seperti dirinya, mendatanginya dan mengajaknya berteman. Bagaikan kutub utara bertemu dengan kutub selatan, Joanna dan Bobbie langsung berteman akrab, dan mereka mulai mencari wanita-2 sebaya pendatang baru yang lain, tetapi cuma menemukan satu saja, Charmaine (Tina Louise). Ketiganya mempunyai pendapat dan perasaan yang sama terhadap kaum wanita di kota Stepford, mereka berusaha mengorganisir pertemuan yang disebut dengan consciousness/awareness raising: membicarakan segala macam topik mulai dari sosial sampai politik. Tetapi usaha mereka mengumpulkan kaum wanita di kota ini menemui jalan buntu, karena mereka sama sekali tidak tertarik: ada yang tertariknya nyetrika saja, ada yang tertariknya bersih-2 rumah dan masak saja, ada yang tertariknya berkebun saja :-) Bahkan setelah Joanna mem-“blackmail” para suami untuk “mengutus” istrinya datang ke pertemuan tersebut, hasilnya tetap nihil. Tetapi yang membuat Joanna dan Bobbie kecewa berat, sekaligus terheran-2, adalah ketika beberapa hari kemudian Charmaine berubah total menjadi submisif seperti wanita-2 yang lain di kota ini. Berusaha memahami perubahan drastis tersebut, Bobbie mempunyai teori bahwa mungkin ada semacam konspirasi, disengaja atau tidak disengaja, yang mencemari atau meracuni persediaan air minum di kota ini yang menyebabkan kaum wanitanya berubah menjadi submisif -- mempertimbangkan banyaknya industri high-tech di kota ini.

Bobbie: “I think there's something in the water that turns us into house fraus.” :-)

Beberapa hari kemudian, ketika Bobbie juga berubah total menjadi submisif, Joanna tidak dapat lagi menyembunyikan ketakutan dan rasa paniknya, menyadari bahwa target berikutnya adalah dirinya!

Apa yang terjadi pada  kaum wanita di kota Stepford?

Benarkah prasangka Joanna?

Joanna: “If I am wrong, I'm insane. But if I'm right, it's even worse than if I was wrong.

Sama seperti Rosemary's Baby (1968), script dan arahan film ini berhasil dengan sangat pas menangkap esensi dari cerita yang ada -- gosip yang ada menyebutkan sutradara Bryan Forbes terpaksa “melembutkan” script William Goldman (Butch Cassidy and the Sundance Kid, All the President's Men, Marathon Man, Misery) karena script tersebut dinilai terlalu horor, terutama bagian akhirnya. Goldman menggunakan pendekatan slow-burning: plot terkuak secara perlahan-2, seakan-2 sepele atau dapat kita abaikan, tetapi ketika kita menyadarinya, semuanya sudah terlambat. Arahan Forbes terhadap akting para cast-nya juga subtle (tidak kentara): kita merasa ada sesuatu yang ganjil, tetapi perasaan tersebut tidak sampai membangkitkan kecurigaan ... sampai ketika kita menyadarinya, dan saat itu kita sudah kecolongan :-)

Penggunaan lensa soft-focus turut menciptakan nuansa surealis yang berhasil dengan sangat baik mencampur antara realitas dan mimpi (dhi, mimpi buruk). Penggunaan musik bernada mengancam di antara musik utama yang bernada romantis betul-2 “menangkap” penonton dalam keadaan tidak siap. Namun demikian, kalau anda teliti, script Goldman ini sesungguhnya menjatuhkan banyak clue/hint di sepanjang film, misalnya: di awal film, seorang pria menyeberang jalan sambil membawa mannequin, dialog Walter dengan tetangga sebelahnya, Ted, pada hari pertama kepindahan mereka di Stepford:

Walter: “She cooks as good as she looks, Ted,

insiden di supermarket, dialog antara Walter dan Joanna di tengah malam setelah Walter datang untuk pertama kalinya di Men's Association, atau juga efek-2 suara synthesizer yang tajam dan memekakkan telinga pada momen-2 tertentu.


Satu adegan yang memorable, mula-2 membosankan tetapi kemudian berubah menjadi creepy, menakutkan, yaitu ketika teman-2 Walter dari Men's Association datang berkunjung ke rumah mereka, ngobrol ngalor-ngidul ndak karuan juntrungnya, tetapi ada satu orang yang membuat sketsa wajah Joanna -- luar biasa persisnya sampai membuat bulu kuduk penulis berdiri.

Dale: [Joanna is brewing coffee] “I like to watch women doing little domestic chores.
Joanna: “You came to the right town.

