Wednesday, 29 August 2012

Hugo

Resensi Film: Hugo (7.8/10)

Tahun Keluar: 2011
Negara Asal: USA
Sutradara: Martin Scorsese
Cast: Asa Butterfield, Ben Kingsley, Chloë Grace Moretz, Sacha Baron Cohen

Plot: Hugo Cabret, seorang anak yatim piatu, sementara survive sendirian di menara jam di stasiun kereta api Gare Montparnasse, Paris, mempunyai misi mengaktifkan kembali automaton, sebuah robot manusia, yang dia yakini menyimpan pesan dari almarhum ayahnya (IMDb).

Hugo Cabret (Asa Butterfield), seorang anak yatim piatu, survive sendirian di menara jam di stasiun kereta api Gare Montparnasse. Di awal film kita melihat Hugo bekerja sendirian memelihara beberapa jam dinding di stasiun tersebut -- menuju akhir film kita baru mengetahui bahwa pamannya yang semestinya menjadi pengasuhnya ditemukan tenggelam di sungai Seine. Tidak memiliki pengasuh, Hugo mesti bekerja secara sembunyi-2; dan kalau dia keluar dari tempat persembunyiannya, dia mesti main petak-umpet dengan kepala stasiun (Sacha Baron Cohen) yang selalu siap mengirim anak gelandangan ke rumah yatim piatu. Selain survive, Hugo mempunyai misi mengaktifkan kembali automaton, sebuah robot manusia, yang dia terima dari ayahnya sebelum dia meninggal dunia dalam kebakaran yang melalap museum tempat kerjanya. Hugo yakin robot manusia yang bisa menulis ini menyimpan pesan dari almarhum ayahnya. Untuk memperbaiki mesin ini, Hugo mencuri peralatan dari seorang tua (Ben Kingsley) yang membuka kios penjual mainan anak-2 di stasiun kereta api. Suatu hari ketika dia datang mengendap-2 ke kios tersebut untuk mencuri suatu peralatan, dia ketangkap basah! Selain meminta kembali peralatan yang dia curi darinya, orang tua tersebut menyita buku kecil milik Hugo (ayah Hugo) yang berisi informasi teknis tentang robot manusia tersebut, setelah dia "terkejut" melihat isi di dalamnya. Maka, dimulailah cerita yang sesungguhnya: Berhasilkah Hugo mendapatkan kembali buku kecilnya itu? Siapa orang tua tersebut? Mengapa dia begitu bitter (senewen) terhadap buku kecil tersebut?

Drama fiktif berlatar belakang sejarah, adaptasi dari novel berjudul "The Invention of Hugo Cabret" karya Brian Selznick ini adalah film pertama Martin Scorsese yang di-shot dengan teknologi 3D. Dalam wawancaranya Scorsese mengatakan, "Saya menemukan 3D sangat menarik, para aktornya lebih kentara emosinya -- sekecil apapun gerakannya, sekecil apapun intensinya, semuanya tertangkap dengan lebih tepat." Yes, indeed, setuju sekali ... penulis juga merasakan hal yang sama ketika menonton film ini dalam format 3D: detil ekspresi dari karakter-2nya terlihat dengan lebih jelas; ketika kepala stasiun (Cohen) berteriak, kita bisa melihat muncratan ludahnya dan gerakan partikel-2 debu di udara di sekitarnya; atau ketika roti croissant dipasok di depan sebuah cafe, kita bisa melihat kepulan udara panas keluar dari roti tersebut. Sayangnya (konsekuensinya), ketika penulis menonton lagi dalam format 2D, efek menakjubkan tersebut berkurang secara dratis. The magic is lost! Dan dari sini, mau tidak mau, yang tersisa adalah ceritanya!

Hugo, mirip seperti The Iron Lady (2011), mengalami mis-representation/salah-representasi antara preview/iklannya dan film sesungguhnya. Kalau The Iron Lady dengan melihat iklannya penonton mengira film ini adalah film political biography dari Margaret Thatcer (padahal bukan), Hugo dengan melihat iklannya penonton mengira film ini adalah film petualangan bergaya The Chronicles of Narnia (padahal bukan). Kekecewaan penonton ini diwujudkan dengan menurunkan rating Hugo di IMDb dari 8.5 ke 7.7. Penulis sendiri datang menonton Hugo tanpa ekspektasi apapun. Bagaimana pendapat penulis setelah menonton untuk kedua kalinya? Pertama, seperti telah disebutkan di atas, efek 3D yang menakjubkan tidak berhasil tertransfer ke format 2D. Kedua, gara-2 itu (the magic is lost), ceritanya jadi kentara terlalu panjang. Namun demikian, penulis sangat appreciate dengan ceritanya yang memperkenalkan sejarah awal perfilman yang tidak banyak diketahui oleh penonton awam: The Lumière Brothers -- pencipta gambar bergerak, dan Georges Méliès -- filmmaker perintis. Salut! Dalam reviewnya Roger Ebert mengatakan: dibandingkan dengan karya-2 Scorsese yang lain, Hugo adalah film yang paling bukan Scorsese, walaupun yang paling dekat dengan hati Scorsese -- big budget, film keluarga, dan mencerminkan hidupnya sendiri. Hugo menerima 5 Oscar untuk Art Direction Terbaik, Cinematography Terbaik, Sound Editing Terbaik, Sound Mixing Terbaik, dan Visual Effects Terbaik.

* 7.8/10

Hugo dapat anda temukan di eBay.com

Friday, 24 August 2012

How Green Was My Valley

Resensi Film: How Green Was My Valley (8.5/10)

Tahun Keluar: 1941
Negara Asal: USA
Sutradara: John Ford
Cast: Walter Pidgeon, Maureen O'Hara, Anna Lee, Donald Crisp, Roddy McDowall

Plot: Perjalanan hidup keluarga Morgan pada akhir abad ke 19 ketika perubahan socio-economic menyapu bersih kota kecil tempat mereka tinggal di daerah pertambangan batubara di lembah Wales selatan (IMDb).

Cerita dimulai ketika Huw Morgan (Roddy McDowall) meninggalkan kota kelahirannya seraya mengenang kembali peristiwa-2 berkesan yang terjadi ketika dia tumbuh dan besar di kota tersebut. Flashback dimulai dengan pemandangan pertambangan batubara yang berkembang, lembah Wales selatan yang hijau, kota yang makmur, dan keluarga yang rukun dan bahagia. Tetapi kemudian masa-2 sulit datang ... ekonomi memburuk, pengangguran merebak, jumlah pencari kerja meningkat, dan perusahaan menurunkan gaji mereka. Komunitas mulai terfragmentasi (satu kelompok melawan kelompok yang lain) dan keluarga mulai terdisintegrasi (anak melawan orangtuanya). Lembah Wales selatan perlahan-2 berubah menjadi gelap dan kumuh. Di tengah kesulitan yang datang bertubi-2 ini keluarga Morgan berjuang mati-2an untuk mempertahankan keutuhan keluarga. Akhirnya, walaupun mereka kalah melawan perubahan socio-economic yang terjadi, mereka tidak pernah kehilangan harga diri mereka. Setelah semua orang yang Huw kenal meninggal dunia atau meninggalkan kota tersebut, dia kemudian memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya juga. Kenangan Huw tersebut juga meliputi kisah asmara antara saudara perempuannya, Angharad (Maureen O'Hara), dan pendeta berkharisma, Mr. Gruffydd (Walter Pidgeon).

Walaupun tidak seefektif karya sebelumnya, The Grapes of Wrath (1940), adaptasi John Ford dari novel dengan judul yang sama karya Richard Llewellyn ini adalah potret budaya dan sejarah yang sangat baik tentang bagaimana efek dari kesulitan ekonomi yang parah dapat secara penuh merubah struktur komunitas dan keluarga pada akhir abad ke 19. Menonton film ini membuat penulis teringat masa kecil diri sendiri -- kakek, nenek, ayah, ibu, saudara-2, semuanya tinggal di bawah satu atap; sama sekali tidak kaya, tetapi makanan selalu tersedia secara cukup ... rukun dan damai. Tetapi kemudian masa-2 sulit datang: komunitas mulai terfragmentasi -- jurang antara yang kaya dan yang miskin mulai meruak, dan keluarga mulai terdisintegrasi -- yang tua meninggal dunia dan yang muda meninggalkan kota kelahirannya untuk mencari penghidupan yang lebih baik di tempat asing. Sekarang, tidak ada lagi sanak keluarga yang tersisa di kota tersebut, semuanya terpencar di empat penjuru dunia. Menyaksikan Huw mengenang kembali masa kecilnya membuat mata penulis berkaca-2 ... oh, betapa miripnya perjalanan hidup keluarga Morgan ini dengan perjalanan hidup keluarga penulis -- pada tingkat pribadi, film ini betul-2 mengena.

How Green Was My Valley secara mengejutkan memenangkan Oscar untuk Film Terbaik, mengalahkan film-2 favorit yang lain pada saat itu, a.l. The Maltese Falcon (1941), Sergeant York (1941), Suspicion (1941), dan film yang sudah bertahan dalam daftar majalah Sight & Sound sebagai Number 1 Greatest Film of All Time selama 50 tahun, Citizen Kane (1941) !!! John Ford memperoleh Oscar-nya yang ketiga untuk Sutradara Terbaik -- dan fim ini tentu saja adalah salah satu dari karya-2 terbaiknya. Pada tahun 1990, film ini terpilih masuk dalam klasifikasi "culturally, historically, or aesthetically significant" dalam United States National Film Registry.

* 8.5/10

How Green Was My Valley dapat anda temukan di eBay.com

Thursday, 23 August 2012

Carnage

Resensi Film: Carnage (7.7/10)

Tahun Keluar: 2011
Negara Asal: France, Germany, Poland, Spain
Sutradara: Roman Polanski
Cast: Jodie Foster, Kate Winslet, Christoph Waltz, John C. Reilly

Plot: Dua pasang orangtua bertemu untuk berekonsiliasi setelah dua anak mereka berantem di halaman bermain (IMDb).

Di sebuah halaman bermain di New York dua anak laki-2 berusia 11 tahun, Zachary dan Ethan, berantem -- Zachary memukul Ethan dengan sebuah tongkat dan merompalkan dua gigi Ethan. Beberapa saat kemudian orangtua Zachary, Nancy dan Alan Cowan (Kate Winslet dan Christoph Waltz) berkunjung ke apartemen orangtua Ethan, Penelope dan Michael Longstreet (Jodie Foster dan John C. Reilly) untuk berekonsiliasi -- meminta maaf atas kelakuan buruk anaknya. Pertemuan yang semestinya cepat dan sederhana ini ternyata berubah menjadi lama dan kompleks: di satu sisi kompromis, di sisi lain antagonis, di satu waktu berlawanan dengan pasangan yang lain, dan di waktu lain berlawanan dengan pasangannya sendiri :-) ; mulai dari ramah karena menjaga sopan-santun sampai kasar karena terus-terang secara blak-2an :-) -- seraya "jerohan" dari masing-2 karakter muncul secara perlahan-2 ke permukaan.

Berdasarkan teater berbahasa Perancis, Le Dieu du carnage (God of Carnage), karya Yasmina Reza, pemenang Tony Award *) untuk Teater Terbaik pada tahun 2009, Carnage adalah "surga"-nya aktor :-) Maksudnya, sama seperti teater (atau film yang diadaptasi dari teater) yang lain, tidak ada yang lain yang bisa kita saksikan di sini selain akting dari para aktornya (!) Kalau anda penggemar cerita-2 sarat akting/karakter, misalnya Who's Afraid of Virginia Woolf?, karya Edward Albee, atau A Streetcar Named Desire, karya Tennessee Williams, walaupun tidak se-intense dua cerita di atas, anda akan menyukai Carnage.

*) Tony Award: Penghargaan tahunan untuk teater-2 yang diproduksi di Broadway, New York.