Namun demikian, film ini bukannya tanpa humor. Ketika menonton pertama kalinya, penulis memang kelewatan menikmati humor gelap yang ada. Tetapi menonton kedua kalinya, penulis bisa tertawa terpingkal-2 menyaksikan adegan ketika Joanna dan Bobbie berusaha mengumpulkan kaum wanita di kota Stepford untuk datang ke pertemuan mereka dan gagal total.

Mary: “I'm sorry. I just can't waste my spare moments on something like that.
Joanna: “But you do go out sometimes don't you?
Mary: “Go out??? ... ... Of course I go out. I'm out now, aren't I?” :-)

Sebagian film critic ternama, a.l. Roger Ebert, tidak menyukai pendekatan Forbes dan Goldman yang mereka nilai “berlebihan”, maksudnya terlalu serius dan gelap. Anehnya, mereka menyarankan pendekatan satir komedi -- dan saran ini ternyata terwujud dalam remake film ini, dengan judul yang sama pada tahun 2004, dengan Nicole Kidman sebagai pemeran utama; dan hasilnya: mengerikan, rubbish! :-) Lucunya, di lain pihak, Women's Lib menuduh film ini sebagai anti wanita -- entah mengapa, mungkin karena di akhir film protaganisnya kalah.

Tetapi untuk penulis, akhir dari protagonis yang mengenaskan ini, dilanjutkan dengan scene penutup yang seakan-2 mengabaikan semua peristiwa yang terjadi sebelumnya, justru membuat bulu kuduk penulis berdiri; dan kritik sosial dari cerita ini justru bergema lebih keras sampai ke sudut-2 yang paling jauh: Ideal adalah standard kesempurnaan ciptaan manusia yang tidak manusiawi -- dan tidak perlu disangsikan lagi, melanggar hak asasi manusia.


Joanna: “Hello, Bobbie.
Bobbie: “Oh, hello, Joanna.
Joanna: “How are you?
Bobbie: “I'm fine. How are you?
Joanna: “I'm fine. How are the children?
Bobbie: “Fine ...

Film ini dibuat sebelum film-2 tentang humanoid, seperti Blade Runner (1982), menjadi tren populer. Dan sampai saat ini, film ini terus menciptakan pro dan kontra.

It's a cult classic.



The Stepford Wives dapat anda temukan di eBay.com

Wednesday, 25 June 2014

The Misfits

The Misfits ★★★★☆

A Lost Soul: Bagaikan kapal yang berlabuh tanpa jangkar ...

If I'm going to be alone, I want to be by myself.

Tahun Keluar: 1961
Negara Asal: USA
Sutradara: John Huston
Cast: Clark Gable, Marilyn Monroe, Montgomery Clift, Thelma Ritter, Eli Wallach

Dalam release perdananya, film ini memperoleh review yang beragam dari penonton (film critic) -- sebagian besar negatif, mungkin karena produksi film ini diselimuti oleh gosip negatif mulai dari kematian Clark Gable -- dia menderita serangan jantung dua hari setelah shooting selesai dan meninggal dunia sepuluh hari kemudian, konon gara-2 suhu panas (42 derajat Celcius) di setting film ini di Reno, Nevada, dan gara-2 dia melakukan stunt sendiri dalam scene dimana dia diseret sejauh 120 meter dengan kecepatan sekitar 50 km/jam melalui gurun kering dan tandus oleh seekor kuda liar; sampai ke “kekacauan” dalam setting film ini -- Marilyn Monroe keluar-masuk rehab gara-2 kecanduan obat bius, dan revisi berkali-2 dari script film ini sementara perkawinan antara Arthur Miller, si penulis script, dan Monroe mengalami kehancuran (mereka akhirnya bercerai setelah shooting selesai). Namun demikian, dengan berjalannya waktu apresiasi penonton berubah menjadi positif -- penonton mulai menyadari bahwa film ini mungkin adalah cukilan biografi Monroe yang paling akurat dari orang/penulis yang paling memahami dirinya. Memang betul, suami tidak otomatis menjadi orang yang pendapatnya paling obyektif tentang istrinya -- biasanya justru sebaliknya :-), tetapi Miller adalah seorang penulis -- karya-2nya a.l. Death of a Salesman, The Crucible, yang notabene pakar dalam mengamati “the innards” karakter dari seseorang. So, I think, he deserves some credit. Tetapi Miller tidak mengungkapkannya secara blak-2an. Walaupun tokoh utama dalam film ini hanya satu, judul film ini adalah The Misfits, bukan The Misfit. Lima tokoh dalam film ini, masing-2 to a certain degree, adalah “misfit” -- orang yang tidak cocok dengan lingkungan dimana dia berada.