Walaupun tidak seefektif versi teaternya, dimana alasan pasangan Cowan tidak jadi meninggalkan apartemen pasangan Longstreet terasa lebih masuk akal, arahan dari Roman Polanski yang mulus, set decoration dari Franckie Diago yang elegan dan hangat, dan akting dari keempat tokoh utamanya yang mengesankan berhasil "menempuhi" kekurangan tersebut. Jodie Foster dan Kate Winslet tampil meyakinkan, demikian juga dengan John C. Reilly. Tetapi mungkin Christoph Waltz-lah yang tampil paling efektif dengan penampilannya yang rileks dan terkontrol sebagai eksekutif pabrik farmasi yang tidak bisa lepas dari Blackberry-nya :-) Hanya berdurasi 80 menit, penulis merasa sedih ketika film harus berakhir, karena penulis merasa sudah krasan/tidak ingin meninggalkan apartemen pasangan Longstreet tersebut yang di akhir film nampak semakin hangat karena sinar lampu yang mulai kentara dan warna langit kota New York yang biru tua karena matahari sedang tenggelam.

Oh, please ... may I stay here?

Oh ya, hampir lupa, kalau anda ingin ngliat Kate Winslet muntah di atas coffee table, menciprati yang lainnya -- scene paling lucu dari film ini :-), anda mesti menonton film ini.

* 7.7/10

Carnage dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday, 21 August 2012

Hereafter

Resensi Film: Hereafter (7.5/10)

Tahun Keluar: 2010
Negara Asal: USA
Sutradara: Clint Eastwood
Cast: Matt Damon, Cécile De France, Frankie McLaren

Plot: Tiga orang, di tiga tempat yang berbeda, tersentuh oleh peristiwa kematian dengan cara yang berbeda (IMDb).

Film dibuka dengan Marie Lelay (Cécile De France), seorang jurnalis TV dari Perancis, terperangkap dalam musibah tsunami di Thailand pada tahun 2004 yang lalu dan hampir saja tewas gara-2 itu. Sekembalinya di Paris, dia dihantui oleh penglihatan yang dia alami ketika dia mendekati kematian tersebut. Di San Francisco, George Lonegan (Matt Damon), seorang psychic *), berusaha melepaskan diri dari desakan saudaranya yang menginginkan dia membuka praktek umum -- karena bagi George kemampuan psychic-nya lebih merupakan beban daripada karunia. Di London, dua bersaudara Jason dan Marcus (George dan Frankie McLaren) berusaha melindungi ibunya, seorang ibu tunggal dan pecandu narkotika, dari Social Services **), sampai tragedi merenggut nyawa Jason dan mengirim Marcus ke pencarian yang tidak pernah kita ketahui.

*) Psychic: Orang yang mempunyai kemampuan supra-natural, misalnya berkomunikasi dengan mereka yang sudah meninggal dunia.
**) Social Services: Institusi pemerintah yang mengawasi kesejahteraan anak-2.

Clint Eastwood berusia 80 tahun ketika membuat film ini -- menarik ya melihat bagaimana usia mempengaruhi pilihan topik yang sutradara minati. Ketika menonton film ini, penulis tidak tahu mesti mengharapkan apa, tetapi penulis siap dengan open-mind, mengingat temanya adalah tema supra-natural ... maksudnya, segala sesuatu bisa terjadi, anything can happen. Cara penyajian cerita dalam film ini mengingatkan penulis pada Amores perros (2000) atau reprise-nya, Babel (2006), dari sutradara Meksiko, Alejandro González Iñárritu, yaitu: beberapa cerita berjalan secara paralel, antara satu dan lainnya nampak tidak berhubungan, tetapi menuju akhir ternyata saling berhubungan, mengungkap seluruh cerita sebagai cerita yang menyatu. Script dari Peter Morgan -- penulis The Queen (2006) dan Frost/Nixon (2008), yang konon non-believer ***), justru menampilkan hal yang sebaliknya (!) -- menghasilkan script yang berada di common-ground, sama sekali tidak berusaha mengkotbahi penonton, tetapi hanya menyampaikan pengalaman pribadi dari tiga tokoh utamanya; believer atau non-believer, penonton dapat dengan mudah bersimpati dengan mereka.

***) Non-believer: Orang yang tidak percaya terhadap after-life.

Penulis menemukan Hereafter adalah film yang mengejutkan secara menyenangkan. Pertama, film berakhir dengan topik after-life tetap saja misterius, tetap saja ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Kedua, di tengah film di sebuah scene Didier (Thierry Neuvic) berkomentar terhadap Marie bahwa jika after-life itu memang betul ada, pasti sekarang sudah dapat dibuktikan. Tetapi di akhir film, penonton menyadari bahwa bahkan dalam hidup ini ada banyak hal yang tidak dapat dibuktikan, tetapi dengan kepercayaan yang cukup dan nasib yang baik, semuanya akan "jatuh" dengan pas. Hereafter adalah film yang tidak hanya masuk ke dalam topik after-life, tetapi juga hidup itu sendiri. Eastwood telah melakukan tugasnya dengan baik mengantar penonton tidak hanya masuk ke dalam misteri yang menunggu kita di seberang sana, tetapi juga "misteri" yang ada di depan kita saat ini.

* 7.5/10

Hereafter dapat anda temukan di eBay.com

Friday, 17 August 2012

Planes, Trains and Automobiles

Resensi Film: Planes, Trains and Automobiles (7.8/10)

Tahun Keluar: 1987
Negara Asal: USA
Sutradara: John Hughes
Cast: Steve Martin, John Candy

Plot: Seorang businessman harus melalui berbagai halangan dan rintangan untuk pulang kampung untuk merayakan Thanksgiving (IMDb).

Di setiap negara, dalam setiap budaya, selalu ada hari perayaan dimana penduduknya mudik atau pulang kampung untuk berkumpul dengan keluarganya. Sebagai contoh, di Australia hari tersebut adalah ketika Natal, di China ketika Tahun Baru Imlek, di AS ketika Thanksgiving, dan di Indonesia tentu saja ketika Idul Fitri. Tuntutan tradisi untuk pulang kampung -- no matter what ... tidak peduli apapun halangan dan rintangannya, membuat perjalanan tahunan ini sering menjadi peristiwa yang dramatis! Shopping-centre penuh, parkiran penuh, jalanan macet, terminal bis penuh, stasiun kereta api penuh, bandara juga penuh -- orang berebutan mendapatkan sarana transportasi untuk mencapai tempat tujuannya (omong kasarnya, kalau sampai gak dapet, ya gandolan truk ... :-)).

Dari penulis/pencipta film-2 drama komedi yang hangat dan menyentuh hati, beberapa di antaranya adalah Home Alone (1990), Beethoven (1992), dan 101 Dalmatians (1996), Planes, Trains and Automobiles menyajikan cerita tentang seorang businessman yang terpaksa sharing perjalanan dengan seorang salesman shower curtain ring*) untuk pulang kampung, dari New York ke Chicago, untuk merayakan Thanksgiving. Bisa ditebak, Steve Martin adalah businessman, Neal Page, dan si gendut John Candy adalah salesman, Del Griffith. Penulis, sekaligus sutradara, John Hughes tidak berlama-2 men-set irama film ini; segera setelah open credit selesai, penonton menyaksikan Neal mengalami serentetan "nasib buruk" -- rapatnya diundur, taxinya diserobot orang, pesawatnya ditunda, tiket kelas bisnisnya diturunkan menjadi kelas ekonomi -- kita langsung mempunyai firasat bahwa perjalanan businessman yang uptight dan fastidious ini (cepat stress karena maunya serba tepat dan persis) bakalan hazardous -- difficult, uncertain, unpredictable, insecure, hairy, unsafe, precarious (!) ... :-) Dan kehadiran Del yang rileks dan ceroboh (180 derajat kebalikan dari dirinya) dalam setiap langkahnya semakin memastikan bahwa situasi hazardous tersebut memang bakalan terjadi :-) Apa saja halangan dan rintangan yang mereka hadapi, anda harus menyaksikannya sendiri.

*) Shower curtain ring = gantungan untuk korden shower

Salah satu kualitas dari karya-2 John Hughes yang penulis senangi adalah karakter-2nya selalu mempunyai ciri kemanusiaan yang global/universal. Script-nya, walaupun dari luar nampak sebagai komedi yang ringan, isinya ternyata mengandung tema yang penting, yaitu perhatian terhadap dilemma kemanusiaan yang global/universal dan script-nya berusaha membantu menyelesaikannya. Dalam film ini, dalam waktu dua hari dua malam, Neal Page betul-2 diuji kesabarannya, dan walaupun kehadiran Del Griffith mula-2 nampak sebagai annoyance atau orang yang mengganggu, menuju akhir perjalanan dia (dan penonton!) akhirnya menyadari dinamika dari relationship mereka -- mereka mempunyai banyak hal yang cocok daripada yang mereka sadari.

Tiga scene favorit penulis adalah: 1) ketika mereka terpaksa nginap di motel murahan dan sharing tempat tidur, 2) ketika Steve Martin meluncurkan umpatan dan sumpah-serapah di counter persewaan mobil, dan 3) ketika mereka mengendarai mobil di jalur yang salah di freeway :-) Planes, Trains and Automobiles adalah drama komedi dengan hati yang besar -- setelah semua tawa selesai, filmnya meninggalkan kesan yang menyejukkan hati ... sementara group band "Blue Room" melantunkan lirik lagunya yang melankolis:

Ev'ry time you go away, you take a piece of me with you ...

Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.
Selamat lebaran.
Selamat mudik ... hati-2 di jalan, selamat sampai tujuan!

* 7.8/10

Planes, Trains and Automobiles dapat anda temukan di eBay.com

Thursday, 16 August 2012

The Iron Lady

Resensi Film: The Iron Lady (7.8/10)

Tahun Keluar: 2011
Negara Asal: UK, France
Sutradara: Phyllida Lloyd
Cast: Meryl Streep, Jim Broadbent, Alexandra Roach, Harry Lloyd

Plot: Tiga hari di suatu waktu pada tahun 2009 dalam hidup bekas perdana menteri Inggris, Margaret Thatcher (IMDb).

Sejak kemunculannya film yang berhasil membawa Meryl Streep ke Oscar ketiganya ini menerima banyak review negatif terhadap ceritanya. Kalau dipikir-2, produser, sutradara, dan penulis script film ini pasti sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi tersebut ketika mereka memutuskan membuat film yang lebih berdasarkan pada pengamatan dari "orang ketiga" daripada dari subyeknya sendiri, atau paling tidak dari orang yang dekat dengan subyeknya -- Meryl Streep, dalam wawancaranya, mengatakan bahwa dia menyadari kemungkinan terjadinya reaksi tersebut. Mereka yang pro terhadap Thatcher tidak menyukai ceritanya, karena ternyata lebih menggambarkan Thatcher sebagai penderita dementia daripada Thatcher sebagai perdana menteri yang hebat. PM Inggris saat ini, David Cameron, dalam wawancaranya dengan BBC mengatakan bahwa timing munculnya film ini tidak tepat: "Why do we have to have this film right now?" (maksudnya, mengapa membuat film ini sementara Thatcher masih hidup). Cameron juga mengatakan: "It is more about dementia than an amazing prime minister." Sedang mereka yang kontra terhadap Thatcher juga tidak menyukai ceritanya, karena ternyata lebih menggambarkan Thatcher sebagai penderita dementia daripada Thatcher sebagai perdana menteri yang "jahat"/keras. Hmmm, lucu ya ... yang pro dan yang kontra sama-2 tidak menyukai ceritanya karena alasan yang hampir sama :-)