Cerita diawali dengan Roslyn (Monroe) pindah ke Reno, Nevada, untuk mendapatkan perceraian dari suaminya. Dia indekos di rumah Isabelle (Thelma Ritter), juga seorang wanita yang bercerai. Beberapa saat setelah perceraian, Roslyn dan Isabelle merayakan hari “kemerdekaan” tersebut dengan minum di sebuah bar dan di sana mereka bertemu dengan Guido (Eli Wallach), mekanik yang mereparasi mobil Roslyn, dan temannya, Gay (Gable), seorang cowboy berusia setengah baya. Setelah berkenalan mereka berempat sepakat pergi ke luar kota, ke rumah Guido di pedalaman Nevada untuk ... “just live.

Guido: “Have you ever been outside Reno, Ms. Taber?
Roslyn: “Once I walked to the edge of town; doesn't look like there's much out there.
Gay: “Everything's there!
Roslyn: “Like what?
Gay: “The country!
Roslyn: “Well, what do you do with yourself?
Gay: “Just live.
Roslyn: “How does anyone "just live"?
Gay: “Well, you start by going to sleep. You get up when you feel like it. You scratch yourself. You fry yourself some eggs. You see what kind of a day it is; throw stones at a can, whistle.” :-)


Beberapa waktu kemudian Guido dan Gay mengajak Roslyn pergi melihat mereka berburu kuda liar. Di tengah perjalanan mereka merekrut Perce (Montgomery Clift), seorang pemain rodeo, untuk membantu mereka. Kemanapun Roslyn pergi, dimanapun dia berada, dirinya adalah magnet bagi semua pria yang melihatnya. Demikian juga dengan ketiga pria ini: Guido berharap, tetapi dia tidak mampu bersaing dengan Gay yang jauh lebih berkharisma, sedang Perce hanya mampu menarik belas kasihan Roslyn. Dinamika persahabatan, sekaligus persaingan, di antara ketiga pria ini menjadi latar belakang dari emotional conflict/emotional turmoil yang dialami Roslyn dalam menemukan jati dirinya. Cerita diakhiri dengan Gay mengalah secara tulus dan sikapnya ini nampaknya berhasil “menyembuhkan” apapun emotional turmoil yang ada dalam diri Roslyn.

Gay: “What makes you so sad? You're the saddest girl I ever met.
Roslyn: “You're the first man who's ever said that. I'm usually told how happy I am.

Arahan dari John Huston (The Maltese Falson, The Treasure of the Sierra Madre, Key Largo, The African Queen), sangat membantu mengekspresikan realism dalam film ini. Dengan setting flora dan fauna yang gersang dan liar, Gable nampak tua, capek, tetapi langsung bersemangat ketika melihat Monroe :-), Monroe nampak sedih walaupun dia tersenyum, dan Clift nampak vulnerable, rapuh. In fact, kelima tokoh dalam film ini, masing-2 to a certain degree, vulnerable, rapuh. Entah akting, entah scriptnya memang menceritakan situasi yang ada secara betulan, penampilan mereka dalam film ini sangat cocok dengan karakter-2 yang mereka mainkan. Arahan Huston berhasil menghasilkan tiga scene yang memorable, yaitu: 1) Scene Monroe bermain paddle-ball yang hampir saja menimbulkan perkelahian di dalam bar :-), 2) Scene Clift bermain rodeo, dimana dia terpelanting dua kali dari punggung kuda dan punggung banteng yang membuatnya gegar otak, 3) Scene perburuan kuda liar (seandainya film ini dibuat sekarang film ini pasti diboikot karena scene ini menampilkan kekejaman terhadap binatang) yang membuat emosi Monroe meletup:      
 
Roslyn: “Horse killers! Killers! Murderers! You're liars! All of you, liars! You're only happy when you can see something die! Why don't you kill yourself to be happy? You and your God's country! Freedom! I pity you! You're three dear, sweet, dead men!

juga konon akhirnya membunuh Gable.

Wow, what a film!

Could this be a snippet of Monroe's life? Maybe.



The Misfits dapat anda temukan di eBay.com

Thursday, 12 June 2014

Grace of Monaco

Grace of Monaco ★★★☆☆

Fairytale yang mengecewakan banyak pihak ...