Sebagai orang yang tidak pro dan tidak kontra, penulis tidak mempunyai ekspektasi apapun terhadap ceritanya: tiga hari di suatu waktu pada tahun 2009 dalam hidup seorang wanita yang dulu dijuluki oleh pers Sovyet dengan sebutan Iron Lady ... yes, why not, mengapa tidak?! Siapa yang mengharuskan cerita tentang seorang politikus harus berpusat pada kehidupan politiknya saja? Memangnya seorang politikus tidak mempunyai kehidupan pribadi??? Justru di sinilah penulis dapat mengapresiasi cerita dari Abi Morgan ini -- di sini ditampilkan sisi pribadi dari Thatcher, sebuah sisi yang tidak banyak diketahui oleh publik. Dalam periode tiga hari yang singkat penonton menyaksikan: asal-usul/latar belakang Thatcher, ayahnya yang menjadi idolanya, pertemuannya dengan Denis (suaminya), aspirasinya sejak semula untuk terlibat dalam kebijakan publik dan dukungan suaminya terhadap aspirasi tersebut, posisi dirinya yang tidak pernah pas dalam partainya sendiri (Tory/Conservative), integritasnya yang tidak pernah lekang (sikap dan keputusannya selalu konsisten), dan kekosongan hidupnya setelah suaminya meninggal dunia. Ceritanya disampaikan secara non-linear/bolak-balik antara saat ini (penderita dementia/pikun yang kadang-2 tidak dapat membedakan antara kenangan dan kenyataan) dan flashback fragmen-2 dari masa lalunya tersebut. Kritikus film Roger Ebert menilai bahwa ceritanya tidak tahu mau "berkata" apa tentang Thatcher; well, I completely disgaree! ... ceritanya sudah berkata banyak tentang Thatcher -- mungkin bukan kata-2 yang dia inginkan, tetapi banyak (!) :-), mempertimbangkan ceritanya bersetting dalam periode tiga hari saja :-)

Sutradara Phyllida Lloyd dan penulis script Abi Morgan telah melakukan tugasnya dengan baik men-visualisasi apa yang ada dalam benak seorang penderita dementia. Dan Meryl Streep, aktingnya sebagai Thatcher betul-2 mencengangkan -- memainkan perannya yang menjangkau empat dasawarsa, dengan versatilitas yang tinggi Streep berakting dengan seluruh tubuhnya, termasuk ekspresi wajahnya. Streep dapat menirukan gaya berbicara Thatcher, gaya berjalannya, bahkan sampai ke detil-2 kecil yang lainnya, misalnya gerakan kepalanya dan ekspresi wajahnya. Dan ketika Streep mesti memerankan Thatcher yang tua dan menderita dementia, gerakan tubuhnya yang renta dan sinar matanya yang lelah ... wow, amazing (!), akting Streep di sini adalah salah satu dari akting terbaiknya dalam kariernya selama ini.

Penonton yang mengharapkan biopic tentang perjalanan politik Thatcher akan kecewa dengan film ini, tetapi penonton yang datang tanpa ekspektasi akan dapat menikmatinya. Dan kalau anda adalah penggemar Streep, this is a must see movie for you!

* 7.8/10

The Iron Lady dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday, 14 August 2012

Jane Eyre

Resensi Film: Jane Eyre (7.2.10)

Tahun Keluar: 2011
Negara Asal: UK, USA
Sutradara: Cary Fukunaga
Cast: Mia Wasikowska, Michael Fassbender, Jamie Bell, Judi Dench

Plot: Setelah menjalani kehidupan pahit di sebuah asrama yatim piatu, Jane Eyre bekerja sebagai pengasuh anak di sebuah puri bangsawan yang ternyata menyimpan sebuah misteri (IMDb).

Entah sudah berapa kali novel klasik dengan judul yang sama karya Charlotte Brontë ini diadaptasi ke dalam gambar bergerak -- paling tidak 20 kali (!), separoh ke dalam layar kecil televisi dan separoh yang lain ke dalam layar lebar sinema. Banyaknya usaha mengadaptasi novel klasik ini menunjukkan betapa karya Charlotte Brontë ini dicintai oleh para pembaca, bahkan oleh mereka dari generasi penerus yang datang ke dunia ini belakangan. Selain itu, juga menunjukkan betapa ceritanya mengandung banyak tema (agama, moralitas, gender, kelas sosial, cinta, atonement dan forgiveness, dan feminisme), sehingga ada banyak kesempatan bagi sutradara atau penulis script untuk mengeksplorasi cerita tersebut. Adalah usaha yang mustahil merangkum semua tema yang ada ke dalam film yang hanya berdurasi dua jam saja -- sejauh ini usaha yang paling berhasil adalah adaptasi dari BBC (British Broadcasting Corporation) ke dalam miniseri televisi yang berdurasi empat bagian (2006), total sekitar 200 menit.

Dibandingkan dengan Jane Eyre keluaran tahun 1943 yang dibintangi oleh Orson Welles dan Joan Fontaine, film arahan Cary Fukunaga ini kehilangan beberapa aspek utama dari cerita yang ada:

1) Penggunaan natural light (sinar matahari), lensa berfokus lembut, dan sinematografi bernuansa pastel menghilangkan atmosfir gothic yang menyeramkan; akibatnya, menghilangkan efek misterius dalam ceritanya -- padahal misteri adalah salah satu aspek utama dalam cerita ini.

2) Dua pemeran utamanya, Mia Wasikowska yang memerankan Jane Eyre dan Michael Fassbender yang memerankan Edward Rochester, tidak mempunya "chemistry" yang pas. Wasikowska cenderung mengenakan ekspresi wajah yang sama di seluruh bagian untuk Jane Eyre yang sederhana dan pendiam tetapi menyimpan bara perjuangan dan cita-2 yang tinggi. Sedang Fassbender juga kurang berhasil menampilkan jangkauan ekspresi untuk Edward Rochester yang konon "byronic" -- angkuh, moody, sinis, tetapi sekaligus kesepian dan longing for love and affection.

3) Script-nya lebih terpaku pada situasi oppressive yang ada, akibatnya menghilangkan efek inspiratif dalam ceritanya -- padahal inspirasi adalah salah satu aspek inti dalam cerita ini. Bukankah instinct dasar manusia, tidak peduli seburuk apapun situasi yang ada, manusia selalu berusaha untuk mencari kebahagiaan?!

Selain itu, penulis tidak mengerti mengapa sampai perlu meng-cast Judi Dench, aktres dengan pengalaman akting yang seabreg, untuk peran kecil sebagai Mrs. Fairfax? Sayang sekali, dia terasa wasted (tidak berguna) dalam film ini.

All in all, film terbaru Jane Eyre ini bukanlah film yang buruk, tetapi jatuh rada jauh di bawah 10 bintang.

7.2/10

Jane Eyre dapat anda temukan di eBay.com

Thursday, 9 August 2012

The Grapes of Wrath

Resensi Film: The Grapes of Wrath (9.0/10)

Tahun Keluar: 1940
Negara Asal: USA
Sutradara: John Ford
Cast: Henry Fonda, Jane Darwell, John Carradine

Plot: Pada jaman Great Depression*), setelah tergusur dari daerah pertaniannya, keluarga Joad terpaksa melanglang benua dari Oklahoma yang gersang**) ke "tanah terjanji" California yang hijau untuk mencari penghidupan yang layak (IMDb).

*) Great Depression: Resesi ekonomi global yang dimulai dengan peristiwa Black Tuesday, yaitu jatuhnya harga-2 saham di AS pada tanggal 29 Oktober 1929, dan berlangsung sampai setelah Perang Dunia ke 2 selesai. Periode resesi ini tercatat dalam sejarah sebagai resesi ekonomi paling parah, paling panjang, dan paling luas pada abad ke 20.

**) Pada dekade 1930-an terjadi fenomena alam, badai debu, yang menyapu bersih topsoil dari daerah-2 pertanian di Oklahoma, AS, meninggalkan tanah di lapisan bawahnya kering dan tandus.

Setelah bebas bersyarat dari penjara, Tom Joad (Henry Fonda) pulang ke rumahnya di daerah pertanian di Oklahoma. Di tengah jalan dia bertemu dengan seorang gelandangan yang bernama Jim Casy (John Carradine). Setelah berkenalan, Jim ternyata adalah pendeta yang dulu membaptis Tom, tetapi Jim sekarang telah kehilangan "panggilannya". Tom kemudian mengajak Jim pulang ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, mereka menemukan rumahnya kosong dan semuanya telah ditinggalkan. Di sana mereka bertemu dengan tetangganya, Muley Graves (John Qualen), yang sedang bersembunyi dari kejaran polisi. Muley kemudian bercerita apa yang telah terjadi dengan keluarganya, dengan keluarga Joad, dan dengan keluarga-2 yang lain di daerah pertanian tersebut. Mengikuti petunjuk Muley, Tom akhirnya menemukan keluarganya di rumah pamannya. Keluarganya bahagia melihat Tom kembali dan menjelaskan bahwa mereka telah memutuskan untuk pergi ke California untuk mencari pekerjaan, karena daerah pertanian mereka telah diambil-alih oleh bank. Keesokan harinya, seluruh anggota keluarga Joad meninggalkan Oklahoma, bersama dengan Jim yang memutuskan pergi bersama mereka. Mereka menjejal semua barang essential mereka ke dalam sebuah sedan kecil yang telah diubah bentuknya menjadi "truk" untuk melakukan perjalanan panjang dari Oklahoma ke "tanah terjanji" California -- dan dimulailah cerita yang sesungguhnya ...

Adaptasi dari novel dengan judul yang sama, pemenang penghargaan sastra Pulitzer, karya John Steinbeck, The Grapes of Wrath dengan sangat inspiratif menunjukkan bagaimana kekuatan human spirit dapat bertahan dan mengalahkan deraan penderitaan dan kesengsaraan. Meskipun bersetting di Midwestern, AS, ketika jaman Great Depression, ceritanya mengandung pesan yang bersifat global/universal tentang humanity/kemanusiaan, sehingga penonton dapat dengan mudah mengapresiasi ceritanya dan bersimpati dengan karakter-2 yang ada. Ada banyak orang, tidak peduli ras atau kepercayaannya, dengan satu cara atau yang lainnya, pernah mengalami economic dislocation -- terpaksa menjadi migran/pindah tempat karena alasan ekonomi. Penggambaran yang grafik dari sutradara John Ford terhadap penderitaan dan perjuangan yang dialami keluarga Joad terasa riel dan memukul. Dalam perjalanan panjang yang menentukan masa depan mereka tersebut, keluarga Joad berhadapan dengan berbagai masalah yang mungkin terjadi, mulai dari anggota keluarga yang meninggal dunia karena usia tua sampai "truk" tidak-layak-kendara yang selalu mogok. Mereka bertemu dengan orang-2 yang mengaku telah sampai di California, tetapi tidak memperoleh pekerjaan, karena pekerjaan yang tersedia tidak sebanyak yang mereka bayangkan. Mereka juga mengalami perlakuan prejudice, diejek, dan diolok dengan julukan "Okies" ***) Setelah mereka sampai di California, ternyata "not all that glitters is gold" (sebuah pepatah, "tidak semua yang gemerlap adalah emas" ) ... dan penderitaan sama sekali tidak berkurang, malah bertambah (!) Mereka mesti berjuang untuk survive/mempertahankan hidup, bekerja untuk upah yang sama sekali tidak cukup untuk makan.

***) "Okies": Migran miskin/gelandangan dari Oklahoma.

Henry Fonda menerima nominasi Oscar-nya yang pertama untuk perannya sebagai Tom Joad, orang baik yang "terdampar" sebagai buronan gara-2 situasi. Fonda betul-2 menjiwai dalam perannya. Jane Darwell berhasil mencuri simpati penonton dan memenangkan Oscar untuk Aktres Pendukung Terbaik untuk perannya sebagai Ma Joad, tokoh matriarch/ibu yang menyampaikan dialog-2 penting dalam film ini. Darwell dengan sempurna menangkap esensi dari karakter yang dia mainkan. Anggota cast yang lainnya juga sangat baik dan meyakinkan dalam peran mereka masing-2. John Ford memperoleh Oscar-nya yang kedua untuk Sutradara Terbaik -- dan fim ini tentu saja adalah salah satu dari karya-2 terbaiknya.

Meskipun film ini menampilkan banyak penderitaan dan kesengsaraan, ceritanya uplifting, membangkitkan semangat, ditandai dengan compassion (simpati/pengertian) dan tenderness (kehangatan). Penulis secara personal begitu tergerak dan uplifted ketika Ma Joad berkata-2 berikut ini sebelum film berakhir:

Rich fellas come up an' they die,
an' their kids ain't no good an' they die out.
But we keep a' comin'. We're the people that live.
They can't wipe us out; they can't lick us.
We'll go on forever, Pa, 'cause we're the people!