Tahun Keluar: 2014
Negara Asal: USA, Perancis
Sutradara: Olivier Dahan
Cast: Nicole Kidman, Tim Roth, Frank Langella, Derek Jacobi

Diawali dengan antisipasi positif ketika proyek ini dimulai, karena sang sutradara adalah pengarah film La Vie en rose (2007), biopic dari penyanyi Perancis legendaris, Edith Piaf, yang berhasil mengantar pemeran utamanya, Marion Cotillard, ke piala Oscar untuk Aktres Terbaik, tetapi kemudian dilanjutkan dengan ketidakpastian tanggal release perdana-nya: mula-2 akhir November 2013 (memberi sinyal film ini bakalan masuk kompetisi Oscar), kemudian diundur ke Maret 2014 (memberi sinyal yang kebalikan -- waktu setelah Oscar adalah waktu untuk film-2 jelek dikeluarkan :-) ), kemudian diundur lagi ke waktu yang tidak ditentukan, kemudian tiba-2 membuka Festival Film Cannes 2014 pada bulan Mei 2014 tanpa mengikuti kompetisinya; Grace of Monaco diakhiri dengan antisipasi negatif dari para penonton (film critic).

Cerita dalam film ini berkisar di beberapa bulan saja pada tahun 1962. Saat itu Grace Kelly (Nicole Kidman) adalah ibu dari dua anak, istri dari Pangeran Rainer dari Monaco (Tim Roth), dan nampak tidak bahagia dengan perannya sebagai puteri Monaco. Alfred Hitchcock (Roger Ashton-Griffiths)  datang berkunjung ke istana menawari aktres favoritnya ini tampil dalam film terbarunya, Marnie. Di sisi istana yang lain, Pangeran Rainer disibukkan dengan masalah politik dengan negara tetangga terdekatnya, Perancis, gara-2 ada banyak perusahaan dan warga negara kaya Perancis yang pindah ke Monaco karena di negara ini tidak ada pajak pendapatan, dan Presiden Perancis saat itu, Charles de Gaulle, menuntut Monaco membayar pajak (maksudnya, ganti rugi) senilai pajak yang semestinya jatuh ke kas negara Perancis tersebut. Grace ingin sekali menerima tawaran Hitchcock tersebut, tetapi keinginannya ini menemui perlawanan sengit dari pihak istana. Sementara itu pertikaian antara Monaco dan Perancis semakin memuncak dengan Monaco bersiteguh tidak mau didikte dan Perancis mulai meluncurkan ultimatum: mula-2 dengan memblokir jalan keluar-masuk antara Monaco dan Perancis, kemudian dengan mengancam akan menyerbu Monaco! :-) Di antara konflik tersebut, Grace berkonsultasi dengan dua orang kepercayaannya: Father Francis Tucker (Frank Langella), seorang imam juga salah satu dari penasehat istana, dan Count Fernando D'Ailieres (Derek Jacobi), mentor pribadinya. Film berakhir dengan Grace menolak tawaran Hitchcock tersebut dan mengadakan charity ball untuk Palang Merah dimana dia mengundang kepala negara-2 dunia, termasuk John F. Kennedy (diwakili oleh Robert McNamara, Menteri Pertahanan) dan de Gaulle sendiri. Setelah Grace mengucapkan pidatonya: “I believe in fairytales ... ”, McNamara berbisik ke de Gaulle: “You're not really gonna drop a bomb on Princess Grace, are you, Charles? ” Tentu saja tidak. Perancis tidak pernah menyerbu Monaco, apalagi menjatuhkan bom di atas Grace Kelly :-)

Tanpa mengetahui sejarah sesungguhnya, peran Grace dan konflik yang ada dalam film ini terasa unconvincing atau tidak meyakinkan, alias (terlalu) didramatisir atau dilebih-2kan -- Monaco bukanlah kerajaan besar seperti Inggris yang posisi dan politiknya diperhitungkan. Scriptnya terasa memaksakan peran tersebut dalam resolusi terhadap konflik yang sesungguhnya tidak seberapa; ditandai dengan dialog-2 yang canggung -- dan yang paling canggung (“I believe in fairytales ... ”) justru terletak di bagian yang paling penting. Beberapa saat setelah film ini tampil di Cannes, pihak Monaco membantah keakuratan peran Grace tersebut dan pihak Perancis membantah keakuratan konflik  yang ada. Untuk penulis, tanpa masuk dalam perdebatan seberapa akurat atau tidak akurat dua point di atas, tema fairytale dengan pesan: “the greatest role Grace Kelly would ever play” seperti yang tercantum dalam poster film ini terasa meleset mengenai sasarannya.

In my humble opinion, cerita fairytale Grace Kelly justru terletak ketika dia berada di Hollywood dan diakhiri dengan perkawinannya dengan Pangeran Rainer. That's a fairytale! Setelah perkawinan, sudah bukan fairytale lagi, malah sebaliknya :-) Inilah salah kaprah ekspektasi yang universal menjangkiti kita semua.

Premise cerita yang menjanjikan, tetapi penyampaiannya tidak meyakinkan.



Grace of Monaco dapat anda temukan di eBay.com