Berasal dari AS yang kapitalis, adalah sesuatu yang luar biasa cerita bernuansa sosialis ini berhasil dipublikasikan dan diadaptasi ke film. Mengundang kontroversi ketika pertama kali dikeluarkan, The Grapes of Wrath berhasil bertahan dalam jajaran film-2 klasik. Pada tahun 1989, film ini terpilih sebagai salah satu dari 25 film pertama yang terpilih masuk dalam klasifikasi "culturally, historically, or aesthetically significant" dalam United States National Film Registry.

Kalau anda pernah merasakan penderitaan dan kesengsaraan sebagai migran, misalnya terpaksa pindah dari kota kecil tempat kelahiran anda yang tenang dan damai ke ibu kota yang hiruk-pikuk, memekakkan, dan bikin stress, sampai-2 anda mengumpat, "sekejam-2nya ibu tiri, masih lebih kejam ibu kota," maka ... this is it! This is the movie for you!

9.0/10

The Grapes of Wrath dapat anda temukan di eBay.com

Tuesday, 7 August 2012

A Separation

Resensi Film: A Separation (Jodaeiye Nader az Simin, "The Separation of Nader from Simin") (9.0/10)

Tahun Keluar: 2011
Negara Asal: Iran
Sutradara: Asghar Farhadi
Cast: Peyman Moadi, Leila Hatami, Sareh Bayat, Shahab Hosseini, Sarina Farhadi

Plot: Sepasang suami-istri dihadapkan pada pilihan yang sulit antara pindah ke negara lain demi masa depan anaknya atau tetap tinggal di Iran untuk merawat orangtuanya yang menderita Alzheimer atau penyakit pikun (IMDb).

Wow, this is it!

Inilah film pemenang Best Foreign Language Film dalam Oscar tahun 2012 yang baru lalu.

Pertama, tidak seperti kategori Best Picture (Film Terbaik) yang sering dipenuhi oleh "politik" dari Academy Awards, misalnya: filmnya harus sesuai dengan "tema" pada tahunnya, filmnya harus mempunyai appeal/daya tarik untuk penonton mainstream, atau yang lainnya, kategori Best Foreign Language Film -- karena bebas dari "politik" seperti itu (at least, until now) -- hasilnya justru lebih obyektif (!) Walaupun kategori Best Picture mempunyai prestige lebih tinggi, sejak satu dasawarsa terakhir ini kategori Best Foreign Language Film menerima perhatian dan sambutan yang sangat hangat terutama dari para penggemar serius film.

Kedua, di tengah banjir teknologi perfilman yang membuat penonton sering lupa terhadap apa sesungguhnya "backbone"/"tulang-punggung" dari sebuah film, adalah angin yang menyegarkan menemukan film yang berhasil dengan spot-on/mengena menunjukkan bahwa film yang bagus tidak harus menggunakan teknologi yang mahal, tetapi cukup dengan akting yang baik, script yang baik, dan arahan yang baik. Penulis sama sekali tidak anti terhadap penggunaan teknologi dalam perfilman, tetapi "backbone" dari sebuah film tetap saja akting, script, dan arahan -- The Big Three: good actor/actress, good script, good director ... always! Film dari Asghar Farhadi ini adalah film dengan The Big Three!

Nader (Peyman Moadi) dan Simin (Leila Hatami) bertengkar karena Simin telah mengambil keputusan untuk pindah ke negara lain demi masa depan anak perempuannya, Termeh (Sarina Farhadi), sedang Nader tidak dapat meninggalkan Iran karena dia mesti merawat ayahnya yang jompo yang menderita Alzheimer atau penyakit pikun. Pengajuan cerai mereka ditolak oleh pengadilan, karena alasannya dinilai tidak kuat. Nevertheless, Simin memutuskan pisah ranjang dan kembali ke rumah orangtuanya. Termeh yang berusia 11 tahun memilih tinggal bersama ayahnya. Sebelum pergi, Simin memanggil pembantu rumah tangga, Razieh (Sareh Bayat), seorang ibu yang relijius, untuk membantu rumah tangga suami dan anaknya. Masalah baru timbul ketika Razieh kewalahan menangani urusan rumah tangga Nader, terutama merawat ayahnya yang menderita Alzheimer. Masalah berubah menjadi pelik ketika Nader dengan emosi yang tinggi memecat Razieh gara-2 pada suatu hari dia pulang ke rumah dan menemukan Razieh tidak ada di rumah dan ayahnya terjatuh pingsan dari tempat tidurnya sambil salah satu tangannya terikat di tempat tidur. Okay, penulis harus/sengaja berhenti di sini, karena cerita selanjutnya harus anda saksikan sendiri :-)

Walaupun secara sepintas ceritanya terkesan umum, isinya ternyata kompleks secara sosial, psikologi, dan moralitas. Script-nya, menerima nominasi Best Original Script dalam Oscar 2012, tidak hanya berhasil membedah isyu-2 kompleks dalam masyarakat Iran saat ini tentang kedudukan pria dan wanita, anak-2 dan orangtua, keadilan dan agama, tetapi juga berhasil mengangkat pertanyaan-2 kompleks yang bersifat global/universal tentang tanggung-jawab, kejujuran, dan betapa tipisnya batas antara harga diri/pegang prinsip dan egois -- tidak mengherankan anggota Academy Awards dapat dengan cepat dan mudah mengapresiasi film berbahasa Persia ini. Arahan dari Asghar Farhadi dengan penempatan kamera di tempat-2 yang sesuai dengan alur ceritanya, misalnya: mengikuti gerakan Nader ketika dia sedang panik, mengambil scene dari kaca spion ketika Nader memperhatikan anaknya berdebat dengan seorang pelayan pompa bensin, atau extreme close-up pada wajah Nader ketika anaknya meng-konfrontasi mengapa dia berbohong, sinematografi dari Mahmoud Kalari yang intim dan personal, dan akting dari kelima pemeran utamanya yang natural/realistis berhasil memberikan kedalaman terhadap karakterisasi mereka. Meskipun film ini mempunyai durasi 123 menit, penyuntingan yang efektif berhasil menjaga tempo yang tinggi dari awal sampai akhir. Nuansa natural/realistis film ini diperkuat dengan storytelling (gaya bercerita) yang tidak mengenal awal dan akhir, maksudnya awal film bukanlah awal cerita (karena ceritanya sudah dimulai sebelum film dimulai) dan akhir film bukanlah akhir cerita (karena ceritanya berlanjut terus setelah film diakhiri) -- seperti realita dalam kehidupan; selama waktu berjalan terus, kehidupan berjalan terus.

All in all, A Separation adalah film yang akan membekas dalam hati dan pikiran anda.

9.0/10

A Separation dapat anda temukan di eBay.com

Friday, 3 August 2012

Marathon Man

Resensi Film: Marathon Man (7.7/10)

Tahun Keluar: 1976
Negara Asal: USA
Sutradara: John Schlesinger
Cast: Dustin Hoffman, Laurence Olivier, Roy Scheider

Plot: Seorang mahasiswa tingkat doktoral jurusan sejarah tanpa direncana terjebak dalam konspirasi internasional yang melibatkan seonggok berlian curian, penjahat perang Nazi yang bersembunyi di Uruguay, dan organisasi intelijen rahasia AS yang menamakan dirinya The Division (IMDb).

Sementara berlatih menjadi pelari maraton, Thomas Babington “Babe” Levy sedang mengalami krisis motivasi dalam mempersiapkan desertasi PhD-nya yang menyangkut topik McCarthyism*), topik yang membangkitkan kembali kenangannya terhadap tragedi keluarga yang terjadi di masa lalu, yaitu kematian ayahnya yang bunuh diri gara-2 “witch-hunting” yang terjadi pada jaman tersebut. Ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil, maka ketika ayahnya juga meninggal dunia ketika dia menginjak remaja, satu-2nya anggota keluarga yang dia miliki adalah kakaknya, Henry “Doc” Levy. Sejauh pengetahuan Babe, kakaknya adalah seorang eksekutif di sebuah perusahaan perminyakan di Washington. Tetapi kepercayaannya ini berubah seketika ketika pada suatu malam kakaknya pulang ke rumahnya dalam keadaan terluka parah, sekarat, dan sejenak kemudian tewas di dalam pelukannya. Dalam waktu sekejap dia harus belajar bahwa kakaknya selama ini bohong terhadapnya: dia sama sekali bukan seorang eksekutif di perusahaan perminyakan, tetapi seorang agen di organisasi intelijen rahasia yang menamakan dirinya The Division. Dicurigai telah menerima pesan rahasia dari kakaknya sebelum dia meninggal dunia, dia sekarang menjadi sasaran pengejaran kelompok yang sama yang telah membunuh kakaknya.

*) McCarthyism adalah praktek menuduh orang/organisasi sebagai subversif atau pengkhianat bangsa gara-2 orang/organisasi itu mempunyai paham atau ideologi yang berbeda dari pihak penguasa. Terminologi ini berasal dari Amerika Serikat pada tahun 1950-an ketika seorang senator dari Partai Republik yang bernama Joseph McCarthy membangkitkan histeria massal ketakutan terhadap bahaya komunisme dan memulai "witch-hunting" terhadap orang-2 atau organisasi-2 yang dinilai mempunyai paham atau ideologi kiri.

Bersetting di kota New York pada tahun 1970-an, film ini menampilkan kota New York yang terlihat kelabu dan terlantar -- ketika ditonton lagi sekarang, atmosfir tersebut mengingatkan penonton bahwa kota megapolitan ini tidak selamanya glamorous seperti sekarang, karena di masa yang lalu pernah berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan: law & order (hukum dan penegakannya) diabaikan, neighborhood (komunitas) dikuasai oleh mafia/gang preman, jalan-2 kotor dan terbengkalai, dan fasilitas-2 umum menjadi tempat terjadinya kejahatan. Sutradara John Schlesinger juga berhasil menampilkan atmosfir anxiety (kekhawatiran) dan paranoia dengan menempatkan kamera yang bergerak mengikuti pergerakan lakon utamanya atau dari point of view lakon utamanya. Walaupun sekarang terasa outdated, film ini meninggalkan dua legacy, yaitu: 1) Villain Dr. Christian Szell, seorang penjahat perang Nazi, yang diperankan dengan sangat baik -- dingin dan sadis -- oleh aktor veteran dari Golden Era of Hollywood, Sir Laurence Olivier, berhasil menduduki Top Villain dalam daftar villain dari American Film Institute. Sir Olivier menerima nominasi Oscar untuk Aktor Pendukung Terbaik untuk perannya dalam film ini. Dua tahun kemudian, pada tahun 1978, Sir Olivier berganti peran menjadi seorang Yahudi, pemburu penjahat perang Nazi, Ezra Lieberman, dalam film The Boys from Brazil -- di sini Sir Olivier juga menerima nominasi Oscar untuk Aktor Pendukung Terbaik untuk peran terbaliknya tersebut. 2) Scene Szell menyiksa Babe dengan peralatan kedokteran gigi, sambil berulang-2 menginterogasi dia: "Is it safe? ", berhasil menduduki Top Thrill/Scariest Moment :-) dalam daftar thrill dari American Film Institute. Penulis sendiri sering berpikir, orang yang paling tahu dalam menyiksa manusia adalah dokter (!) Maaf, tidak ada maksud menjelekkan profesi dokter. Maksudnya, karena seorang dokter tahu persis bagian-2 mana yang paling sensitif, maka dia tahu persis bagaimana caranya menimbulkan rasa sakit yang paling maksimal. Uuuh ... mengerikan ya?! :-)

Secara keseluruhan filmnya cukup cocok dengan novelnya, script-nya diadaptasi sendiri oleh penulis novelnya, tetapi ada dua bagian yang dihilangkan atau diubah, yaitu sequence kekerasan di awal cerita yang melibatkan Doc (dihilangkan) dan sequence kekerasan di akhir cerita yang melibatkan Babe (diubah sedemikian rupa sehingga Babe tetap bersih dari tindak kriminal).

7.7/10

Marathon Man dapat anda temukan di eBay.com